Filsafat Agama
Filsafat agama bukanlah cabang
teologi. Oleh karena itu, filsafat agama bukan merupakan pembelaan filsafati
terhadap dogma, ajaran teologi tertentu, dan keyakinan religious. Filsafat
agama adalah cabang filsafat yang baru muncul sekitar abad ke-18.[1]
Agama sebagai
objek kajian filsafat
Agama adalah suatu system kepercayaan kepada
tuhan yang dianut oleh sekelompok manusia dengan selalu mengadakan interaksi
dengan-nya. Pokok persoalan yang dibahas dalam agama adalah interaksi tuhan,
manusia dan hubungan manusia dengan tuhan. Tuhan dan hubungan manusia
dengan-nya merupakan aspek metafisika, sedangkan manusia sebagai makhluk.
Dengan demikian, filsafat membahas agama dari segi metafisika dan fisika.
Ditinjau
dari segi objek material filsafat agama objeknya berdimensi metafisik dan
fisik. Sedangkan di tinjau dari objek formalnya adalah sudut pandang yang
menyeluruh, rasional, objektif, bebas, dan radikal tentang pokok-pokok agama.
Karena itu pembahasan filsafat agama perlu di tekankan pada segi obyektivitas,
kendati tidak di nafikan sama sekali masuknya unsure subjektivitas tadi. Namun,
dari pembahasan dasar agama yang besifat umum di usahakan seobjektif mungkin.
Berfikir
secara bebas dalam membahas dasar-dasar agama data mengambil dua bentuk, yaitu
:
a. Membahas
dasar-dasar agama secara analitis dan kritis tanpa terikat pada ajaran-ajaran
dan tanpa ada tujuan untuk menyatakan kebenaran suatu agama :
b. Membahas
dasar-dasa agama secara analitis dan kritis dengan maksud untuk menyatakan
kebenaran ajaran-ajaran agama, atau
sekurang-kurangnya untuk menjelaskan bahwa apa yang diajarkan agama tidak
bertentangan dengan logika. Dalam pembahasan semacam ini seseorang masih
terikat pada ajaran agama.
Dengan
demikian, bias dikatakan bahwa filsafat agama pada hakikatnya adalah pembahasan
yang mendalam tentang ajaran dasar agama.
A.
Pengertian Filsafat
Salah satu kebiasaan dunia pene-litian dan
keilmuan, berfungsi bahwa penemuan konsep tentang sesuatu ber-awal dari
pengetahuan tentang satuan-satuan. Setiap satuan yang ditemukan itu
dipilah-pilah, dikelompokkan ber-dasarkan persamaan, perbedaan, ciri-ciri
ter-tentu dan sebagainya. Berdasarkan penemuan yang telah diverivi-kasi
itulah orang merumuskan definisi tentang sesuatu itu.
Dalam sejarah perkembangan pemikirian manusia,
filsafat juga bukan diawali dari definisi, tetapi diawali dengan kegiatan
berfikir tentang segala sesuatu secara mendalam.Orang yang berfikir tentang
segala sesuatu itu tidak semuanya merumuskan definisi dari sesuatu yang dia
teliti, termasuk juga pengkajian tentang filsafat.
Jadi ada benarnya Muhammad Hatta dan Langeveld
mengatakan "lebih baik pengertian filsafat itu tidak dibica-rakan lebih
dahulu. Jika orang telah banyak membaca filsafat ia akan mengerti sendiri apa
filsafat itu. Namun demikian definisi filsafat bukan berarti tidak diperlukan.
Bagi orang yang belajar filsafat definisi itu juga diperlu-kan, terutama untuk
memahami pemikiran orang lain.
Dengan demikian, timbul pertanyaan siapa yang
pertama sekali memakai istilah filsafat dan siapa yang merumuskan definisinya.
Yang merumuskan definisinya adalah orang yang datang belakangan. Penggunaan
kata filsafat pertama sekali adalah Pytagoras sebagai reaksi terhadap para
cendekiawan pada masa itu yang menama-kan dirinya orang bijaksana, orang arif
atau orang yang ahli ilmu pengetahuan. Dalam membantah pendapat orang-orang
tersebut Pytagoras mengatakan pengetahuan yang lengkap tidak akan tercapai oleh
manusia.
Semenjak semula telah terjadi perbedaan
pendapat tentang asal kata filsafat. Ahmad Tafsir umpamanya me-ngatakan
filsafat adalah gabungan dari kata philein dan sophia. Menurut
Harun Nasution kedua kata tersebut setelah digabungkan
menjadi philosophia dan diterjemah-kan ke dalam bahasa Indonesia dengan
arti cinta hikmah atau kebijaksanaan.
Orang Arab memindahkan kata Yunani philosophia
ke dalam bahasa mereka dan menyesuaikannya dengan su-sunan kata bahasa Arab,
yaitu falsafa dengan pola fa`lala. Dengan demikian kata benda
dari falsafa itu adalah falsafah atau filsaf.
Dalam al-Quran kata filsafat tidak ada, yang
ada hanya adalah kata hikmah. Pada umumnya orang mema-hami antara
hikmah dan kebijaksanaan itu sama, pada hal sesungguhnya maksudnya berbeda.
Harun Hadiwijono mengartikan kata philosophia dengan mencintai
kebijaksa-naan, sedangkan Harun Nasution mengartikan dengan hikmah.
Kebijaksanaan biasanya diartikan dengan peng-ambilan keputusan berdasarkan
suatu pertimbangan terten-tu yang kadang-kadang berbeda dengan peraturan yang
telah ditentukan. Adapun hikmah sebenarnya diungkapkan pada sesuatu yang agung
atau suatu peristiwa yang dahsyat atau berat. Namun dalam konteks filsafat kata
philosophia itu merupakan terjemahan dari love of wisdom.
Dari pengertian kebahasaan itu dapat dipahami
bah-wa filsafat berarti cinta kepada kebijaksanaan. Tetapi pengertian itu belum
memberikan pemahaman yang cu-kup, karena maksudnya belum dipahami dengan baik.
Pemahaman yang mendasar tentang filsafat diperoleh melalui pengertian. Karena
berbagai pandangan dalam melihat sesuatu menyebabkan pandangan pemikir
tentang filsafat juga berbeda. Oleh sebab itu, banyak orang mem-berikan
pengertian yang berbeda pula tentang filsafat.
Herodotus mengatakan filsafat adalah perasaan cinta
kepada ilmu kebijaksanaan dengan memperoleh keahalian tentang kebijaksanaan
itu. Plato mengatakan filsafat ada-lah kegemaran dan kemauan untuk mendapatkan
penge-tahuan yang luhur. Aristoteles (384-322 sm) mengatakan filsafat adalah
ilmu tentang kebenaran. Cicero (106-3 sm.) mengatakan filsafat adalah
pengetahuan terluhur dan keinginan untuk mendapatkannya.
Thomas Hobes (1588-1679 M) salah seorang
filosof Inggris mengemukakan filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menerangkan
hubungan hasil dan sebab, atau sebab dan hasilnya dan oleh karena itu terjadi
perubahan. R. Berling mengatakan filsafat adalah pemikiran-pemikiran yang bebas
diilhami oleh rasio mengenai segala sesuatu yang timbul dari
pengalaman-pengalaman.
Alfred Ayer mengatakan filsafat adalah pencarian
akan jawaban atas sejumlah pertanyaan yang sudah semen-jak zaman Yunani dalam
hal-hal pokok. Pertanyaan-perta-nyaan mengenai apa yang dapat diketahui dan
bagaimana mengetahuinya, hal-hal apa yang ada dan bagaimana hu-bungannya satu
sama lain. Selanjutnya mempermasalah-kan apa-apa yang dapat diterima, mencari
ukuran-ukuran dan menguji nilai-nilainya apakah asumsi dari pemikiran itu dan
selanjutnya memeriksa apakah hal itu berlaku.
Immanuel Kant (1724-1804 M) salah seorang
filosof Jerman mengatakan filsafat adalah pengetahuan yang men-jadi pokok
pangkal pengetahuan yang tercakup di dalam-nya empat persoalan : yaitu Apa yang
dapat diketahui, Jawabnya : Metafisika. Apa yang seharusnya diketahui ?
Jawabnya : etika. Sampai di mana harapan kita ? Jawabnya :Agama. Apa manusia
itu ? Jawabnya Antropologi. Jujun S Suriasumantri mengatakan bahwa
filsafat menelaah segala persoalan yang mungkin dapat dipikirkan manu-sia.
Sesuai dengan fungsinya sebagai pionir, filsafat mempermasalahkan hal-hal
pokok, terjawab suatu per-soalan, filsafat mulai merambah pertanyaan lain.
Ir. Poedjawijatna mengatakan filsafat adalah
ilmu yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu
berdasarkan pikiran belaka. Titus mem-berikan difinisi bahwa filsafat itu
adalah sikap kritis, terbuka, toleran, mau melihat persoalan tanpa prasangka.
Selanjutnya dia mengatakan bahwa dalam mendefinisikan filsafat
sekurang-kurangnya bertolak dari empat sudut pandang yang saling melengkapi.
Pertama filsafat adalah suatu sikap terhadap
hidup dan alam semesta. Dari sudut ini dapat dijelaskan bahwa suatu sikap
filosofis adalah sikap berfikir yang melibatkan usaha untuk memikirkan masalah
hidup dan alam semesta dari semua sisi yang meliputi kesiapan menerima hidup
dalam alam semesta sebagaimana adanya dan mencoba melihat dalam keseluruhan
hubungan. Sikap filosofik dapat ditandai misalnya dengan sikap kritis, berfikir
terbuka, toleran dan mau melihat dari sisi lain.
Kedua adalah suatu metode berfikir reflektif
dan metode pencarian yang beralasan. Ini bukalah metode fil-safat yang
eksklusif, tetapi merupakan metode berfikir yang akurat dan sangat berhati-hati
terhadap seluruh pengalaman.
Ketiga filsafat adalah kumpulan masalah.
Semenjak dahulu sampai sekarang banyak masalah yang sangat men-dasar yang masih
tetap tidak terpecahkan, meskipun para filosof telah benyak mencoba memberikan
jawabannya. Contohnya apakah kebenaran itu ? apakah keindahan itu, apakah
perebedaan antara benar dan salah. ?
Keempat filsafat merupakan kumpulan teori atau
sistem-sistem pemikiran. Dalam hal ini filsafat berarti teori-teori filosofis
yang beraneka ragam atau sistem-sistem pemikiran yang telah muncul dalam
sejarah yang biasanya dikaitkan dengan nama-nama filosof ; seperti Sokrates,
Plato, Aristoteles, Agustinus. Mereka sangat ber-pengaruh bagi pemikiran di
masa sekarang. Dari mereka lahir istilah-istilah seperti idealisme, realisme,
pragmatis-me dan sebagainya.
Kattsoff mengemukakan filsafat, ialah
ilmu penge-tahuan yang dengan cahaya kodrati akal budi mencari sebab-sebab yang
pertama atau azas-azas yang tertinggi segala sesuatu. Filsafat dengan
kata lain merupakan ilmu pengeahuan tentang hal-hal pada sebab-sebabnya yang
pertama termasuk dalam ketertiban alam. Selain itu filsafat merupakan ukuran
pertama tentang nilai filsafat itu dan berakhir dengan kesimpulan yang jika
dihubungkan kembali dengan pengalaman hidup sehari-hari, serta
peristiwa-peristiwanya menjadikan pengalaman-pengalam-an serta peristiwa itu
lebih bermakna yang menyebabkan kita lebih berhasil menanganinya.
Selain itu Liang Gie mengemukan metode
yang ber-beda dalam pembahasan ini. Penulis itu meninjau filsafat dan segi
pelaku filsafat sendiri. Menurutnya pelaku filsafat itu terdiri atas beberapa
kelompok, antara lain :
Pertama pengejek filsafat, yaitu orang-orang
yang mencemoohkan atau memperolok-olokan filsafat maupun filosof karena
ketidaktahuannya.
Kedua peminat filsafat, yaitu seseorang yang
sekedar mempunyai arah hidup, pandangan dunia, ukuran moral atau telah membaca
karya filsafat sehingga tertarik kepada filsafat.
Ketiga penghafal filsafat, pada umumnya mereka
ialah mahasiswa yang kerjanya sehari-hari menghafal buku atau diktat filsafat
untuk menghadapi ujian yang diberikan oleh dosennya.
Keempat sarjana filsafat, yaitu mahasiswa yang
lulus di perguruan tinggi filsafat dengan memperoleh gelar dok-torandus atau
lainnya.
Kelima pengajar filsafat, yaitu sarjana yang
mem-berikan kuliah dalam mata kuliah filsafat atau salah satu cabangnya di
perguruan tinggi.
Keenam pemikir filsafat, yaitu seorang pemikir
da-lam bidang filsafat, dan itulah yang sebenarnya disebut filosof. Filosof
ialah seorang yang senantiasa memahami persoalan-persoalan filsafat dan terus
menerus melakukan pemikiran terhadap jawaban-jawaban dari persoalan-persoalan
itu dari waktu ke waktu dan diungkapkan dalam bentuk lisan maupun tulisan.
Itulah di antara definisi yang dikemukakan oleh
filosof. Perbedaan itu definisi itu menimbulkan kesan bahwa perbedaan itu
disebabkan oleh berbagai faktor, seperti latar belakang sosial, politik,
ekonomi dan seba-gainya. Jika disadari, perbedaan pendapat itu adalah wajar
karena perkembangan ilmu pengetahuan menimbulkan berbagai spesialisasi ilmu
yang sesungguhnya terpecah dari filsafat pada umumnya dan selanjutnya muncullah
filsafat khsus, seperti filsafat politik, filsafat akhlak, filsafat agama dan
sebagainya.
Dengan demikian diketahui betapa luasnya
lapangan filsafat. Tetapi walaupun telah terjadi berbagai pemikiran dalam
filsafat yang berbentuk umum menjadi berbagai bidang filsafat tertentu,
ternyata ciri khas filsafat itu tidak hilang, yaitu pembahasan bersikap
radikal, sistematis, universal dan bebas. Dengan demikian dalam pembahasan ini
semua prinsip itu memang diperlukan dalam mengkaji berbagai hal tentang agama
sehingga hasil itu disebut filsafat agama.
B. Pengertian
Agama
Kata “agama” berasal dari bahasa Sanskrit “a”
yang berarti tidak dan “gam” yang berarti pergi, tetap di tempat,
diwarisi turun temurun dalam kehidupan manusia. Ter-nyata agama memang
mempunyai sifat seperti itu. Agama, selain bagi orang-orang tertentu, selalu
menjadi pola hidup manusia. Dick Hartoko menyebut agama itu dengan religi,
yaitu ilmu yang meneliti hubungan antara manusia dengan “Yang Kudus” dan
hubungan itu direalisasikan dalam ibadat-ibadat. Kata religi berasal
dari bahasa Latin rele-gere yang berarti mengumpulkan, membaca. Agama
me-mang merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan dan semua cara itu
terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Di sisi lain kata religi
berasal dari religare yang berarti mengikat. Ajaran-ajaan agama
memang mem-punyai sifat mengikat bagi manusia. Seorang yang beragama tetap
terikat dengan hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh agama.
Sidi Gazalba mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan kata relegere asal kata relgi mengandung makna
berhati-hati hati-hati. Sikap berhati-hati ini disebabkan dalam religi terdapat
norma-norma dan aturan yang ketat. Dalam religi ini orang Roma mempunyai
anggapan bahwa manusia harus hati-hati terhadap Yang kudus dan Yang suci tetapi
juga sekalian tabu. Yang kudus dipercayai mempunyai sifat baik dan
sekaligus mempunyai sifat jahat.
Religi juga merupakan kecenderungan asli rohani
manusia yang berhubungan dengan alam semseta, nilai yang meliputi segalanya,
makna yang terakhir hakikat dari semua itu. Religi mencari makna dan nilai yang
berbeda-beda sama sekali dari segala sesuatu yang dikenal. Karena itulah religi
tidak berhubungan dengan yang kudus. Yang kudus itu belum tentu Tuhan atau
dewa-dewa. Dengan demikian banyak sekali kepercayaan yang biasanya disebut
religi, pada hal sebenarnya belum pantas disebut religi karena hubungan antara
manusia dan yang kudus itu belum jelas. Religi-religi yang bersahaja dan
Budhisma dalam bentuk awalnya misalnya menganggap Yang kudus itu bukan Tuhan
atau dewa-dewa. Dalam religi betapa pun bentuk dan sifatnya selalu ada
penghayatan yang berhu-bungan dengan Yang Kudus.
Manusia mengakui adanya ketergantungan kepada
Yang Mutlak atau Yang Kudus yang dihayati sebagai kontrol bagi
manusia. Untuk mendapatkan pertolongan dari Yang Mutlak itu manusia
secara bersama-sama men-jalankan ajaran tertentu.
Jadi religi adalah hubungan antara
manusia dengan Yang Kudus. Dalam hal ini yang kudus itu terdiri atas ber-bagai
kemungkinan, yaitu bisa berbentuk benda, tenaga, dan bisa pula berbentuk
pribadi manusia.
Selain itu dalam al-Quran terdapat kata din
yang menunjukkan pengertian agama. Kata din dengan akar katanya dal,
ya dan nun diungkapkan dalam dua bentuk yaitu din dan dain.
Al-Quran menyebut kata din ada me-nunjukkan arti agama dan ada
menunjukkan hari kiamat, sedangkan kata dain diartikan dengan utang.
Dalam tiga makna tersebut terdapat dua sisi
yang berlainan dalam tingkatan, martabat atau kedudukan. Yang pertama mempunyai
kedudukan, lebih tinggi, ditakuti dan disegani oleh yang kedua. Dalam agama,
Tuhan adalah pihak pertama yang mempunyai kekuasaan, kekuatan yang lebih
tinggi, ditakuti, juga diharapkan untuk memberikan bantuan dan bagi manusia.
Kata din dengan arti hari kiamat juga milik Tuhan dan manusia
tunduk kepada ketentuan Tuhan. Manusia merasa takut terhadap hari kiamat
sebagai milik Tuhan karena pada waktu itu dijanji-kan azab yang pedih
bagi orang yang berdosa. Adapun orang beriman merasa segan dan juga menaruh
harapan mendapat rahmat dan ampunan Allah pada hari kiamat itu. Kata dain
yang berarti utang juga terdapat pihak pertama sebagai yang berpiutang yang
jelas lebih kaya dan yang kedua sebagai yang berutang, bertaraf rendah, dan
merasa segan terhadap yang berpiutang. Dalam diri orang yang berutang pada
dasarnya terdapat harapan supaya utangnya dimaafkan dengan arti tidak perlu dibayar,
walaupun harapan itu jarang sekali terjadi. Dalam Islam manusia berutang kepada
Tuhan berupa kewajiban melaksanakan ajaran agama.
Dalam bahasa Semit istilah di atas berarti
undang-undang atau hukum. Kata itu juga berarti menundukkan, patuh, utang, balasan,
kebiasaan dan semua itu memang terdapat dalam agama. Di balik semua aktifitas
dalam agama itu terdapat balasan yang akan diterimanya nanti. Balasan itu
diperoleh setelah manusia berada di akhirat.
Semua ungkapan di atas menunjuk kepada
pengerti-an agama secara etimologi. Namun banyak pula di antara pemikir
yang mencoba memberikan definisi agama. Dengan demikian agama juga diberi
definisi oleh berbagai pemikir dalam bentuk yang berbagai macam. Dengan kata
lain agama itu mempunyai berbagai pengertian. Dengan istilah yang sangat umum
ada orang yang mengatakan bahwa agama adalah peraturan tentang cara hidup
di dunia ini. Sidi Gazalba memberikan
definisi bahwa agama ialah kepercayaan kepada Yang Kudus, menyatakan diri
berhubungan dengan Dia dalam bentuk ritus, kultus dan permohonan dan membentuk
sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu. Karena dalam definisi yang
dikemuka-kan di atas terlihat kepercayaan yang diungkapkan dalam agama itu
masih bersifat umum, Gazalba mengemukakan definisi agama Islam, yaitu:
kepercayaan kepada Allah yang direalisasikan dalam bentuk peribadatan, sehingga
membentuk taqwa berdasarkan al-Quran dan Sunnah.
Muhammad Abdul Qadir Ahmad mengatakan agama
yang diambil dari pengertian din al-haq ialah sistem hidup yang diterima
dan diredai Allah ialah sistem yang hanya diciptakan Allah sendiri dan atas
dasar itu manusia tunduk dan patuh kepada-Nya. Sistem hidup itu mencakup
berba-gai aspek kehidupan, termasuk akidah, akhlak, ibadah dan amal perbuatan
yang disyari`atkan Allah untuk manusia.
Selanjutnya dijelaskan bahwa agama itu dapat
dike-lompokkan menjadi dua bentuk, yaitu agama yang mene-kankan kepada iman dan
kepercayaan dan yang ke dua menekankan kepada aturan tentang cara hidup. Namun
demikian kombinasi antara keduanya akan menjadi defi-nisi agama yang lebih
memadai, yaitu sistem keperca-yaan dan praktek yang sesuai dengan kepercayaan
tersebut, atau cara hidup lahir dan batin.
Bila dilihat dengan seksama istilah-istilah itu
ber-muara kepada satu fokus yang disebut ikatan. Dalam agama terkandung
ikatan-ikatan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh setiap manusia, dan
ikatan itu mem-punyai pengaruh yang besar dalam kehidupan sehari-hari. Ikatan
itu bukan muncul dari sesuatu yang umum, tetapi berasal dari kekuatan yang
lebih tinggi dari manusia.
Harun Nasution mengemukakan delapan definisi
untuk agama, yaitu:
1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia
dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.
2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang
me-nguasai manusia.
3. Mengikatkan diri kepada suatu bentuk hidup
yang me-ngandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri
manusia dan yang mempengaruhi perbu-atan-perbuatan manusia.
4. Kepercayaan kepada sesuatu ikatan gaib yang
menim-bulkan cara hidup tertentu.
5. Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari
kekuatan gaib.
6. Pengakuan terhadap adanya
kewajiban-kewajiban yang diyakini berasal dari suatu kekuatan gaib.
7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul
dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang
terdapat dalam alam sekitar manusia.
8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada
manusia melalui seorang Rasul.
Definisi yang dikemukakan Harun Nasution dapat
disederhanakan menjadi dua definisi saja. Dari nomor 1 sampai 7 dapat diketahui
bahwa agama berkaitan dengan keterikatan manusia dengan kekuatan gaib yang
lebih ting-gi dari manusia yang mendorong manusia untuk berbuat baik, bisa yang
berkekuatan gaib itu dewa-dewa, atau roh-roh yang dipercayai mempunyai
kekuasaan luar biasa melebihi dari dirinya, sekalipun pada hakikatnya yang
dipercayai itu adalah benda mati seperti berhala dalam zaman Jahiliah. Adapun
definisi nomor 8 terfokus kepada agama wahyu yang diturunkan melalui nabi-nabi.
Jika disimpulkan, definisi-definisi agama itu menunjuk kepada kuatan gaib yang
ditakuti, disegani oleh manusia, baik oleh kekuasaan maupun karena sikap
pemarah dari yang gaib itu.
Dari delapan difinisi di atas dapat
diklasifikasikan bahwa terdapat empat hal penting dalam setiap agama, yaitu :
Pertama, kekuatan gaib, manusia merasa dirinya lemah
dan berhajat pada kekuatan gaib itu sebagai tempat minta tolong. Oleh sebab
itu, manusia merasa harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib
tersebut. Hubungan baik itu dapat diwujudkan dengan mematuhi perintah dan
larangan kekuatan gaib itu.
Kedua keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di
dunia ini dan hidup akhirat tergantung pada adanya hu-bungan baik dengan
kekuatan gaib itu. Dengan hilangnya hubungan baik itu, kesejahteraan dan
kebahagiaan, yang dicari akan hilang pula.
Ketiga respon yang bersifat emosionil dari manusia.
Res-pon itu bisa berupa rasa takut seperti yang terdapat dalam agama-agama
primitif, atau perasaan cinta seperti yang terdapat dalam agama-agama
monoteisme. Selanjutnya respon mengambil bentuk penyembahan yang terdapat di
dalam agama primitif, atau pemujkaan yang terdapat dalam agama menoteisme.
Lebih lanjut lagi respon itu mengambil bentuk cara hidup tertentu bagi
masyarakat yang bersangkutan.
Keempat paham adanya yang kudus (sacred) dan
suci dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk kitab yang mengandung
ajaran-ajaran agama itu dan dalam bentuk tempat-tempat tertentu. Setelah
diketahui pengertian masing-masing dari agama dan filsafat, perlu diketahui apa
sebenarnya pengertian filsafat agama. Harun Nasution mengemukakan bahwa
filsafat agama adalah berfikir tentang dasar-dasar agama menurut logika yang
bebas. Pemikiran ini terbagi menjadi dua bentuk, yaitu:
Pertama membahas dasar-dasar agama secara analitis dan
kritis tanpa terikat kepada ajaran agama, dan tanpa tujuan untuk menyatakan
kebenaran suatu agama. Kedua membahas dasar-dasar agama secara analitis
dan kritis dengan maksud untuk menyatakan kebenaran suatu ajaran agama atau
sekurang-kurangnya untuk menjelaskan bahwa apa yang diajarkan agama tidaklah
mustahil dan tidak bertentangan dengan logika. Dasar-dasar agama yang dibahas
antara lain pengiriman rasul, ketuhanan, roh manusia, keabadian hidup,
hubungan manusia dengan Tuhan, soal kejahatan, dan hidup sesudah mati dan
lain-lain. Oleh sebab itu pengertian filsafat agama adalah berfikir secara
kritis dan analitis menurut aturan logika tentang agama secara mendalam
sampai kepada setiap dasar-dasar agama itu..
C. Filsafat dan Agama
Agama
dan filsafat memainkan peran yang mendasar dan fundamental dalam sejarah dan
kehidupan manusia. Orang-orang yang mengetahui secara mendalam tentang sejarah
agama dan filsafat niscaya memahami secara benar bahwa pembahasan ini sama
sekali tidak membicarakan pertentangan antara keduanya dan juga tidak seorang
pun mengingkari peran sentral keduanya. Sebenarnya yang menjadi tema dan inti
perbedaan pandangan dan terus menyibukkan para pemikir tentangnya sepanjang
abad adalah bentuk hubungan keharmonisan dan kesesuaian dua mainstream disiplin
ini. Filasafat adalah sistem kebenaran tentang agama sebagai hasil dari
berfikir secara radikal, sistematis dan universal. Dasar-dasar agama yang
dipersoalkan dipikirkan menurut logika (teratur dan disiplin) dan bebas.
Ada
beberapa permasalah dalam filsafat dan agama, baik dari segi hubungan atau
persamaannya (titik temu), juga dari segi perbedaannya.
1. Hubungan dan
perbedaan Filsafat dengan Agama
Abu
Hayyan Tauhidi, dalam kitab al-Imtâ' wa al-Muânasah, berkata, "Filsafat
dan syariat senantiasa bersama, sebagaimana syariat dan filsafat
terus sejalan, sesuai, dan harmonis". Ahmad bin Sahl Balkhi yang dipanggil
Abu Yazid, dilahirkan pada tahun 236 Hijriah di desa Syamistiyan. Ketika baligh
ia berangkat ke Baghdad dan mendalami Filsafat dan ilmu Kalam (teologi). Di
samping ia berusaha memadukan syariat dan filsafat, ia juga meneliti
agama-agama berbeda lalu ditulis dalam kitabnya yang dinamai Syarâyi' al-Adyân
dan beberapa kitab lainnya.
Menurut
Prof. Nasroen, S.H, ia mengemukakan bahwa filsafat yang sejati haruslah
berdasarkan kepada agama. Malahan filsafat yang sejati itu terkandung dalam
agama. Apabila filsafat tidak berdasarkan kepada agama dan filsafat hanya semata-mata
berdasarkan akal dan pemikiran saja, maka filsafat tidak akan memuat kebenaran
obyektif , karena yang memberikan pandangan dan keputusan hanyalah akal
pikiran. Sedangkan kesanggupan akal pikiran ituterbatas, sehingga filsafat yang
hanya berdasarkan kepada akal pikiran semata tidak akan sanggup memberikan
kepuasan bagi manusia, terutama dalam tingkat pemahamannya terhadap yang gaib.
Sebagian
pemikir yang berwawasan dangkal berpandangan bahwa antara agama dan filsafat
terdapat perbedaan yang ekstrim, dan lebih jauh, dipandang bahwa
persoalan-persoalan agama agar tidak "ternodai" dan
"tercemari" mesti dipisahkan dari pembahasan dan pengkajian filsafat.
Tetapi, usaha pemisahan ini kelihatannya tidak membuahkan hasil, karena
filsafat berhubungan erat dengan hakikat dan tujuan akhir kehidupan, dengan
filsafat manusia dapat mengartikan dan menghayati nilai-penting kehidupan,
kebahagian, dan kesempurnaan hakiki.
Di
samping itu, masih banyak tema-tema mendasar berkisar tentang hukum-hukum
eksistensi di alam yang masih membutuhkan pengkajian dan analisa yang mendalam,
dan semua ini yang hanya dapat dilakukan dengan pendekatan filsafat. Jika agama
membincangkan tentang eksistensi-eksistensi di alam dan tujuan akhir perjalanan
segala maujud, lantas bagaimana mungkin agama bertentangan dengan filsafat.
Bahkan agama dapat menyodorkan asumsi-asumsi penting sebagai subyek penelitian
dan pengkajian filsafat.
Dengan
demikian, filsafat tidak lagi dipandang sebagai musuh agama dan salah satu
faktor perusak keimanan, bahkan sebagai alat dan perantara yang bermanfaat
untuk meluaskan pengetahuan dan makrifat tentang makna terdalam dan
rahasia-rahasia doktrin suci agama, dengan ini niscaya menambah kualitas
pengahayatan dan apresiasi kita terhadap kebenaran ajaran agama. Walaupun
hasil-hasil penelitian rasional filsafat tidak bertolak belakang dengan agama,
tapi selayaknya sebagian penganut agama justru bersikap proaktif dan melakukan
berbagai pengkajian dalam bidang filsafat sehingga landasan keimanan dan
keyakinannya semakin kuat dan terus menyempurna, bahkan karena motivasi
keimananlah mendorongnya melakukan observasi dan pembahasan filosofis yang
mendalam terhadap ajaran-ajaran agama itu sendiri dengan tujuan menyingkap
rahasia dan hakikatnya yang terdalam.
Antara
kebenaran ilmu dan filsafat bersifat nisbi (relatif) karena ilmu pengetahuan
terbatas pada objek, subjek dan metodologinya. Dan filsafat bersifat spekulatif
yang juga tergantung pada dugaan para filsuf masing-masing tetapi tidak semua
permasalahan bisa dijawab oleh agama. Abul Hasan 'Amiri, salah
seorang murid Abu Yazid Balkhi, adalah seorang filosof terkenal yang juga
berupaya membangun keharmonisan antara agama dan filsafat. Ia memandang bahwa
filsafat itu lahir dari argumentasi akal-pikiran dan dalam hal ini, akal
mustahil melanggar perintah-perintah Tuhan.
Abul
Hasan 'Amiri menyatakan, "Akal mempunyai kapabilitas mengatur segala
sesuatu yang berada dalam cakupannya, tetapi perlu diperhatikan bahwa kemampuan
akal ini tidak lain adalah pemberian dan kodrat Tuhan. Sebagaimana hukum alam
meliputi dan mengatur alam ini, akal juga mencakup alam jiwa dan berwenang
mengarahkannya. Tuhan merupakan sumber kebenaran yang meliputi secara kodrat
segala sesuatu. Cakupan kodrat adalah satu cakupan dimana Tuhan memberikan
kepada suatu makhluk apa-apa yang layak untuknya. Dengan ini, dapat kesimpulan
bahwa alam natural secara esensial berada dalam ruang lingkup hukum materi dan
hukum materi juga secara substansial mengikuti jiwa, dan jiwa berada di bawah
urusan akal yang membawa pesan-pesan Tuhan." Dapat disimpulkan bahwa
hubungan filsafat dan agama, mencakup :
Filsafat menjelaskan makna wahyu Tuhan sampai mendekati makna yang
sesungguhnya.
Mensistematisasikan, membetulkan dan memastikan ajaran agama yang
berdasarkan wahyu.
filsafat dapat membantu agama dalam menghadapi masalah-masalah baru.
Adapun perbedaan antara filsafat dan agama antara lain :
penyelidikan agama dengan filsafat di dasarkan atas wahyu Allah, sedangkan
filsafat kepada hasil pemikiran.
Kebenaran agama tergantung kepada kebenaran kepercayaan atas wahyu yang
bersifat absolut, sedangkan filsafat kebenaran atas penyelidikan sendiri
sebagai hasil pemikiran belaka jadi bersifat relatif dan terbatas.
Agama sebagai obyek pemikiran dikaji oleh filsafat, karena itu adalah
filsafat agama, dan dalam memahami ajaran agama akan lahir pemikiran tentang
agama.
Agama memberikan pengetahuan yang lebih tinggi dari filsafat,
karena pengetahuan yang tak ttercapai oleh pemikiran biasa karena demikian
tingginya hal itu hanya dapat diketahui dengan wahyu.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking