FILSAFAT HUMANISME
·
Humanisme
Humanisme adalah
istilah umum untuk berbagai jalan pikiran yang berbeda yang memfokuskan dirinya
ke jalan keluar umum dalam masalah-masalah atau isu-isu yang berhubungan dengan
manusia. Humanisme telah menjadi sejenis doktrin beretika yang cakupannya
diperluas hingga mencapai seluruh etnisitas manusia, berlawanan dengan
sistem-sistem beretika tradisonal yang hanya berlaku bagi kelompok-kelompok
etnis tertentu. Humanisme modern dibagi
kepada dua aliran. Humanisme keagamaan/religi berakar dari tradisi
Renaisans-Pencerahan dan diikuti banyak seniman, umat Kristen garis tengah, dan
para cendekiawan dalam kesenian bebas.
Pandangan mereka
biasanya terfokus pada martabat dan kebudiluhuran dari keberhasilan serta
kemungkinan yang dihasilkan umat manusia. Humanisme sekular mencerminkan
bangkitnya globalisme, teknologi, dan jatuhnya kekuasaan agama. Humanisme
sekular juga percaya pada martabat dan nilai seseorang dan kemampuan untuk
memperoleh kesadaran diri melalui logika. Orang-orang yang masuk dalam kategori
ini menganggap bahwa mereka merupakan jawaban atas perlunya sebuah filsafat
umum yang tidak dibatasi perbedaan kebudayaan yang diakibatkan adat-istiadat
dan agama.
Humanistik ditinjau
dari segi historinya ialah berasal dari suatu gerakan intelektual dan
kesusastraan yang pertama kali muncul di Italia pada paruh kedua abad ke-14
masehi. Pergerakan ini merupakan motor penggerak kebudayaan modern, khususnya
di Eropa. Sedangkan jika ditinjau dari segi filsafat, humanistik adalah faham
atau aliran yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia, sehingga manusia
menduduki posisi yang sangat sentral dan penting, baik dalam perenungan
teoritis-filsafati maupun dalam praktis hidup sehari-hari. Maka dalam faham
filsafat ini mengatakan bahwa segala sesuatu ukuran penilaian dan referensi
akhir dari semua kejadian manusiawi dikembalikan kepada manusia itu sendiri,
bukan pada kekuatan-kekuatan diluar manusia (misalnya, kekuatan Tuhan atau
alam).
Humanisme sebagai
suatu gerakan intelektual dan kesusastraan pada prinsipnya merupakan aspek
dasar dari gerakan Renaisanse (abad ke 14-16 M.) tujuan gerakan humanisme
adalah melepaskan diri dari belenggu kekuasaan Gereja dan membebaskan akal budi
dari kungkungannya yang mengikat. Maka dalam batasan-batasan tertentu, segala
bentuk kekuatan dari luar yang membelenggu kebebasan manusia harus segera
dipatahkan. Kebebasan merupakan tema
terpenting dari humanisme, tetapi bukan kebebasan yang absolut, atau kebebasan
yang hanya sebagai antitesis dari diterminisme abad pertengahan yang dilakukan
oleh orang-orang Gereja pada waktu itu,
tapi bukan berarti Humanisme pada waktu itu menentang tentang adanya kekuasaan
Tuhan. Namun, mereka percaya bahwa di balik kekuasaan Tuhan, masih banyak
peluang bagi manusia untuk menentukan jalan hidupnya, mengembangkan potensi dan
memilih masa depannya sendiri, tanpa terbelenggu oleh kodrat atau ketakutan
terhadap murka Tuhan.
Mereka berpedoman bahwa, kebebasan manusia itu
ada, dan perlu dipertahankan dan di expresikan.
Di depan sudah dijelaskan bahwa manusia adalah pusat dari Realitas,
sehingga segala sesuatu yang terdapat di dalam realitas harus dikembalikan lagi
pada manusia. Dengan demikian, tidak dibenarkan adanya penilaian atau
interpretasi tentang kejadian atau
Jika humanisme diartikan seperti itu, maka aliran filsafat seperti marxisme, pragmatisme, dan existensialisme dapat dikategorikan ke dalam humanisme.
Jika humanisme diartikan seperti itu, maka aliran filsafat seperti marxisme, pragmatisme, dan existensialisme dapat dikategorikan ke dalam humanisme.
·
faham marxisme pada dasarnya mendudukkan manusia
(masyarakat / kaum buruh) pada pusat kehidupan. Secara teoritis, paling tidak
menjunjung tinggi martabat dan kemanusiaan masyarakat buruh.
·
Pragmatismepun adalah humanisme, karena paham
inipun menempatkan manusia pada posisi yang sentral dalam realitas. Segala
sesuatu yang ada pada realitas selalu
dihubungkan dengan kegunaannya bagi manusia dalam menuju
hidup yang lebih baik.
·
Existensialismepun juga termasuk humanisme.
Menurut paham ini, tidak ada dunia diluar dunia manusia, dan di dalam dunianya
itu manusia berada dalam posisi yang paling sentral.[1]
Paham humanisme
dalam perkembangannya tidak lagi mengacu pada gerakan pembebasan pada zaman
Renaisance dan dari doktrin-doktrin yang membelenggu manusia, melainkan
berkembang dalam ilmu-ilmu pengetahuan. Misalnya kita sering mendengar tentang
ilmu-ilmu pengetahuan humanistik. Tetapi apakah artinya itu? Wilhelm Dulthey
(1833-1911) dalam gagasannya tentang Geisteswissenchaften, yang akan kita
jadikan ancang-ancang untuk menjawab tentang pertanyaan di atas. Istilah
Geisteswissenchaften bisa kita terjemahkan sebagai “ilmu-ilmu tentang manusia”.
Disiplin keilmuan yang menurut Dilthey menggunakan metode ini adalah apa yang
biasanya kita sebut ilmu-ilmu sosial, misalnya ekonomi, psikologi, antropologi
budaya, sosiologi, ilmu hukum, ilmu politik. Pertanyaan berikutnya adalah di
manakah letak humanistiknya Geisteswissenchaften, atau dalam hal apakah
Geisteswissenchaften dikatakan sebagai humanistik?
Konsep Dilthey tentang manusia memang berbau
humanisme. Menurut dia, gejala manusia adalah unik dengan tidak berhingga,
sehingga tidak dapat disejajarkan begitu saja dengan gejala-gejala alam yang
lain. Manusia adalah subyek, bukan obyek. Jawaban tentang pertanyaan yang tepat
untuk pertanyaan di atas adalah dengan melihat ciri humanistik
Geisteswissenchaften. Yakini, tekanannya pada keunikan, subjektivitas, dan
kerohanian manusia. Dalam Geisteswissenchaften manusia ditinggikan nilai dan
martabatnya. Namun ada juga kalangan yang tidak setuju dengan teorinya Dilthey
tentang Geisteswissenchaften yang seolah-olah meniadakan Naturwissenchaften
(alam fisik yang natural).
Seperti halnya
Sosiologi Humanistiknya Max Webber, tidak lalu menghilangkan peran statistik.
Demikian pula dengan Psikolog Humanistiknya Abraham Maslow, yang tidak
mengabaikan arti pentingnya Behaviorisme dan Psikoanalisa. Satu hal yang
tampaknya menjadi trade mark mereka adalah: Manusia yang menjadi “obyek” telaah
ilmu-ilmu mereka, diperlakukan secara hormat sebagai “subyek”. Maka sah saja
bagi kita untuk mendefinisikan ilmu-ilmu humanistik sebagai ilmu-ilmu yang
menempatkan manusia sebagai subyek, sedemikian rupa sehingga manusia tetap
dijunjung tinggi nilai dan martabat kemanusiaannya.
·
HUMANISME ISLAM ABAD XXI
Apakah humanisme
Islam dapat diimplementasikan dalam pelataran hidup umat manusia pada abad XXI,
ternyata merupakan sebuah tanda tanya besar. Tetap tak ada jawaban pasti hingga
kini, apakah humanisme Islam memiliki tempat yang istimewa dalam perkembangan sejarah
kaum Muslim pada abad XXI. Memang, Islam hadir sebagai agama berpengaruh di
dunia justru karena mengandung ajaran yang menjunjung tinggi humanisme. Islam
memandang bermakna kehidupan umat manusia (Al Qur’an, 21/Al Anbiyaa’: 10).
Itulah mengapa, sejak abad X Islam berhasil mendorong lahirnya kebudayaan dan
peradaban yang kemudian memberikan penekanan pada pentingnya warisan ilmu
pengetahuan dan filsafat Yunani Kuno. Inilah yang kemudian ditengarai sebagai
“Renaisans Islam”. Sekitar dua abad kemudiaan setelah itu, yakni pada abad XII,
Renaisans Islam diduplikasi oleh Renaisans Barat .Apa yang kemudian bisa
disimpulkan adalah ini.
Jika Renaisans Islam pada abad X merupakan
momentum waktu bagi terjadinya penyerapan terhadap warisan ilmu pengetahuan dan
filsafat Yunani Kuno, maka Renaisans abad XII di Barat merupakan sebuah kurun
waktu bagi terjadinya penyerapan terhadap warisan Yunani Kuno dan warisan Islam
dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat.
·
Realitas Suram
Pertanyaannya
kemudian, apakah pengalaman historis memasuki fase Renaisans abad X itu dapat
humanisme?
Ternyata, jawaban
terhadap pertanyaan tersebut tidaklah cukup mengembirakan. Abad XXI kini justru
ditandai oleh munculnya apa yang disebut the problem with Islam .[2]
Etika, epistemologi dan praksis kehidupan umat Islam kini tak sejalan dengan
cita-cita humanisme Islam yang muncul pada abad X. Realitas yang terbentang
dalam kehidupan kaum Muslim pada abad XXI kini justru mengingkari keagungan
Islam sendiri sebagai agama yang mampu menyuntikkan spirit untuk menjunjung
tinggi ilmu pengetahuan (Al Qur’an, 58/Al Mujaadilah:11).
Umat Islam malah lekat dengan gambaran radikalisme,
terorisme dan keterbelakangan dalam bidang sosial maupun ekonomi. Umat Islam
yang besar secara kuantitas bukanlah kekuatan yang berdiri di garda depan
perkembangan dahsyat ilmu pengetahuan dan filsafat. Umat Islam benar-benar
laksana buih di lautan yang dihempaskan ombak ke pantai. Para cendekiawan
Muslim yang sadar akan kenyataan ini lantas berhadapan dengan pertanyaan besar:
Apakah abad XXI kini merupakan episode keterjatuhan umat Islam hingga pada
titik nadir yang sangat dalam? Realitas suram dalam kehidupan umat Islam pada
abad XXI dapat disimak pada berbagai kontras yang terjadi antara dulu dan kini.
Ketika para ilmuwan Muslim pada abad pertengahan berhasil menemukan aljabar,
mengembangkan ilmu pengetahuan eksperimental serta menerjamahkan karya-karya
Plato dan Aristoteles dalam bidang filsafat, humanisme Islam abad X
sesungguhnya memiliki bentuk secara lebih kongkret dibandingkan dengan
humanisme sekuler yang berkembang kemudian di Eropa sejak sekitar abad XII.
Mengingat tak pernah ada jejak anti-ilmu pengetahuan yang tertoreh ke dalam Al
Qur’an, maka warisan paling berharga dari Renaisans Islam adalah the
great kingdom of reason.
Itulah mengapa,
secara substansial, kaum Muslim tak pernah berada dalam satu titik pertentangan
antara rasio dan dan wahyu (reason and revelation). Sebagaimana tampak
pada pengaruhnya di Eropa Barat melalui jalan penyebaran Islam di Spanyol, keberagamaan
kaum Muslim benar-benar melahirkan kebudayaan dan peradaban. Sementara,
kebudayaan dan peradaban itu memberi tempat secara terhormat kepada humanisme.
Sayangnya, kenyataan itu tak cukup diapresiasi pada abad XXI kini. Umat Islam
telah mencerai-beraikan keyakinan keagamaan mereka dengan humanisme. Tak
mengherankan jika muncul pola-pola keberagamaan yang garang, tetapi kemudian
dibanggakan sebagai suatu bentuk keber-Islam-an yang gagah perkasa.
Pada berbagai negara bangsa dengan umat Islam
sebagai yang terbesar secara demografis, perbenturan wahyu dan rasio
benar-benar mengemuka sebagai persoalan. Tragisnya lagi, persoalan tersebut
mengejawantah ke dalam dunia politik. Praktik keberagamaan Islam dalam konteks
ini benar-benar kehilangan watak humanistiknya. Atas nama Islam, sekelompok
orang dengan mudahnya mengembangkan radikalisme dan terseret ke dalam aksi-aksi
teror. Bukan saja umat Islam semakin tampak gamblang kejumudannya, lebih dari
itu ekspresi keber-Islam-an kaum Muslim telah sedemikian rupa mengingkari arti
penting penghargaan terhadap humanisme.
·
Sejarah Perkembangan Filsafat Humanisme
Sejarah
perkembangan aliran filsafat pendidikan humanisme ditelusuri pada masa klasik
barat dan masa klasik timur. Dasar pemikiran filsafat aliran filsafat pendidikan
ditemukan dalam pemikiran filsafat klasik cina konfusius dan pemikiran filsafat
klasik yunani. Aliran psikologi humanis itu muncul sebagai gerakan besar
psikologi dalam tahun 1950-an dan 1960-an. Dimana perkembangan peradapan baru
itu dikenal dengan nama renaisans yang terjadi pada abad 16. zaman renaisans
dikenal dengan sebutan jaman kebangkitan kembali. Selain itu juga dikenal
dengan nama jaman pemikiran (age of reason), perkembangan filsafat, ilmu, dan
kemanusiaan mengalami kebangkitan setelah lama di kungkung oleh kekerasan
dogma-dogma agama[3]
Humanisme sebagai
suatu gerakan filsafat dan geerakan kebudayaan berkembang sebagai suatu reaksi
terhadap dehumanis yang telah terjadi berabad-abad. Terjadi dalam dunia Eropa
sebagai akibat langsung dari kekuasaan para pemimpin agama yang merasa menjadi
satu-satunya otoritas dalam memberikan intepretasi terhadap dogma-dogma agam
yang kemudian diterjemahkan kedalam segenap bidang kehidupan di Eropa. Dalam
kontek reaksi ini, pelopor humanisme menjelaskan bahwa manusia dengan segenap
kebebasan memiliki potensi yang sangat besar dalam menjalankan kehidupan ini
secara mandiri untuk mencapai keberhasilan hidup didunia.
Perkembangan
selanjutnya terjadi pada abad 18. periode perkembangan ini dimasukan kedalam
masa penceraha (aufklarung). Tokoh humanis yang muncul adalah J.J Rousseu.
Tokoh ini mengutamakan pandangan tentang perkembangan alamiah manusia sebagai
metode untuk mencoba keparipurnaan tujuan-tujuan pendidikan. Pada abad 20
terjadi perkembangan humanistic yang disebut humanisme kontemporer. Humanisme
kontemporer merupakan reaksi protes atau gerakan protes terhadap dominasi
kekuatan-kekuatan yang mengancam eksistensi nilai-nilai kemanusiaan yang ada
dalam diri manusia di era modern. Perkembangan lebih lanjut dari filsafat
humanis ini adalah berkenaan dengan peran dan kontribusi filsafat
eksistensialisme yang cukup memberikan kontribusi dalam filsafat pendidikan
humanistic.
·
Pemikiran filsafat eksistensialisme
menyebutkan bahwa:
mannusia memilki
keberadaan yang unik dalam dirinya berbeda antara mannusia satu dengan manusia
lain. Dalam hal ini telaah tentang manusia diarahkan pada individualitas
manusia sebagai unit analisisnya. Eksistensialis lebih memperhatiakn pemahaman
makna dan tujuan hidup manusia ketimbang melakukan pemahaman terhadap
kajian-kajian ilmiah, dan metafisika tentang alam semesta. Kebebasan individu
sebagai milik manusia adalah sesuatu yang paling utama dan paling unik, karena
setiap individu memilki kebebasan untuk memilki sikap hidup, tujuan hidup dan
cara hidup sendiri.[4]
Aliran filsafat
eksistensialis ini kemudian dikembangkan dalam dunia pendidikan karena fungsi
pendidikan adalah memberikan proses perkembangan manusia secara otentik.
Manusia otentik adalah manusia yang dalam kepribadian diri memilki tanggung
jawab dan kesadaran diri untuk menghadapi persoalan-persoalan hidup dalam alam
hidup modern Kedua aliran tersebut memberikan perkembangan pada aliran filsafat
pendidikan humanisme.
Hal ini dapat ditunjukan melalui pengembangan
konsep perkembangan psikologis peserta didik dan metode pengajaran yang sesuai
dengan perkembangan humanistic setiap individu.Aliran psikologi humanistic
memiliki pandangan tentang manusia yang memilki keunikan tersendiri, memilki
potensi yang perlu diaktualisasikan dan memilki dorongan-dorongan yang murni
berasal dari dalam dirinya. Individu manusia yang telah bersasal dari dirinya
(Hanurawan,2006). indonesia belum merupakan sesuatu yang menarik. Seperti di
belahan dunia Muslim yang lain, Islam di Indonesia masih harus bercermin untuk
memperbaiki diri. Dan apa boleh buat, cermin itu adalah Renaisans Islam yang
pernah ada dalam sejarah.
terima kasih materinya
AntwoordVee uitedan teh why
AntwoordVee uitunch
AntwoordVee uitmantap,thnk sinformasinya gan
AntwoordVee uit