Maandag 17 Junie 2013

PLATO ( tokoh filsafat )


PLATO

Tak pelak lagi, tokoh filsafat yunani kuno, plato, merupakan cikal bakal lahirnya para filosuf politik barat sekaligus dedengkot pemikiran etika dan metafisika yunani kuno. Pendapat-pendapatnya dalam bidang filsafat sudah terbaca secara luas selama lebih dari 2.300 tahun.
Plato lahir sekitar tahun 428 SM. Ia berasal dari keluarga terkemuka yang turun temurun memang jabatan politik penting di Athena. Ayahnya bernama Ariston dan ibunya bernama periktione. Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan pyrilampes yang tak lain adalah adik ayahnya. Pyrilampes adalah seorang politikus, sementara plato banyak bergaul dengan para politikus Athena. Sehingga, tak heran jika pemikiran plato banyak terpengaruh oleh pyrilampes. Selain itu, pemikiran plato juga banyak dipengaruhi oleh kratylos, seorang fisuf yang meneruskan ajaran Heraclitus, yang berpendapat bahwa dunia ini senantiasa berubah-ubah.
Dari pergaulannya dengan para politikus, plato akhirnya menelurkan sebuah pemikiran bahwa pemimpin sebuah Negara haruslah seorang filsuf. Hal ini ia lontarkan karena kekecewaannya atas kepemimpinan para politikus yang ada saat itu, terutama terkait dengan kasus kematian gurunya, Socrates, melalui keputusan persidangan. Tatkala Socrates berumur tujuh puluh tahun, ia diseret kepengadilan dengan tuduhan tak berdasar, yakni membuat onar dan merusak akhlak generasi muda Athena. Ia kemudian di kutuk dan dijatuhi hukuman mati atas tuduhan itu. Pelaksana hukuman mati terhadap Socrates tersebut membuat plato benci dengan pemerintahan demokratis.
Sepeninggal Socrates, plato pergi dari Athena dan  mengembara selama bertahun-tahun. Sekitar tahun 427 SM, ia kembali lagi ke Athena dan mendirikan sebuah akademi sebagai pusat penyelidikan ilmiah. Melalui akademi tersebut, ia berusaha merealisasikan cita-citanya, yaitu mencetak filsuf-filsuf yang siapmenjadi pemimpin Negara. Dan, inilah yang menjadi awal mula munculnya universitas-universitas yang ada saat ini. Plato terus  mengepalai dan mengajar di akademi yang ia dirikan tersebut hingga akhir ayatnya, yaitu pada tahun 348 SM.[[1]]
Dalam menelurkan karya-karya filsafatnya, plato menggunakan metode dialog. Ia percaya bahwa filsafat akan lebih baik dan teruji jika dilakukan melalui dialog. Karena itu, banyak karyanya yang ia sampaikan secara lisan di akademinya. Namun demikian, disatu sisi, ia masih mempercayai beberapa mitos untuk mengemukakan dugaan-dugaan tentang hal duniawi. Dan tentu saja pemikirannya banyak mempengaruhi oleh sang guru, Socrates.
Menurut plato, tanpa melalui pengalaman (pengamatan), apabila manusia sudah terlatih dalam hal intuisi, ia pasti sanggup menatap kedunia idea, sehingga kemudian memiliki sejumlah gagasan tentang semua hal, termasuk kebaikan, kebenaran, keadilan, dan sebagainya. Plato mengembangkan pendekatan yang bersifat rasional deduktif, sebagaimana mudah dijumpai dalam matematika. Problem filsafat yang digarap oleh plato adalah keterlemparan jiwa manusia kedalam penjara dunia indrawi, yaitu tubuh. Ini merupakan persoalan ada (being) dan mengada (menjadi, becoming).
Plato menulis tidak kurang dari tiga puluh enam buku yang kebanyakan menyangkut masalah politik, etika, metafisika, dan teologi. Karya plato yang paling terkenal tertulis dalam buku yang berjudul republic. Buku tersebut berisi gagasan plato tentang pemerintahan yang paling ideal. Menurut plato, pemerintahan yang baik seharusnya dipegang oleh aristocrat, yaituseorang pemimpin terbaik, terbijak, dan orang pilihan dari suatu Negara. Selain itu, pemilihan pemimpin sebaiknya tidak melalui pemungutan suara, tetapi melalui proses keputusan bersama yang ditetapkan oleh guardian, yakni kumpulan para penguasa dan pemimpin masyarakat. Plato juga mengajarkan bahwa semua orang, baik laki-laki maupun perempuan, seharusnya memiliki hak yang sama untuk menjadi pemimpin. Dengan demikian, plato adalah filsuf pertama yang mengusulkan persamaan kesempatan tanpa memandang jenis kelamin.
Demikianlah beberapa pemikiran plato yang cukup fenomenal pada zamannya dan masih terkenal hingga sekarang. Dengan pemikiran-pemikirannya itulah, plato digambarkan sebagai orng paling bijakyang pernah dilahirkan sejak era Pythagoras dan sebelumnya aristoteles dilahirkan. Setidaknya, itulah yang diyakini oleh orang-orang yang mengenal benar pikiran plato.[2]
Karya-Karya Plato
1. Otentisitas
            Tentang karya-karya yang otentisitasnya masih merupakan objek diskusi, Taylor cenderung berfikir bahwa beberapa diantaranya dan barangkali semua betul-betul buah pena Plato. Tentang Hippias dan Menexinos misalnya kita mempunyai data-data yang menyatakan bahwa Aristoteles sudah mengandaikan kedua dialog ini ditulis oleh Plato.
            Diskusi mengenai otentisitas ketiga belas surat yang dikenakan kepada Plato, tidak boleh diremehkan karena surat-surat itu merupakan dokumen-dokumen utama yang kita miliki mengenai riwayat hidup Plato. Dan justru surat-surat ini memuat informasi terbanyak mengenai Plato.[4]
2. Kronologi
Bagaimana urutan kronologis karya-karya Palato? Mulai dari Friedrich S (1768-1834), banyak sarjana telah mengupayakan suatu pemecahan mengenai masalah kronologi ini. Berbagai metodetelah dicoba yang memberikan hasil-hasil yang berlainan. Pada pertengahan abad ke-19, sarjana Inggris L. Campbell mengusulkan suatu metode yang membawa hasil , metode ini disempurnakan lagi oleh beberapa sarjana Jerman dengan menyelidiki secara terperinci gaya bahasa Plato.
Beberapa data mengizinkan kita menarik kesimpulan tentang salah satu dialog, misalnya kita tahu bahwa Theaitetos harus ditempatkan tidak lama sesudah tahun 369. Dengan mempergunakan semua data itu, kita dapat membagikan dialog-dialog Plato atas tiga periode, yaitu:
-          Apologia, Kriton, Eutyphron, Lakhes, Kharmides, Lysis, Hippias, Minor, Menon, Gorgias, Protagoras, Euthydemos, Kratylos, Phaidon, Symposion. (Beberapa ahli menyangka bahwa salah satu dari dialog ini sudah ditulis sebelum kematian Socrates, tetapi kebanyakan berfikir  bahwa dialog pertama tidak lama ditulis sesudah kematian Socrates)
-          Politea, Phaidros, Parmenides, Theaitetos. (ditulis tidak lama sebelum perjalanan kedua ke Sisilia pada tahun 367)
-          Sophistes, Politikos, Philebos, Timaios, Kritias, Nomoi. (dialog-dialog ini ditulis sesudah perjalanan ketiga ke Sisilia, ketika urusannya dengan kesulitan-kesulitan politik di Sisilia sudah selesai)
Dalam tahun-tahun terakhir ini karangan Plato juga diselidiki dengan menggunakan komputer. Terutama Prof. L. Brandwood dari University of Manchester (Inggris) sangat giat dalam bidang ini. Hasil definitif belum diketahui. Tetapi sudah nyata bahwa diskusi mengenai otentisistas Surat VII dihidupkan kembali berdasarkan penyelidikan baru ini.[5]
Banyak sekali karyanya yang masih utuh lengkap.Pada umumnya tulisannya disusun dalam bentuk dialog. Barangkali karena pengaruh Socrates, yangkelihatannya memegang peranan pentingdalam karya-karyanya. Begitu penting tempat yang diberikan kepada Socrates (serng dijadikan tokoh utama), sehingga karya-karya Plato itu dapat dipandang sebagai monumen bagi Socrates.
Dari segala karyanya dapat diketahui bahwa Plato kenal para filsuf yang mendahuluinya. Seperti Herakleitos, Pythagoras, para filsuf Elea, terlebih para kaum sofis.
Perbedaan antara Socrates dan Plato adalah bahwa Socrates mengusahakan adanya definisi tentang hal yang bersifat umum guna menentukan hakikat atau esensi segala sesuatu, karena ia tidak puas dengan mengetahui hanya tindakan-tindakan satu persatu saja. Sedang Plato meneruskan usaha itu secara lebih maju lagi dengan  mengemukakan bahwa hakekat atau esensi segala sesuatu bukan hanya sebutan saja, tetapi memiliki kenyataan, yang lepas daripada sesuatu yang berada secara konkrit, yang disebut idea. Idea-idea itu nyata adanya, di dalam dunia idea.[6]
Sifat-Sifat Khusus Filsafat Plato
1. Bersifat Sokratik
            Keyakinan Plato bahwa filsuf harus dijadikan sebagai penguasa negara, boleh dipandang sebagai buah hasil refleksi Plato atas kematian Socrates, gurunya tercinta. Refleksi atas kematian Socrates selanjutnya menjuruskan seluruh pemikiran dan keaktifan Plato sampai pada masa tuanya.
2. Filsafat sebagai Dialog
            Semua karya yang ditulis Plato merupakan dialog-dialog, kecuali Surat-surat dan Apologia. Dalam karangan terakhir, Socrates membela diri di hadapan hakim-hakimnya dan semua warga negara Athena. Sekalipun hanya Socrates yang berbicara disini (monolog) namun suasana dialognya tetap ada.
            Plato adalah filsuf pertama dalam sejarah filsafat yang memilih dialog sebagai bentuk sastra untuk mengekspresikan pemikiran-pemikirannya. Plato menggemari dialog sebagai bentuk sastra karena mempunyai hubungan erat dengan ’sokratik’ seperti yang telah dijelaskan di atas. Plato memilih dialog dalam bentuk sastra justru karena Socrates memainkan peranan sentral dalam pemikirannya. Ia juga berkeyakinan bahwa filsafat menurut intinya tidak lain daripada suatu dialog. Kata philo-sophia berasal dari kalangan Plato (dan Socrates). Berfilsafat berarti mencari kebenaran atau kebijaksanaan , dan dapat dimengerti bahwa mencari suatu kebenaran itu sebaiknya dilakukan bersama-sama dalam bentuk dialog.[7]
3. Mite Dalam Dialog-dialog Plato
            Plato berpendapat bahwa mite (mythos) tidak bertentangan mutlak dengan rasio. Ada juga mite-mite yang mempunyai unsur-unsur kebenaran dan karena itu dapat digunakan dalam uraian filosofis. Plato mempergunakan seluruh bakatnya sebagai sastrawan dalam menciptakan mite yang memikat hati karena gaya puitisnya.[8]
Mite Plato yang termashur tentang penunggu-penunggu gua yang termuat dalam dialog Politeia (Manusia dapat dibandingkan-demikian katanya-) .
Ajaran-Ajaran Plato
Plato membedakan filsafat atas tiga bagian sebagai berikut:
  1. Dialektika: Tentang idea-idea atau pengertian-pengertian umum
  2. Fisika: tentang dunia materiil
  3. Etika: tentang kebaikan.[9]
1). Ajaran Tentang Idea-idea
            Ajaran tentang idea-idea merupakan inti dan dasar seluruh filsafat Plato. Baginya, Idea merupakan sesuatu yang objektif. Ada idea-idea terlepas dari subjek-subjek yang berfikir. Idea-idea tidak diciptakan oleh pemikiran kita. Idea tidak bergantung pada pemikiran, sebaliknya pemikiran tergantung pada idea-idea.Justru karena ada idea-idea yang berdiri sendiri, pemikiran kita dimungkinkan. Pemikiran itu tidak lain daripada menaruh perhatian kepadaidea-idea itu.
            Plato meneruskan usaha Socrates (menentukan hakekat atau esensi sesuatu) dengan melangkah lebih jauh lagi. Menurutnya, esensi itu mempunyai realitas, terlepas dari segala perbuatan konkrit. Idea keadilan, Idea keberanian, dan idea lain memang ada.
            Menurut Plato, ada dua macam dunia, yaitu dunia ini yang mencakup benda-benda jasmani yang disajikan kepada pancaindera. Pada taraf ini, harus diakui bahwa semuanya tetap berada dalam perubahan. Dunia yang kedua yaitu dunia idea, dunia yang terdiri dari idea-idea, dimana tiada perubahan, tiada kejamakan (bahwa yang baik hanya satu, yang adil hanya satu) dan beraifat kekal.
            Hubungan antara kedua dunia itu adalah bahwa idea-idea dari dunia atas itu hadir dalam benda yang konkrit (seperti idea manusia berada pada tiap manusia, dan seterusnya) dan bahwa sebaliknya benda-benda itu berpartisipasi dengan idea-ideanya, artinya mengambil bagian dari idea-ideanya.
            Anggapan Plato tentang dua dunia menjuruskan juga pendiriannya tentang ’pengenalan’. Menurut Plato ada dua jenis pengenalan. Di satu pihak ada pengenalan tentang idea-idea. Itulah pengenalan dalam arti yang sebenarnya. Rasio adalah alat untuk mencapai pengenalan. Dan ilmu pengetahuan adalah lapangan istimewa dimana pengenalan itu dipraktekkan. Dengan menerima pengenalan yang bersifat teguh, jelas, dan tidak berubah, Plato serentak juga menolakrelativisme kaum Sofis. Bagi Protagoras dan pengikutnya manusia adalah ukuran dalam bidang pengenalan, sedangkan bagi Plato, ukuran itu adalah idea-idea.Berdasarkan idea-idea itu menjadi mungkin kebenaran yang mutlak.
            Pengenalan yang kedua adalah pengenalan tentang benda-benda jasmani yang dicapai dengan pancaindera. Plato menamakannya ’doxa’ (opinion atau pendapat). Dengan demikian, Plato dapat mendamaikan ajaran Herakleitos dan Parmenides. Herakleitos berpendapat bahwa semuanya senantiasa dalam perubahan sedang pendapat Parmendeis yang berbanding terbalik dengan Heraklietos.
            Dalam Politeia, ia mengatakan bahwa antara idea-idea terdapat suatu orde atau hirarki. Seluruh hirarki itu memuncak dengan Idea ’yang baik’. Itulah idea tertinggi yang menyoroti semua idea lain.
2). Ajaran tentang Jiwa
            Plato menganggap jiwa sebagai pusat atau intisari kepribadian manusia. Dalam anggapannya tentang jiwa, Plato tidak saja dipengaruhi oleh Socrates, tetapi juga oleh Orfisme dan mazhab Pythagorian. Plato berkeyakinan teguh bahwa jiwa manusia bersifat baka. Keyakinan ini bersangkut paut dengan ajarannya tentang idea-idea. Salah satu argumen penting adalah kesamaan yang terdapat antara jiwa dan idea-idea. Jiwa pun mempunyai sifat-sifat yang sama seperti terdapat pada idea-idea.
            Jiwa dan tubuh dipandang sebagai dua kenyataan yang harus dibedakan dan dipisahkan. Jiwa berada sendiri. Bagiannya (atau fungsinya) ada tiga yaitu,
-          bagian rasional yang dihubungkan dengan kebijaksanaan
-          bagian kehendak atau keberanian yang dihubungkan dengan kegagahan
-          bagian keinginan atau nafsu yang dihubungkan dengan pengendalian diri
Disamping itu ada lagi keadilan yang tugasnya ialah keseimbangan antara ketiga bagian jiwa.
            Dalam Timaios, Plato menghidangkan kosmologinya. Disini ia membandingkan jagad raya sebagai makrocosmos dan manusia sebagai microcosmos.Dengan itu ia mengambil alih suatu prinsip yang sudah tertanam kuat dalam tradisi Yunani sejak Anaximenes. Seperti manusia terdiri dari tubuh dan jiwa, demikianpun dunia merupakan suatu makhluk hidup yang terdiri dari tubuh dan jiwa. Jiwa dunia diciptakan terlebih dahulu daripada jiwa-jiwa manusia.
3). Ajaran Tentang Etika
            Bagi Plato, tujuan hidup manusia ialah kehidupan yang senang dan bahagia. Manusia harus mengupayakan kesenangan dan kebahagiaan hidup itu. Menurutnya, kesenangan dan kebahagiaan hidup itu bukanlah pemuasan hawa nafsu selama hidup di dunia inderawi. Plato konsekuen dengan ajarannya tentang dua dunia. Karena itu, kesenangan dan kebahagiaan hidup haruslah dilihat dari hubungan kedua dunia itu.
            Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, dunia yang sesungguhnya bagi Plato ialah dunia ide. Sedangkan segala sesuatu yang ada di dunia inderawi hanyalah merupakan realitas bayangan. Selama manusia berada di dunia inderawi, ia senantiasa rindu untuk naik ke atas, ke dunia ide. Maka selama ia hidup, ia harus memiliki pengetahuan yang disempurnakan oleh pengertian yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Ia harus mengupayakan semaksimal mungkin untuk meraih pengetahuan yang benar, karena hanya orang yang memiliki pengetahuan yang benar yang disebut bijaksana dan berbudi baik. Pemahaman lewat pengetahuan yang benar itu akan menuntun mereka yang bijaksana dan berbudi baik sampai kepada pengenalan akan ide-ide yang merupakan kebenaran sejati. Mereka akan senantiasa berupaya untuk menghadirkan dunia ide dengan ide tertingginya yaitu ide kebaikan dan kebajikan di tengah-tengah dunia inderawi.
            Dengan demikian jelas terlihat bahwa etika Plato adalah etika yang didasarkan pada pengetahuan, sedangkan pengetahuan hanya mungkin diraih dan dimiliki lewat dan oleh akal budi, maka itulah sebabnya etika Plato disebut dengan etika rasional.[10]
4) Ajaran Tentang Negara
            Filsafat Plato memuncak dalam uraian-uraiannya mengenai negara yang dilatar belakangi dari pengalaman yang pahit dalam politik Athena. Menurut Plato ada hubungan erat antara ajarannya tentang etika dan teorinya tentang negara. Hidup yang baik menuntut juga negara yang baik.
            Selain Politea dan Nomoi ada karya ketiga lagi, dimana Plato membicarakan persoalan-persoalan yang bertalian dengan negara. Yaitu dialog yang berjudul Politikos. Dialog ini terdiri dari sepuluh buku atau bagian. Pokok-pokok yang diselidiki di dalamnya adalah ’keadilan’.
            Plato menunjukkan kecenderungan manusia sebagai makhluk sosial untuk memenuhi kebutuhannya sehingga diperlukan adanya ’spesialisasi’ (pembagian bidang masing-masing). Secara konsekuen Plato berpendirian juga bahwa hanya segolongan orang saja harus ditugaskan melakukan perang untuk keamanan.
            Menurut Plato, negara yang ideal terdiri dari tiga golongan:
  1. golongan pertama, penjaga-penjaga yang sebenarnya atau filsuf-filsuf.
  2. golongan kedua, pembantu-pembantu atau prajurit-prajurit, mereka ditugaskan menjamin keamanan negara dan mengawasi supaya warga negara tunduk pada filsuf-filsuf.
  3. golongan ketiga terdiri dari petani-petani dan tukang-tukang yang menanggung kehidupan ekonomis bagi seluruh polis.
Keadilan adalah keutamaan yang memungkinkan setiap golongan dan setiap warga negara untuk melaksanakan tugasnya masing-masing. Sebagaimana dalam jiwa, keadilan mengakibatkan bahwa ketiga bagian jiwa berfungsi dengan seimbang dan selaras.
Plato berpendapat bahwa dalam negara dimana terdapat Undang-Undang Dasar, bentuk negara yang paling baik adalah Monarki, bentuk negara yang kurang baik adalah aristokrasi, dan bentuk negara yang paling buruk adalah demokrasi. Tetapi jika tidak ada Undang-Undang dasar harus dikatakan sebaliknya. Maksudnya adalah bahwa dalam negara dimana tidak ada undang-undang, demokrasi itu dapat menghindarkan adanya kekuasaan negara yang disalahgunakan.
            Plato merupakan salah satu tokoh filsafat (filsuf) yang sangat berpengaruh. Hasil pemikirannya memberi peran yang sangat besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan hingga sekarang. Ajaran-ajaran Plato antara lain mengenai idea, jiwa, etika, negara, dan lain-lain. Plato adalah murid Socrates dan juga guru dari Aristoteles yang mengajarkan tentang idea yang bersifat objektif, dimana idea kebaikan dan kebajikan adalah idea yang tertinggi.
            Puncak karya filsafatnya adalah mengenai ajarannya tentang negara. Secara umum ajarannya tentang negara yang ideal terdiri dari tiga golongan yaitu:
  1. Golongan yang tertinggi, yang terdiri dari orang-orang yang memerintah yang disebut penjaga yang sebaiknya terdiri dari orang bijak (filsuf). Kebajikan golongan ini adalah kebijaksanaan.
  2. Golongan pembantu, yaitu para prajurit yang bertujuan menjaga keamanan dan menjamin ketaatan warga negara untuk taat kepada para pemimpin (penjaga). Kebajikan mereka adalah keberanian.
  3. Golongan terendah, yang terdiri dari rakyat biasa, para petani dan tukang serta para pedagang yang harus menanggung hidup ekonomi negara. Kebajikan mereka adalah pengendalian diri.
Mohammad Hatta mengatakan bahwa seorang filosof menulis tentang plato sebagai berikut, “plato pandai berbuat, ia dapat belajar seperti solon dan mengajar seperti Socrates. Ia pandai mendidik pemuda yang ingin belajar dan dapat memikat hati dan perhatian sahabat-sahabat pada dirinya. Murid-muridnya begitu sayang kepadanya seperti ia sayang kepadanya seperti ia sayang kepada mereka. Dia itu bagi mereka adalah sahabat, guru, dan penuntun. Plato tak pernah kawin dan tidak punya anak. Kemenakannya speusippos menggantikannya mengurus academia. Tulisan plato hamper rata-rata berbentuk dialog. Jumlahnya tidak kurang dari 34 buah. Belum lagi tulisan-tulisannya yang berupa surat dan puisi. Yang sukar ditentukan adalah waktu dikarangnya. Semua tulisannya dalam masa lebih dari setengah abad.
Mohammad hatta mengatakan bahwa ada dua pendapat yang terkemuka tentang cara memahamkan buah tangan plato yang sebanyak itu. Yang pertama cara metodik yang dikemukakan oleh FR. Schleier dalam kata pendahuluan bukunya, yang berisikan terjemahan dialog-dialog plato kedalam bahasa jerman (1804-1810 dan 1828). Yang kedua cara genetic, mengikuti perkembangan, yang dikemukakan oleh carl friendrich hermen dalam bukunya tentang sejarah dan system filosofi plato, terbit pada tahun 1839.
Schleiermacher mengatakan bahwa ketegasan plato tidak dapat diketahui dari tulisannya saja. Bagian yang terbesar dari pendapatnya dikemukakannya waktu mengajarkan filsafat. Suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah ialah bahwa ajaran yang dibentangkannya kepada pembaca sudah dipahaminya secara mendalam. Jadi, cara dia mengajarkan itu berdasarkan atas suatu rencana metodik. Mula-mula disiapkannya pembacanya dengan pengetahuan elementer. Kemudian, diajaklah pembacanya memikirkan hal-hal itu seterusnya dengan jalan dialektik, sampai akhirnya pikirannya matang tentang masalah itu. Dalam tulisan-tulisannya yang konstruktif.[3]
Herman tidak begitu pendapatnya. Ia mengatakan bahwa dari tulisan-tulisan plato dapat diikuti perkembangan pemikirannya sendiri. Ia bermula dengan yang kecil dan maju sampai yang besar. Akan tetapi, betapapun berbeda pendirian tentang menangkap buah pikiran plato dan tentang menentukan urutan tulisan dialognya, segala yang ditulisnya itu dapat ditempatkan dalam empat masa dan tiap-tiap masa mempunyai karakteristik sendiri.



[1] Wahyu murtiningsih, para filsuf dari plato sampai ibnu bajjah. IRCiSoD. Jogjakarta , hal 49-51
[2] Wahyu murtiningsih, para filsuf dari plato sampai ibnu bajjah. IRCiSoD. Jogjakarta , hal 51-52
[4] Dr. K. Bertens, sejarah Filsafat Yunani, hal : 98.
[5] Ibid, hal 99
[6] Dr. Harun Hadiwijono, sari Sejarah Filsafat Barat 1, (Yogyakarta: Kanisius), hal 40-41
[7] Dr. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, hal 102
[8] Ibid, hal 103
[9] Drs. Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta: Bumi Aksara), hal 125
[10] Dr. J. H. Rapar, Th.D, Ph.D, Filsafat Politik Plato, hal 54-55
[3] Drs. Atang abdul hakim, M.A. Drs. Beni ahmad saebani, M.Si. filsafat umum dari metologi sampai teofilosofi, hal 197-198.

1 opmerking: