Maandag 17 Junie 2013

PLOTINUS DAN NEOPLATONISME ( tokoh filsafat )


PLOTINUS DAN NEOPLATONISME

Disusun Oleh
Adi Saputra (12422003)
Jurusan:
Ilmu Perpustakaan “A”

Dosen Pembimmbing:
Kms.Badaruddin,MA


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) RADENFATAH PALEMBANG
FAKULTAS ADAB dan HUMANIORA
TAHUN AJARAN 2012-2013

PENDAHULUAN
Kita telah mengkaji beberapa Bab seputar sejarah filsafat Yunani mulai dari Thales, Socrates, sampai kepada Aristoteles. Menarik apa yang dikatakan Mohammad Hatta, beliau mengilustrasikan sejarah filsafat Yunani sebagaimana pertumbuhan hidup manusia. Masa kecilnya, menurut beliau bermula dengan tampilnya Thales, Thales melahirkan pandangan baru dalam alam pikiran Yunani. Masa ini berlanjut sampai kepada Sokrates. Selanjutnya menuju kemasa gagah dan bijaksana (muda) ialah masa filsafat klasik, yang puncaknya terdapat pada masa Aristoteles. Sesudah masa Aristoteles berlalu, kata Hatta, maka selanjutnya adalah masa tua. Masa tua itu meliputi masa yang sangat lama sekali, dari tahun 322 SM Sampai tahun 529 SM. Delapan setengah abad lamanya, dari meninggalnya Aristoteles sampai ditutupnya sekolah filsafat yang dihabisi oleh kaisar Bizantium, Justinianus. Sesudah itu filsafat Yunani kembali kedalam sejarah.
Menurut Hatta, masa filsafat Yunani pada masa ini dalam garis besarnya dapat dibagi dua, yaitu masa etik dan masa religi. Dalam masa etik terdiri dari tiga sekolah filsafat, yaitu Epikuros, Stoa, dan Skeptis. Nama sekolah yang pertama diambil dari kata pembangun sekolah itu sendiri yaitu Epikuros. Adapun nama sekolah yang kedua, diambil dari kata ”Stoa” yang berarti ruang. Sedangkan nama Skeptis, diberikan karena mereka kritis terhadap para filosof klasik sebelumnya. Ajarannya dibangun dari berbagai ajaran lama, kemudian dipilih dan disatukan.
Dalam masa religi ada tiga aliran yang berperan, yaitu aliran Neopythagoras, Aliran Philon, dan Aliran Plotinus atau Neoplatonisme. Tetapi disini kami hanya akan membahas satu aliran saja yaitu Neoplatonisme. Untuk lebih jelasnya, kami akan merincinya satu- persatu.


PEMBAHASAN
A.  Riwayat Hidup Plotinus
Plotinus dilahirkan di Lycopolis (Mesir) pada tahun 203 M. Di zaman itu agama Kristen sudah berkembang di daerah timur dan eropa. Plotinus sendiri tinggal di daerah Mesir, dekat dengan salah satu pusat agama Kristen, Alexandria. Ia juga berguru pada seorang yang bernama Ammonius Saccas, yang mengajarkan padanya filsafat. Kemudian ia sempat pergi ke Persia dan bersentuhan dengan budaya timur disana. Semuanya ini membuat filsafat Plotinus yang merupakan analisis serta kritik dari aliran filsafat yang berkembang diwaktu itu. Dari ajaran Plato, Kristen, Filsafat Timur, Epikuros dan Stoa, serta Gnostik. Kedekatannya pada ajaran Plato kemudian mengimbuhkan label Neoplatonisme pada ajaran Plotinus.
Plotinus tidak semata-mata seorang filsuf, ia adalah seorang mistikus, mungkin terpengaruh dari Kristen atau filsafat timur. Sebagai seorang mistikus, ia bukan hanya merumuskan metafisika, melainkan mengacu kepada kembali ke Sang Asal, sumber dari segala sesuatu. Sesuatu yang tidak ditemui pada ajaran Plato.[1]
B. Filsafat Plotinus
Pada usia 40 tahun ia pergi ke Roma. Di sana ia menjadi pemikir terkenal pada zaman itu. Ia meninggal di Minturnea pada 270 M di Minturnae, Campania, Italia. Ia bermula mempelajari filosofi dari ajaran Yunani, terutama dari buah tangan Plato. Pada usia 50 tahun ia mulai menulis karangan-karangan filosofisnya. Muridnya yang bernama Porphyry mulai menerbitkan karangan-karangan Ployinus yang berjumlah 54 karangan. Karangan itu di kelompokkan menjadi 6 set, dan setiap setnya terdiri atas 9 karangan, masing-masing set itu disebut enned, seluruhnya ada 6enned. Diantara isi enned tersebut antara lain :
1. Enned pertama berisi tentang masalah etika, kebajikan, kebahagiaan, bentuk-     bentuk kebaikan, kejahatan, dan masalah penacabutan dari kehidupan.
2. Enned kedua berisi tentang fisik alam semesta, bintang-bintang, potensialitas dan aktualitas, sirkulasi gerakan, kualitas dan bentuk, dan kritik terhadap gnostisisme.
3. Enned ketiga berisi tentang implikasi filsafat tentang dunia, seperti masalah iman, kuasa Tuhan, kekekalan, waktu, dan tatanan alam.
4.  Enned keempat berisi tentang sifat dan fungsi jiwa.
5.  Enned kelima berisi tentang roh Ketuhanan (alam idea).
6.  Enned keenam berisi tentang free will dan ada yang menjadi realitas.
Seperti yang telah disinggung diatas, bahwa secara umum ajaran Plotinus disebut Neo-Platonisme. Jadi ajarannya itu tentu ada keterkaitan dengan filsafat plato. Dalam berbagai hal Plotinus memang bersandar pada doktrin-doktrin Plato. Sama dengan Plato, ia menganut ralitas idea. Akan tetapi ada sebuah perbedaan antara ide yang di tuangkan oleh Plato dengan Plotinus. Perbedaannya ialah, pada Plato idea itu bersifat umum ; artinya setiap jenis objek hanya ada satu ideanya, akan tetapi Plotinus mengatakan bahwa idea itu bersifat partikular, sama dengan dunia yang partikular. Pebedan mereka yang pokok ialah pada titik tekan ajaran mereka masing-masing. Plotinus kurang memperhatikan masalah-masalah sosial seperti halnya Plato.[2] Ada beberapa ajaran filsafat Plotinus yang perlu dikaji lebih lanjut, yakni antara lain :
·      Teori Metafisika Plotinus
Sistem metafisik Plotinus ditandai dengan konsep transenden. Menurut pendapatnya, di dalam alam pikiran terdapat tiga realitas : The One, The Mind, dan The Soul.Realitas yang pertama The One(Yang Esa) adalah Tuhan: yaitu realitas yang tidak dapat dipahami dengan metode sains dan logika. Ia berada di luar eksistensi, di luar segala nilai. Keberadaannya bersifat transenden dan hanya dapat dihayati. Ia dapat didekati dengan tanda-tanda dalam alam.
Realitas yang kedua The Mind atau Nous. Ini adalah gambaran tentang Yang Esa dan di didalamnya mengandung idea-idea Plato. Idea-idea itu merupakan bentuk asli obyek-obyek. Kandungan Nous adalah benar-benar sebuah kesatuan. Untuk menghayatinya kita haruslah melalui proses perenungan.Realitas yang ketiga The Soul adalah sebagai arsitek semua fenomena yang ada di alam ini, Soul itu mengandung satu jiwa dunia dan banyak dunia kecil. Jiwa dunia dapat dilihat dalam dua aspek, ia adalah energi di belakang dunia, dan pada waktu yang ia adalah bentuk-bentuk alam semesta. Jiwa manusia juga mempunyai dua aspek: yang pertama intelektualitas yang tunduk pada reinkarnasi, dan yang kedua adalah irasional.Penyatuan bentuk dan benda menyebakan terciptanya dunia. Dengan demikian jagat raya mewujudkan suatu gambaran idea. Seluruh jagat raya ini adalah suatu kesatuan organis. Di dalamnya jiwa dunia menjadi asas segala fungsi sehingga segala kekuatan dihubungkan yang satu dengan yang lain.
Di dalam diri manusia terdapat tiga substansi, yaitu roh, jiwa, dan tubuh. Ketiganya mewujudkan suatu kesatuan, yang mana jiwa sebagai tempat kesadaran mengambil tempat yang pusat. Tubuh mewujudkan suatu alat benda. Sedangkan roh tetap senatiasa dipersatukan dengan nous tertinggi, yaitu Yang Esa. Tujuan hidup menurut Plotinus ialah kembali dipersatukannya manusia dengan Yang Esa.
1. To Hen (Yang Esa)
Sang sumber segala sesuatu, yang dinamakan TO HEN. Yang Satu, adalah sesuatu yang tidak terdefinisikan, mirip dengan para Brahman, dalam ajaran Hindu. Ia adalah sesuatu yang tidak dapat dinamakan, tidak dapat dibayangkan, sesuatu yang dapat dipahami dengan logika negatif (via negative). Karena tidak bisa dinamakan, maka TO HEN pun sebenarnya bukan nama yang layak. Penamaan ini semata-mata karena sebagai manusia kita tidak bisa menghindari pemakaian kata-kata.
Konsep TO HEN tidak sama dengan konsep Tuhan dalam ajaran monoteisme, karena TO HEN bukan sesuatu dengan daya kreatif yang menciptakan alam semesta. Alam semeta mengalir, atau memancar darinya sebagai sebuah keniscayaan. Ia adalah sumber dari segala sesuatu dan tidak membutuhkan segala sesuatu. Ia mampu mencukupi dirinya sendiri. Segala sesuatu memancar dari dirinya secara otomatis. Pandangan ini jangan dilihat seperti materi penciptaan alam semesta ada pada dirinya, sehingga dari “tubuhnya” ia menciptakan alam semesta, seperti yang dijelaskan oleh mitologi Babilonia misalnya, yang mengatakan bahwa alam semesta dibentuk dari Tiamat, naga raksasa yang mengandung semua dewa. Pandangan ini lebih baik dijelaskan seperti hubungan antara penari (sang pencipta) dengan tariannya (ciptaan). Atau bayangan sang pencipta adalah seorang pemain musik, dan musiknya adalah ciptaannya.
Thomisme kemudian melihat persoalan ini dan mengatakan bahwa TO HEN yang otomatis mencipta tidak dapat diterima, karena dengan demikian ia tidak memiliki kehendak bebas. Kritik ini kurang tepat karena kehendak bebas dalam konsepsi Plotinus diletakkan bukan di TO HEN, melainkan di Nous, yang akan dijelaskan lebih lanjut dibawah.
Pandangan ini juga bisa dilihat dari kaca mata Panteisme. Panteisme Plotinus kurang lebih sama dengan Panteisme Spinoza. Panteisme tidak dilihat dengan pandangan sempit bahwa alam adalah Allah. TO HEN ada dalam setiap ciptaan, tetapi semua ciptaan bukanlah TO HEN. Ciptaan sebagai pancaran dari TO HEN, seperti bayang-bayang dari dia, yang lebih tidak sempurna darinya. Dan ketidaksempurnaan ini bertingkat-tingkat sampai kepada hirarki yang paling bawah yaitu materi.
Emanasi ini jangan dilihat sebagai sesuatu yang berada di dalam ruang dan waktu. Ruang dan waktu justru adalah hasil dari emanasi. Ruang dan waktu adalah pengertian dari dunia materi yang merupakan emanasi terakhir.
2.      Nous (akal)
Nous atau intelek atau akal adalah emanasi pertama dari TO HEN. Sebagai emanasi yang paling dekat dengan TO HEN, Ia memilki kemampuan untuk berkontemplasi tentang TO HEN. Ia adalah sesuatu yang bisa memikirkan tentang subyek, yaitu dirinya sendiri, yang sedang berfikir, dan objek, sesuatu yang sedang dipikirkan. Ini tentunya mirip dengan rescogitans dalam filsafat Descartes. Dalam hal ini Descartes setuju dengan Plotinus dengan mengatakan Nous, atau rescogitans dalam istilah Descartes, sebagai prinsip pertama.
Sebagai emanasi dari TO HEN, Ia kurang sempurna dari TO HEN. Nous tidak lagi satu, melainkan telah mengalami keterpisahan satu sama lain. Ia benar dalam dirinya sendiri, dan mutlak pada dirinya sendiri, seperti yang terlihat dari fenomena suara hati. Keterpisahan inilah yang melahirkan otonomi.
Nous sebagai prinsip otonom, berdikari .Keotonoman ini melahirkan kehendak bebas. Ia bisa berkontemplasi keatas ke TO HEN, namun ia juga bisa jatuh kebawah, menuruti psyche. Terlihat disini kalau Plotinus mau memasukkan konsep jatuhnya Adam kedalam dosa kedalam filsafatnya. Bedanya, ia tidak meletakan label dosa pada proses jatuhnya Nous ke psyche, melainkan sekedar sesuatu yang alami yang merupakan keniscayaan kehidupan yang beremanasi dari TO HEN.
3.  Jiwa
Emanasi yang pertama dari TO HEN adalah dasar yang pertama (arkhe) yaitu Nous, dan emanasi berikutnya adalah lokasi (topos) yaitu Jiwa. Lokasi memungkinkan emanasi berikutnya yaitu materi memiliki tempat. Psykhe ini berfungsi seperti benih yang melahirkan materi, oleh karena itu ia dinamai logoi spermatikoi.
Jiwa adalah prinsip dipertengahan, ia mampu berkontemplasi keatas, memberikan informasi dari dunia materi kepada Nous, dan dilain pihak secara aktif beremanasi kebawah, menciptakan dunia materi. Jiwa ini basa dipandang seperti nafsu, yang membuat manusia mengikatkan diri dengan dunia materi, baik mencipta atau mengkonsumsinya.
Manusia dijelaskan oleh Plotinus dengan menggunakan nous dan jiwa ini. Ia memang bias berkontemplasi ke TO HEN karena ia memiliki nous, tetapi ia juga memiliki tarikan kebawah kemateri karena ia memiliki jiwa.
Jiwa disini tidak sama dengan jiwa dalam pengertian Plato. Jika Plato melihat bahwa jiwa terpenjara dalam tubuh dan baru bisa dibebaskan dengan kematian, Plotinus sebagai seorang mistikus, melihat kemungkinan bahwa jiwa bisa melepaskan diri dari tubuh. Jiwa secara hirarkis berada diatas materi, sehingga ia mampu menguasai materi.Jiwa merupakan akhir alam akal (rohani) dan menjadi permulaan makhluk-makhluk yang terdapat pada alam indrawi. Karena itu, ia mempunyai pertalian dengan kedua alam tersebut. Jiwa mempunyai bermacam-macam kekuatan, dan dengan kekuatannya ia menempati permulaan, pertengahan dan akhir segala sesuatu. Menurut Inge, jiwa tersebut adalah pelancong pada alam metafisika dan menurut Brehier, didalam jiwa ada kerinduan dan gerakan.
Ada tiga aliran yang membicarakan soal jiwa dan yang didapati oleh Plotinus. Pertama, ialah aliran Stoa yang memandang jiwa sebagai kekuatan pengatur. Kedua, ialah aliran Pytagiras yang menganggap turunnya jiwa kealam indrawi sebagai suatu kemerosotan derajat. Ketiga, ialah aliran yang masih berbau Pytagoras, yakni yang menganggap bahwa alam indrawi ini buruk.Plotinus telah mengambil aliran pertama, serta melangkahkan pikirannya sejauh mungkin, dan menganggap setiap kekuatan yang bekerja dalam alam ini adalah jiwa atau bertalian dengan jiwa. Ia juga berpendapat bahwa langit mempunyai jiwa, tiap-tiap binatang juga mempunyai jiwa, dan bumi juga mempunyai kekuatan yang menumbuhkan. Plotinus sama pendapatnya dengan aliran Pytagoras tentang jiwa menjadi rendah (hina), tetapi ia berbeda dengan aliran Gnostik, karena ia menganggap bahwa alam indrawi mencapai kesempurnaan setinggi mungkin yang dapat dicapainya.

4.      Materi
Materi adalah emanasi terakhir yang paling jauh dari TO HEN. Ia adalah emanasi dari jiwa dunia (anima mundi). Materi yang berada dihirarki terbawah sepenuhnya pasif, menerima pencurahan dari atas, ia karena sepenuhnya pasif, tunduk pada hukum deterministic. Materi tidak sepenuhnya jahat. Ia jahat kalau dilihat dari hubunganya dengan prinsip diatasnya. Menurut Plotinus, sumber kajahatan adalah keinginan jiwa untuk terus mencipta. Ini juga bukan sesuatu yang dikatakan dosa, karena jiwa memang memiliki kecenderungan seperti itu. Karena keterikatannya pada materilah, jiwa lupa pada ikatannya diatas, kepada nous. Fenomena ini bisa dijelaskan oleh orang yang sudah terperangkap oleh nafsu sehingga tidak bisa berfikir rasional.Plotinus dengan ajaran emanasinya tidak menjelaskan sumber kejahatan berasal juga dari Sang Pencipta, seperti halnya ajaran Gnostik, yang melihat alam ini jahat karena Demiurgos, sang pencipta alam semesta, adalah jahat. Plotinus memotong akar kejahatan sampai pada jiwa saja. Pada nous sendiri sudah tidak ada kejahatan, yang ada hanya keterpisahan.
5.      Remanasi
Seperti telah dikatakan sebelumnya, Plotinus juga seorang mistikus dan mengklaim mengalami pengalaman mistik didalam hidupnya. Dengan demikian ia tidak hanya tertarik untuk berfilsafat namun mencari jalan untuk kembali ke TO HEN (remanasi).
Materi sebagai bagian yang paling jauh dari TO HEN adalah bagian yang paling gelap atau jahat. Disini terlihat pengaruh aliran Gnostik yang melihat dunia sebagai dualism, yang mengatakan bahwa materi pada dasarnya adalah jahat. Ia adalah hirarki terakhir yang menerima penciptaan dari atas, dan punya kecenderungan untuk menarik hirarki di atasnya yaitu jiwa ke bawah. Dengan demikian usaha remanasi yang pertama adalah melawan materi, yang dalam prakteknya bisa dilakukan dengan berpuasa misalnya. Dalam bahasa latin ini disebut dengan purificatio, yaitu memurnikan diri, melepaskan diri dari materi.
Hal ini adalah persiapan untuk melakukan langkah kedua, yaitu pencerahan. Pengaruh filsafat timur terlihat disini. Pencerahan artinya melepaskan diri dari persepsi indrawi, dan memenuhi diri dengan pengetahuan tentang idea. Ini sama dengan ajaran Plato dan Aristoteles, yaitu episteme.
Langkah yang terakhir, adalah penyatuan diri dengan TO HEN, yang diberi nama ekstasis oleh Plotinus. Ekstasis adalah sebuah upaya mengatasi keterpisahan atau diferensiasi dari nous yang melihat diri sebagai subyek.     Jika ia bisa mengatasi batasan diri ini, dengan melihat bahwa aku sama dengaan dia, sama dengan semua, dengan demikian juga adalah TO HEN. Disinilah terlihat bahwa Plotinus pada dasarnya adalah seorang mistikus, dan ia menyusun keseluruhan filsafatnya untuk menuju kesini. Pada titik ini ajarannya sama dengan ajaran mistik yang lain, baik dari tradisi timur, hindu, budha, tradisi barat, ataupun yang di kejawen dikenal dengan manunggaling kawulo Gusti, menyatu dengan Allah.[2]
C. Plotinus dan Tasawuf
Teori Plotinus tentang Yang Esa bersifat fikiran dan tasawuf bersama-sama, meskipun sebenarnya kedua corak ini saling berlawanan. Teori tersebut biasa terdapat pada masa Plotinus, sebagai akibat percampuran fikiran Yunani dengan agama-agama timur. Tuhan terlihat dalam waktu yang bersamaan sebagai batas pertama bagi penafsiran rasionil terhadap alam semesta dan juga menjadi objek pengetahuan langsung dan intuisi batin. Plotinus mengambil teori sebagai berikut:
“Yang terbaik pada benda matter adalah form, kalau benda mengetahui, tentu mencintai form” “Pada alam ini terdapat urutan-urutan yang (vertical), sehingga tiap-tiap perkara (wujud) menjadi lebih baik, bila dibandingkan dengan perkara (wujud) yang dibawahnya. Yang lebih baik dari pada benda ialah form, dan yang lebih baik daripada badan ialah jiwa, dimana tanpa jiwa ini badan tidak bisa wujud dan tidak tetap. Yang lebih baik daripada jiwa adalah keutamaan, dan diatas keutamaan adalah akal. Diatas akal adalah wujud yang kita sebut Yang ”Pertama.”
Jadi kebaikan adalah tujuan tertinggi yang bisa dicapai oleh jiwa yang cinta, dan (cinta) disini bukanlah cinta kepada perkara-perkara yang inderawi. ”Selama orang-orang yang cinta bertautan dengan hal-hal yang inderawi, berarti mareka tidak cinta. Tetapi dengan melalui gejala luar ini, mereka membentuk pada jiwanya yang tidak terpisah-pisah suatu gambaran yang tidak terlihat. Dengan demikian maka timbullah kecintaan”.
Cinta tasawuf adalah cinta hakiki yang sempurna dan yang tidak berhubungan dengan obyek tertentu yang terbatas.”Tidak ada batas kecintaan yang kita rasakan untuk kebaikan. Memang cinta disini tidak mengenal batas, karena yang dirindukan sendiri adalah zat yang tidak mengenal batas. Keindahannya lain daripada keindahan biasa ia adalah keindahan diatas keindahan”.Cinta tersebut baru terdapat sesudah mengalami penderitaan-penderitaan, dan hanya dapat dimiliki oleh para yang meninggalkan perkara-perkara yang ada sekarang dan membersihkan dirinya dari semua gambaran. Pada saat ini jiwa merasakan pingsan dan menyaksikan kebenaran. Tetapi penyaksian ini pendek masanya dan jarang terjadi.
Demikianlah jalan kecintaan yang dapat membawa kita kepada kebaikan (Tuhan). Kebaikan bukan menjadi kebaikan karena dicintai, melainkan dicintai karena ia baik. Dengan demikian maka Plotinus sampai kepda jalan yang kedua, yakni jalan akal fikiran, dengan berusaha untuk menafsirkan jalan cinta dengan tafsiran rasionil.
Tinjauan sepintas tentang filsafat Plotinus, menunjukkan bahwa ia menganggap kehidupan agama berbeda sama sekali dengan kehidupan akal pikiran, karena perbedaan tabiat dan alamnya. Berkali-kali Plotinus menandaskan, tidak mungkin mengetahui tabiat (hakikat) Yang Esa dengan melalui akal pikiran. Pengetahuan ini baru dapat dicapai dengan jalan sinar ke-Tuhanan dan perhubungan dengan-Nya (isyraq wa ittishal).
D. Unsur-Unsur Ketimuran Pada Filsafat Plotinus
Kita melihat bahwa akal menurut Plotinus, menjadi alat pengetahuan, dan juga merupakan zat yang universal, dimana semua perkara (makhluk) berlarut padanya dan juga keluar dari padanya. Fungsi akal yang pertama berhubungan erat dengan fikiran Helenisme (Yunani), sedang fungsi yang kedua, berakar pada fikiran bukan Yunani, meskipun agak mirip dengan filsafat aliran Stoa.Persoalan ini telah disinggung oleh Emile Brehier, dan mengatakan bahwa semua persoalan tersebut berkisar pada satu persoalan saja, yaitu pertalian kita sebagai makhluk partial dengan zat yang universal. Ringkasnya, bagaimana zat universal terdapat dimana-mana dengan keuniversalanya ,tetapi meskipun demikian tetap universal?.
Persoalan ini tidak dikenal oleh filsafat Yunani. Pertalian partial dengan zat universal bagi Plotinus merupakan kesatuan tasawuf, dimana zat partial hilang. Bukan pertalian akal pikiran (rasionil), seperti yang dibataskan oleh Plato, Aristo dan filosof-filosof Stoa.Sejarah Plotinus menunjukkan bahwa ia setelah selesai mempelajari filsafat Yunani, maka ia ingin melihat filsafat Persi dan India. Karena itu ia memasuki tentara Kaisar Gordianus yang menyerang negeri Persi. Kepercayaan mereka yang terpenting pada waktu itu terletak pada pemujaan terhadap Mitra. Kepercayaan agama ini menjadikan zat yang Maha Tinggi sebagai sumber sinar yang mengirimkan cahayanya, kemudian membakar benda dan menyinari kegelapannya.
Porphyre ketika menceritakan sejarah hidup gurunya, Plotinus mengatakan bahwa gurunya tersebut dengan asyiknya mempelajari filsafat orang-orang barbar, yakni filsafat bukan yunani, dan banyak mengambil dari padanya kesatuan ”saya” (Atman) dengan zat universal (Brahman) yang terdapat dalam buku Upanishad dari india. Dalam kitab-kitab agama Hindu juga ada prinsip lain yang kita dapati dalam Plotinus dan yang asing bagi filsafat Yunani. Ajaran ini menganggap bahwa persatuan ”saya” dengan “zat universal” tidak mungkin terjadi dengan pengetahuan universal, melainkan dengan jalan intuisi, dan intuisi ini dapat diperoleh dengan latihan-latihan rohani dan renungan.













KESIMPULAN
Demikianlah sejarah ringkas filsafat yunani pasca Aristoteles. Diantaranya ada Epikuros, Stoa, dan Skeptis dari periode etik. Kemudian ada juga Neo Platonisme dari periode mistik. Berikut penjelasannya secara ringkas.
Ajaran filsafat Plotinus mengajak agar manusia melaksanakan inti ajarannya tentang jiwa sebagai tujuan hidup. Sebagai tujuan hidup dikatakannya ialah mencapai kebersatuan dengan Tuhan. Menyucikan diri ialah budi yang paling tinggi, karena itu merupakan jalan satu-satunya menuju cita-cita kemurnian.
Benda yang ada disekitar hidup manusia hendaknya diabaikan dan jiwa itu harus mencoba semata-mata hidup dalam lingkungan alam rohaniyah dan alam pikiran. Hanya dalam alam rohaniyah dan alam pikiran itulah jiwa dapat melatih diri untuk mencapai langkah terakhir, yaitu bersatu dengan Tuhan. Ini hanya dapat dicapai dengan mengembangkan perasaan yang luar biasa, yaitu rasa keluar dari diri sendiri dengan ekstase.
Dalam pembuatan dan perumusan makalah kami yang sangat sederhana, tentulah banyak suatu kekurangan yang akan timbul apabila makalah kami diteliti oleh seorang ahli ataupun pembaca yang budiman. Hal ini terjadi karena memang kami masih dalam proses belajar. Dengan kondisi dunia keilmuan yang bersifat dialektikan maka suatu karya pastilah terdapat kekurangan.Oleh karena itulah, sebagai intelektual yang terus belajar menuju suatu kebenaran yang subtansial, maka kami berharap kepada pembaca yang budiman agar memberikan saran yang konstruktif sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku.







[1] Imron, S.Ag., M.A, Filsafat Umum, Noer Fikri, 2013, hlm : 22-23
[2] Drs. Atang Abdul Hakim, M.A., Filsafat Umum: Dari Metologi sampai Teofilosofi, CV Pustaka Setia Bandung, 2008, hlm : 126-132

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking