Maandag 17 Junie 2013

AKSIOLOGI


AKSIOLOGI

Dasar manusia mencari dan menggali ilmu pengetahuan bersumber kepada tiga pertanyaan. Sementara filsafat memepelajari masalah ini sedalam-dalamnya dan hasil pengkajianya merupakan dasar bagi eksistensi ilmu. Untuk
mengingatkan ketiga pertanyaan itu adalah:
1. Apa yang ingin kita ketahui?
2. Bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan?; dan
3. Apakah nilai (manfaat) pengetahuan tersebut bagi kita?
Pertanyaan pertama di atas merupakan dasar pembahasan dalam filsafat dan biasa disebut dengan Ontologi ,
pertanyaan kedua juga merupakan dasar lain dari filsafat, disebut dengan Epistemologi dan pertanyaan terakhir merupakan[1]
landasan lain dari filsafat yang disebut dengan Aksiologi. Ketiga hal di atas merupakan landasan bagi filsafat dalam
membedah setiap jawaban dan seterusnya membawa kepada hakekat buah pemikiran tersebut. Hal ini juga berlaku untuk
ilmu pengetahuan, kita mempelajari ilmu ditinjau dari titik tolak yang sama untuk mendapatkan gambaran yang
sedalam-dalamnya.
Butler (1957) mengemukakan beberapa persoalan yang dibahas dalam filsafat, yaitu :
1. Metafisika, membahas : teologi, kosmologi, dan antropologi
2. Epistemologi, membahas : hakikat pengetahuan, sumber pengetahuan, dan metode pengetahuan
3. Aksiologi, membahas : etika dan estetika



            I. Pengertian Aksiologi
Secara etimologis, istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani Kuno, terdiri dari kata “aksios” berarti
nilai dan kata “logos” berarti teori. Jadi, aksiologi, merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai. Secara
singkat, aksiologi adalah teori nilai. Dagobert Runes (1963 : 32) mengemukakan beberapa persoalan dengan nilai yang
mencakup : a) hakikat nilai, b) tipe nilai, c) criteria nilai, dan d) status metafisika nilai
Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik,
social dan agama. Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan, rancangan dan aturan sebagai satu bentuk
pengendalian terhadap satu institusi dapat terwujud.
           
            II. Teori tentang Nilai
1. Kebebasan Nilai dan Keterikatan Nilai
Perkembangan yang terjadi dalam pengetahuan ternyata melahirkan sebuah polemik baru karena kebebasan
pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa kita sebut sebagai netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya ada jenis
pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai atau yang lebih dikenal sebagai value baound. Sekarang mana yang
lebih unggul antara netralitas pengetahuan dan pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai?
Bagi ilmuwan yang menganut faham bebas nilai kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan akan lebih cepat terjadi.
Karena ketiadaan hambatan dalam melakukan penelitian. Baik dalam memilih objek penelitian, cara yang digunakan maupun
penggunaan produk penelitian.
Sedangkan bagi ilmuwan penganut faham nilai terikat, perkembangan pengetahuan akan terjadi sebaliknya. karena
dibatasinya objek penelitian, cara, dan penggunaan oleh nilai.
Kendati demikian paham pengetahuan yang disandarkan pada teori bebas nilai ternyata melahirkan sebuah
permasalahan baru. Dari yang tadinya menciptakan pengetahuan sebagai sarana membantu manusia, ternyata kemudian
penemuannya tersebut justru menambah masalah bagi manusia. Meminjam istilah carl Gustav Jung “bukan lagi
Goethe yang melahirkan Faust melainkan Faust-lah yang melahirkan Goethe”.
2. Jenis-jenis Nilai
Berikut adalah jenis-jenis nilai yang di kategorikan pada perubahannya:
1. Baik dan Buruk
2. Sarana dan Tujuan
3. Penampakan dan Real
4. Subjektif dan Objektif
5. Murni dan Campuran
6. Aktual dan Potensial

3. Hakikat Nilai
Berikut adalah beberapa contoh dari hakikat nilai dilihat dari anggapan atau pendapatnya:
a. Nilai berasal dari kehendak, Voluntarisme.
b. Nilai berasal dari kesenangan, Hedonisme
c. Nilai berasal dari kepentingan.
d. Nilai berasal dari hal yang lebih disukai (preference).
e. Nilai berasal dari kehendak rasio murni.          

4. Kriteria Nilai
Standar pengujian nilai dipengaruhi aspek psikologis dan logis.
a. Kaum hedonist menemukan standar nilai dalam kuantitas kesenangan yang dijabarkan oleh individu atau
masyarakat.
b. Kaum idealis mengakui sistem objektif norma rasional sebagai kriteria.
c. Kaum naturalis menemukan ketahanan biologis sebagai tolok ukur.

5. Status Metafisik Nilai
a. Subjektivisme adalah nilai semata-mata tergantung pengalaman manusia.
b. Objektivisme logis adalah nilai merupakan hakikat logis atau subsistensi, bebas dari keberadaannya yang dikenal.
c. Objektivisme metafisik adalah nilai merupakan sesuatu yang ideal bersifat integral, objektif, dan komponen aktif dari
kenyataan metafisik. (mis: theisme).

6. Karakteristik Nilai
a. Bersifat abstrak; merupakan kualitas
b. Inheren pada objek
c. Bipolaritas yaiatu baik/buruk, indah/jelek, benar/salah.
d. Bersifat hirarkhis; Nilai kesenangan, nilai vital, nilai kerohanian

Teori Nilai membahas dua masalah yaitu masalah Etika dan Estetika. Etika membahas tentang baik buruknya. tingkah laku manusia sedangkan estetika membahas mengenai keindahan. Ringkasnya dalam pembahasan teori nilai ini
bukanlah membahas tentang nilai kebenaran walaupun kebenaran itu adalah nilai juga. Pengertian nilai itu adalah harga
dimana sesuatu mempunyai nilai karena dia mempunyai harga atau sesuatu itu mempunyai harga karena ia mempunyai nilai. Dan oleh karena itu nilai sesuatu yang sama belum tentu mempunyai harga yang sama pula karena penilaian.[2]
seseorang terhadap sesuatu yang sama itu biasanya berlainan. Bahkan ada yang tidak memberikan nilai terhadap sesuatu
itu karena ia tidak berharga baginya tetapi mungkin bagi orang lain malah mempunyai nilai yang sangat tinggi karena itu
sangatlah berharga baginya.
Perbedaan antara nilai sesuatu itu disebabkan sifat nilai itu sendiri. Nilai bersifat ide atau abstrak (tidak nyata). Nilai
bukanlah suatu fakta yang dapat ditangkap oleh indra. Tingkah laku perbuatan manusia atau sesuatu yang mempunyai nilai
itulah yang dapat ditangkap oleh indra karena ia bukan fakta yang nyata. Jika kita kembali kepada ilmu pengetahuan, maka
kita akan membahas masalah benar dan tidak benar. Kebenaran adalah persoalan logika dimana persoalan nilai adalah
persoalan penghayatan, perasaan, dan kepuasan. Ringkasan persoalan nilai bukanlah membahas kebenaran dan kesalahan
(benar dan salah) akan tetapi masalahnya ialah soal baik dan buruk, senang atau tidak senang. Masalah kebenaran memang
tidak terlepas dari nilai, tetapi nilai adalah menurut nilai logika. Tugas teori nilai adalah menyelesaikan masalah etika dan
estetika dimana pembahasan tentang nilai ini banyak teori yang dikemukakan oleh beberapa golongan dan mepunyai
pandangan yang tidak sama terhadap nilai itu. Seperti nilai yang dikemukakan oleh agama, positivisme, pragmatisme,
fvtalisme, hindunisme dan sebagainya.

1. Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata ”ethos” yang berarti adat kebiasaan tetapi ada yang
memakai istilah lain yaitu moral dari bahasa latin yakni jamak dari kata nos yang berarti adat kebiasaan juga. Akan tetapi
pengertian etika dan moral ini memiliki perbedaan satu sama lainnya. Etka ini bersifat teori sedangkan moral bersifat praktek.
Etika mempersoalkan bagaimana semestinya manusia bertindak sedangkan moral mempersoalkan bagaimana semestinya
tndakan manusia itu. Etika hanya mempertimbangkan tentang baik dan buruk suatu hal dan harus berlaku umum.
Secara singkat definisi etika dan moral adalah suatu teori mengenai tingkah laku manusia yaitu baik dan buruk yang
masih dapat dijangkau oleh akal. Moral adalah suatu ide tentang tingkah laku manusia (baik dan buruk) menurut situasi yang
tertentu. Jelaslah bahwa fungsi etika itu ialah mencari ukuran tentang penilaian tingkah laku perbuatan manusia (baik dan
buruk akan tetapi dalam prakteknya etika banyak sekali mendapatkan kesukaran-kesukaran. Hal ini disebabkan ukuran nilai
baik dan buruk tingkah laku manusia itu tidaklah sama (relatif) yaitu tidal terlepas dari alam masing-masing. Namun demikian
etika selalu mencapai tujuan akhir untuk menemukan ukuran etika yang dapat diterima secara umum atau dapat diterima
oleh semua bangsa di dunia ini. Perbuatan tingkah laku manusia itu tidaklah sama dalam arti pengambilan suatu sanksi etika
karena tidak semua tingkah laku manusia itu dapat dinilai oleh etika.
Tingkah laku manusia yang dapat dinilai oleh etika itu haruslah mempunyai syarat-syarat tertentu, yaitu :
1. Perbuatan manusia itu dikerjakan dengan penuh pengertian. Oleh karena itu orang-orang yang mengerjakan sesuatu
perbuatan jahat tetapi ia tidak mengetahui sebelumnya bahwa perbuatan itu jahat, maka perbuatan manusia semacam
ini tidak mendapat sanksi dalam etika.
2. Perbuatan yang dilakukan manusia itu dikerjakan dengan sengaja. Perbuatan manusia (kejahatan) yang dikerjakan
dalam keadaan tidak sengaja maka perbuatan manusia semacam itu tidak akan dinilai atau dikenakan sanksi oleh etika.
3. Perbuatan manusia dikerjakan dengan kebebasan atau dengan kehendak sendiri. Perbuatan manusia yang
dilakukan denan paksaan (dalam keadaan terpaksa) maka perbuatan itu tidak akan dikenakan sanksi etika.
Demikianlah persyaratan perbuatan manusia yang dapat dikenakan sanksi (hukuman) dalam etika.

2. Estetika
Estetika dan etika sebenarnya hampir tidak berbeda. Etika membahas masalah tingkah laku perbuatan manusia
(baik dan buruk). Sedangkan estetika membahas tentang indah atau tidaknya sesuatu. Tujuan estetika adalah untuk
menemukan ukuran yang berlaku umum tentang apa yang indah dan tidak indah itu. Yang jelas dalam hal ini adalah karya
seni manusia atau mengenai alam semesta ini.
Seperti dalam etika dimana kita sangat sukar untuk menemukan ukuran itu bahkan sampai sekarang belum dapat
ditemukan ukuran perbuatan baik dan buruk yang dilakukan oleh manusia. Estetika juga menghadapi hal yang sama, sebab
sampai sekarang belum dapat ditemukan ukuran yang dapat berlaku umum mengenai ukuran indah itu. Dalam hal ini
ternyata banyak sekali teori yang membahas mengenai masalah ukuran indah itu. Zaman dahulu kala, orang berkata bahwa
keindahan itu bersifat metafisika (abstrak). Sedangkan dalam teori modern, orang menyatakan bahwa keindahan itu adalah
kenyataan yang sesungguhnya atau sejenis dengan hakikat yang sebenarnya bersifat tetap.



[1] Mudhofir, ali, kamus istilah filsafat, Yogyakarta, hal 155
[2] Syadali, ahmad, filsafat umum, Yogyakarta, hal 151

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking