Maandag 17 Junie 2013

IKHWAN AL-SHAFA ( filsafat umum )


IKHWAN AL-SHAFA

A.Sejarah Lahirnya dan Karyanya
            Ikhwan Al-Shafa’ (Brethren of purity  atau The pure Brethen) adalah nama sekelompok pemikir Muslim rahasia (filosofiko-religius) berasal dari sekte Syiah Ismailiyah yang lahir di tengah komunitas Sunni sekitar abad ke-4 H/10 M di Bashrah.[1] Kelompok ini merupakan gerakan bawah tanah yang mempertahankan semangat berfilsafat khususnya dan pemikiran rasional umumnya di kalangan pengikutnya. Kerahasiaan kelompok ini, yang juga menamakan diri mereka khulan al-wafa’ ahl al-Adl dan  Abna’ al-Hamd. [2]Baru terungkap setelah berkuasanya Dinasti Buwaihi, yang berpaham Syiah di Baghdad pada tahun 983 M. ada kemungkinan kerahasiaannya ini dipengaruhi oleh paham  taqiyah (Menyembunyikan keyakinan) ajaran Syiah karena basis kegiatannya berada di tengah masyarakat sunni yang tidak sejalan dengan ideologinya. Tokoh terkemuka sebagai pelopor organisasi ini ialah Ahmad ibnu Abd Allah,Abu Sulaiman Muhammad ibnu Nashr Al-Busti yang terkenal dengan sebutan Al-Muqaddasi,Zaid ibnu Rifa’ah dan Abu Al- Hasan  Ali ibnu Harun Al-zanjay.[3]
            Menurut Hana Al-Fakhury dan Khalil Al-jarr  bahwa  nama Ikhwan Al-Shafa diekspresikan dari kisah Merpati dalam cerita Kalilat wa Dummat  yang diterjemahkan oleh Ibnu Muqaffa. [4]Melihat pada kesetiaan dan kejujuran serta kesucian persahabatan dalam organisasi ini seperti terdapat dalam kisah di atas, agaknya pernyataan Hana Al-Fakhury dan Khalil Al-jarr dapat diterima. Namun, penjelasan dari anggota yang bersangkutan tentang hal ini tidak ditemukan.
            Timbulnya organisasi yang bergerak dalam bidang keilmuan dan juga bertendensi politik ini ada hubungannya dengan kondisi dunia islam ketika itu, sejak pembatalan teologi rasional Mu’tazilah sebagai mazhab Negara oleh Al-Mutawakkil, maka kaum rasional dicopot dari jabatan pemerintahan, kemudian diusir  dari Baghdad. Berikutnya penguasa melarang mengajarkan kesusastraan, ilmu,dan filsafat, kondisi yang tidak kondusif ini berlanjut pada khalifah-khalifah sesudahnya. Hal ini menimbulkan suburnya cara berpikir tradisional  dan meredupnya keberanian berpikir rasional umat. Pada sisi lain, berjangkit pola hidup mewah di kalangan pembesar Negara. Maka, masing-masing golongan berusaha mendekati khalifah untuk menanamkan pengaruhnya sehingga timbul persaingan tidak sehat yang ,menjurus pada timbulnya dekadensi moral.
            Berdasarkan itulah lahirnya Ikhwan Al-Shafa yang ingin menyelamatkan masyarakat dan mendekatkannya pada jalan kebahagiaan yang diridhoi Allah. Menurut mereka.Syari’at telah dinodai bermacam-macam kejahilan dan dilumuri keanekaragaman kesesatan. Satu- satunya jalan untuk membersihkannya adalah filsafat.[5]
            Untuk memeperluas gerakannya, kelompok ini mengirimkan orang-orangnya ke kota-kota tertentu untuk membentuk cabang-cabang dan mengajak siapa saja yang berminat pada keilmuan dan kebenaran. Walaupun demikian, militansi anggota dan kerahasiaan mereka tetap dijaga. Untuk itu, ada empat tingkatan anggota sebagai berikut.

  1. Ikhwan al-Abrar al-Ruhama, yakni sekelompok yang berusia 15-30 tahun yang memiliki jiwa yang suci dan pikiran yang kuat. Mereka berstatus murid, karenanya dituntut tunduk dan patuh secara sempurna kepada guru.
  2. Ikhwan al-Akhyar wa al-Fudhala,yakni sekelompok orang yang berusia 30-40 tahun. Pada tingkat ini mereka sudah mampu memelihara persaudaraan, pemurah, kasih sayang, dan siap berkorban demi persaudaraan (tingkat guru-guru).
  3. Ikhwan al-Fudhala al-Kiram, yakni kelompok yang berusia 40-50 tahun. Dalam kenegaraan kedudukan mereka sama dengan sultan atau hakim. Mereka sudah mengetahui aturan ketuhanan sebagai tingkatan para nabi.
  4. Al-Kamal,yakni kelompok yang berusia 50 tahun ke atas. Mereka disebut dengan tingkat  al-Muqarrabin min Allah karena mereka sudah mampu memahami hakikat sesuatu sehingga mereka sudah berada di atas alam realitas, syariat dan wahyu sebagaimana malaikat al-Muqarrabin.[6]
Tingkatan Ikhwan di atas menunjukkan kepada kita bahwa betapa selektifnya mereka memilih anggota. Dengan kata lain, tidak semua orang dapat diterima sebagai anggota Ikhwan dan yang diterima adalah mereka yang benar-benar memenuhi syarat dan memiliki kualitas yang unggul terutama dalam bidang ketajaman pemikiran.
            Pada masa Khalifah Abbasiyah dikuasai Dinasti Salajikah yang berpaham Sunni, gerakan kelompok ini dinilai menganggu stabilitas keamanan dan ajaran-ajarannya dipandang sesat, maka pada tahun 1150 Khalifah Al-Muntanzid menginstuksikan agar seluruh karya filsafat Ikhwan diserahkan kepadanya untuk dibakar. [7]Hal ini disebabkan semata-mata perbedaan ideologi  antara penguasa Dinasti salajikah yang sunni dengan kelompok Ikhwan Al-shafa yang syiah.

Karya Tulisnya
      Pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan kelompok Ikhwan Al-shafa ini menghasilkan karya tulis sebanyak 52 risalah yang mereka namakan dengan Rasa’il Ikhwan al-shafa’. Ia merupakan ensiklopedia populer tentang ilmu dan filsafat yang ada pada waktu itu, ditinjau dari segi isi, Rasa’il ini dapat diklasifikasikan menjadi empat bidang:
a)      14 risalah tentang matematika, yang mencakup geometri, astronomi, musik, geografi, seni, modal, dan logika;
b)      17 risalah tentang fisika dan ilmu alam, yang mencakup geneologi, mineralogy, botani, hidup dan matinya alam, senang sakitnya alam, keterbatasan manusia, dan kemampuan kesadaran;
c)      10 risalah tentang ilmu jiwa, mencakup metafisika pythagoreanisme dan kebangkitan alam;
d)     11 risalah tentang ilmu-ilmu ketuhanan, meliputi kepercayaan dan keyakinan, hubungan alam dengan Allah, akidah mereka, kenabian dan keadaannya, tindakan rohani, bentuk konstitusi politik, kekuasaan Allah, magic dan azimat.[8]
B. Filsafatnya
1. Al-Tawfiq dan Al-Talfiq
            Pemikiran al-tawfiq (rekonsiliasi) Ikhwan Al-shafa terlihat pada tujuan pokok bidang keagamaan yang hendak mereka capai, yakni merekonsiliasikan  atau menyelaraskan antara agama dan filsafat dan juga antara agama-agama yang ada. Usaha ini terlihat dari ungkapan mereka bahwa syariah telah dikotori bermacam-macam kejahilan dan dilumuri berbagai kesesatan. Satu-satunya jalan untuk membersihkan nya adalah filsafat. Usaha rekonsiliasi antara agama dan filsafat sebenarnya telah dilakukan Al-farabi dan Ibnu sina. Akan tetapi, bedanya kedua filosof Muslim ini hanya mengupas keselarasan kebenaran filsafat dan agama, sebagaimana yang termuat dalam Al-quran. Sementara itu, Ikhwan Al-shafa melangkah lenih jauh, mereka melepaskan sekat-sekat perbedaan agama. Karenannya rekonsiliasi yang mereka maksud tidak hanya antara filsafat dengan agama islam, namun juga antara filsafat dengan seluruh agama, ajaran, dan keyakinan yang ada. Kemudian, menurut klaim mereka, apabila dipertemukan dan disusun antara filsafat Yunani dan syariah Arab, maka ia akan menghasilkan formulasi –formulasi yang lebih sempurna.[9]
            Kesannya Ikhwan Al-shafa menempatkan filsafat di atas agama. Akan tetapi, bukanlah demikian. Mereka hanya  menempatkan filsafat landasan agama yang dipadukan dengan ilmu. Kesimpulan ini didukung dengan pendapat mereka dalam bidang agama.menurut mereka ungkapan Al-quran yang berkonotasi indrawi dimaksudkan agar cocok dengan tingkatan nalar orang Arab Badui yang berkebudayaan bersahaja. Bagi orang yang memiliki pengetahuan yang lebih tinggi, mereka diharuskan memakai takwil dan melepaskan diri dari pengertian-pengertian indrawi.[10]
            Pada pihak lain,tawfiq(rekonsiliasi) mereka lakukan dengan cara mengambil ajaran-ajaran filsafat yang tidak bertentangan dengan ajaran islam. Dengan kata lain, mereka memahami ajaran agama secara rasional. Filsafat, menurut mereka, diawali dengan mencintai ilmu pengetahuan, kemudian dengan filsafat juga memahami hakikat segala sesuatu, dan diakhiri dengan beramal sesuai dengan pengetahuan.
            Sebenarnya antara tujuan filsafat dan agama, menurut Ikhwan Al-shafa, adalah sama. Filsafat bertujuan untuk mendekatkan diri kepada allah sejauh kemampuan manusia dengan dasar ilmu yang benar, akhlak yang mulia dan bertingkah laku yang terpuji.sementara itu, agama juga dimaksudkan untuk mendidik jiwa manusia dan mengantarkan mereka agar dapat mencapai kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat.
            Agaknya pandangan-pandangan mereka di atas tidak berbeda dengan pandangan para filosof muslim pada umunya. Menurut filosof  muslim agama memang seharusnya dinyatakan dalam lambang-lambang dan symbol-simbol (amsal wa rumuz) agar mudah dipahami oleh kaum awam yang merupakan bagian terbesar umat manusia. Jika tidak demikian, tentu banyak ajaran agama yang mereka tolak karena tidak mereka pahami. Sebaliknya, kaum filosof muslim harus mengambil makna metaforis terhadap teks Alquran yang bernada antropomorfis. Jika tidak, tentu banyak pula ajaran agama yang mereka tolak karena tidak masuk akal. Dengan cara seperti ini para filosof  muslim menempatkan nabi berdusta untuk kepentingan manusia (al-kidzb li maslahat al-nas).[11]
            Jadi, dasar pemanduannya, menurut mereka, seperti telah disebutkan, terletak pada tujuan agama itu sendiri, yakni untuk mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu, untuk mencapai maksud tersebut diperlukan filsafat. Mereka sebenarnya tidak mengingkari informasi agama yang bernada antropomorfis, tetapi untuk memahaminya mereka mengharuskan dengan jalan takwil, karena, menurut klaim mereka, Ikhwan al-shafa termasuk kelompok yang memiliki otoritas tentang ini, yakni termasuk dalam al-Rasikhun fi al-ilm.[12]
            Selanjutnya, mereka juga melakukan pemaduan antara agama-agama yang ada, seperti islam, Kristen, majuzi, yahudi, dan lain-lainnya.menurut mereka, tujuan semua agama tersebut sama-sama untuk mendekatkan diri kepada Allah. Atas dasar itu, mereka menghimpun, menyusun, dan memadukan semua agama yang ada menjadi satu agama khusus yang didasari atas asas filsafat. Ini akan mereka jadikan sebagai pegangan dalam Negara baru yang mereka impikan. Pemikiran ini termaktub dalam tujuan utama mereka yang kedua, yakni bidang politik. Menurut mereka, Daulat Abbasiyah telah menjadikan Negara dalam kerusakan (al-fasad), sedangkan penduduknya telah menjadi ahl al-syaar (jelek), yang perbuatan-perbuatan mereka bermuara pada kekurangan dan kebinasaan. Justru itulah Negara baru yang mereka idamkan bagaikan laki-laki yang satu dalam segala urusan dan jiwa yang satu dalam pengaturan. Sementara itu, penduduknya adalah ahl al-khair (baik) yang terdiri dari kaum ulama, ahli hikmah, dan orang yang utama atau pilihan, mereka sepakat atas pendapat yang satu, mazhab yang satu, dan agama yang satu.[13]
            Usaha al-tawfiq diatas akan menghasilkan kesatuan filsafat dan kesatuan ,mazhab. Implikasinya akan melahirkan apa yang disebut dengan al-talfiq (eklektik), yang memadukan semua pemikiran yang berkembang pada waktu itu, seperti pemikiran Persia, yunani, dan semua agama. Sementara itu, sumber ajaran mereka ialah Nuh, Ibrahim, Sokrates, Plato, Isa, Muhammad, dan Ali.[14]
Eklektik (talfiq) yang mereka lakukan ialah dengan cara mengambil ajaran-ajaran dari sumber mana pun yang mereka nilai benar dan baik, selama tidak bertentangan dengan jaran islam. Mereka tetap mengagungkan agama islam sebagai agama dan ajaran yang terbaik.
Usaha al-talfiq seperti diatas ada yang menilai bersifat idealis dan tidak mungkin membumi di alam nyata. Hal ini mengingat sifat manusia yang heterogenitas, dimana masing-masing individu mempunyai natur dan kemampuan yang berbeda. Namun, apabila dipahami secara cermat, ajaran eklektik (talfiq) Ikhwan Al-shafa ini bukanlah suatu kemustahilan karena yang mereka maksud ialah Islam ajaran utama, dan ajaran-ajaran lain hanya sekadar pelengkap untuk memudahkan pemahaman islam itu sendiri.
2. Ketuhanan
            Dalam pembahasan masalah ketuhanan, Ikhwan Al-shafa melandasi pemikirannya pada angka-angka atau bilangan. Menurut mereka ilmu bilangan adalah ‘’lidah’’ yang memepercakapkan tauhid, al-tanzih, dan meniadakan sifat dan tasybih serta dapat menolak atas orang yang mengingkari keesaan Allah.[15] Dengan kata lain,pengetahuan tentang angka membawa pada pengakuan tentang keesaan Allah karena apabila angka satu rusaklah semuanya.
            Selanjutnya mereka katakan, angka satu sebelum angka dua, dan dalam angka dua terkandung pengertian kesatuan. Dengan istilah lain, angka satu adalah angka yang pertama dan angka itu lebih dahulu dari angka dua dan lainnya. Oleh karena itu, keutamaan terletak pada yang dahulu, yakni angka satu. Sementara angka dua dan lainnya terjadinya kemudian. Oleh karena itu,terbuktilah bahwa yang Yang Maha Esa (Allah) lebih dahulu dari yang lainnya seperti dahulunya angka satu dari angka lain.[16]
            Sebagaimana filosof  muslim lainnya, Ikhwan Al-shafa juga melakukan al-tanzih dan meniadakan sifat serta al-tasybih pada Allah SWT. Ia bersih dari bentuk dan berupa. Ia adalah zat yang maha Esa, yang tidak mampu mahluk-nya untuk mengetahui hakikat-nya. Ia pencipta segala yang ada dengan cara al-faidh (emanasi) dan member bentuk. Penciptaannya tanpa waktu dan tempat dan cukup dengan firman-nya kun fa kana, maka adalah segala yang dikehendaki-nya. Ia berada pada segala sesuatu tanpa berbaur dan bercampur, seperti adanya angka satu dalam tiap-tiap bilangan. Sebagaimana bilangan satu tidak dapat dibagi dan tidak serupa dengan bilangan lain, demikian pula Allah tidak ada yang menyamai dan menyerupai –nya. Akan tetapi ia jadikan fitrah bagi manusia untuk dapat mengenal-nya tanpa belajar.[17]
            Dari pembicaraan di atas terlihat jelas besarnya pengaruh Neo-Pythagoreanisme yang dipadukan dengan filsafat keesaan Plotinus pada Ikhwan Al-Shafa. Barangkali kesan tauhid dalam filsafat mereka itulah yang menarik Ikhwan Al-Shafa mengambil sebagai argumen tentang keesaan Allah.
            Tentang adanya Allah, menurut Ikhwan Al-Shafa merupakan hal yang sangat mudah dan nyata. Hal ini disebabkan manusia dengan fitrahnya dapat mengenal Allah dan seluruh yang ada ini akan membawa manusia pada kesimpulan pasti tentang adanya Allah yang menciptakan segala yang ada.[18]
            Sebagaimana Mu’tazilah,Ikhwan Al-Shafa juga menolak sifat dan antropomorfis bagi Allah, sebagaimana yang satu tidaklah tersusun. Menurut mereka, melekatkan sifat kepada Allah hanya sekadar metaforis, guna memudahkan pemahaman bagi masyarakat awam. Sementara itu,Allah tidak dapat diserupakan dan disetarakan dengan mahluknya, seperti terpatri dalam firmannya: laisa kamislih syai’.
            Tentang ilmu Allah mereka katakana bahwa seluruh pengetahuan (al-ma’lumat) berada dalam ilmu Allah sebagaimana beradanya seluruh bilangan dalam bilangan satu. Berbeda dengan ilmu para pemikir, ilmu Allah dari zat-nya sebagaimana bilangan yang banyak dari bilangan yang satu, yang meliputi seluruh bilangan. Demikian pula ilmu Allah terhadap segala yang ada.[19]
3.Emanasi (al-faidh)
            Filsafat emanasi Ikhwan Al-Shafa terpengaruh oleh Pythagoras dan Plotinus. Menurut mereka, Allah adalah pencipta dan mutlak Esa. Dengan kemauan sendiri Allah menciptakan Akal pertama atau akal aktif secara emanasi. Kemudian, Allah menciptakan jiwa dengan perantaraan akal. Selanjutnya, Allah menciptakan materi pertama (al-hayula al-aula). Dengan demikian, kalau Allah kadim, lengkap, dan sempurna . maka akal pertama ini juga demikian halnya. Pada akal pertama lengkap segala potensi yang akan muncul pada wujud berikutnya. Sementara jiwa terciptanya secara emanasi dengan perantaraan jiwa, maka materi pertama adalah kadim, tidak lengkap, dan tidak sempurna.
            Jadi Allah tidak berhubungan dengan alam materi secara langsung sehingga kemurnian tauhid dapat terpelihara dengan sebaik-baiknya. Secara ringkas rangkaian proses emanasi itu sebagai berikut.
            Allah Maha Pencipta dan dari-Nya timbullah:
a)      Akal aktif atau Akal Pertama al-aql al-Fa’al);
b)      Jiwa Universal (al-Nafs al-Kulliyat);
c)      Materi Pertama (al-Hayula al-Ula);
d)     Alam aktif (al-Thabi’at al-Fa’ilat);
e)      Materi Absolut atau Materi Kedua (al-Jism al-Muthlaq);
f)       Alam planet-planet (Alam al-Aflak);
g)      Unsur-unsur alam terendah (Anashir al-Alam al-Sufla),yaitu air, udara, tanah, dan api;
h)      Materi gabungan, yang terdiri dari mineral, tumbuh-tumbuhan, dan hewan. [20]Sementara itu, manusia termasuk dalam kelompok hewan, tetapi hewan yang berbicara dan berpikir.
Selaras dengan prinsip matematika Ikhwan Al-Shafa, kedelapan mahiyah di atas bersama zat Allah yang mutlak, maka sempurnalah jumlah bilangan menjadi Sembilan. Angka Sembilan ini juga membentuk substansi organic pada tubuh manusia, yakni tulang, sumsum, daging, urat, darah, saraf, kulit, rambut, dan kuku.




[1] Muhammad Athif Al-Iraqy,al-Falsafat al-Islamiyyat,(Kairo: Dar al-Ma’rif,1978),hlm.29.
[2] T.J.De Boer, Tarikh al-falsafat fi al-Islam,diterj. Ke dalam bahasa Arab oleh Mhd’Abd Al-Hady Abu Zaidah, (Kairo: Mathba’at Taklif,1962),hlm.121.
[3] Muhammad Athif Al-Iraqy,loc.cit.
[4] Hana Al-Fakhury & Khalil Al-Jarr, Tarikh al-Falsafat al-Arabiyyat, (Berikut:Muassasat,1963),hlm.165.
[5] Muhammad Al-Bahi, al-Janib al-Illahi min al-Tafkir al-Is’amiy,(Kairo: Dar al ki’ab al-Araby,1967),hlm.305.
[6] Ahmad Amin,Zhuhr al-Islam,juz II, (Bairu: Dar al-Kitab al-Araby,1969),hlm.147.
[7] Sayed Ameer Ali, The Spirit of Islam,(Delhi: Idarah-I Adabbiyat-I Delli,1978),hlm.450.
[8] Mircea Elizade,The Enccyclopedia of  religion,(New York Macmillan 1987),hlm.93.
[9] Muhammad Athif Al-Iraqy,op.cit.,hlm.30.
[10] T.J.De Boer,op.cit.,hlm.134.
[11] Ibnu Taimiyah, al-Radd’ala al-Manthiqiyyin,(Beirut: Dar al-Bazh wa al-Nasyr,tt),hlm.442.
[12] Hana Al-Fakhury,op.cit., hlm.188-189.
[13] Muhammad Athif Al-Iraqy,op.cit.,hlm.21.
[14] T.J. De Boer,op.cit.,hlm.126.
[15] Hana Al-Fakhury,op.cit.,hlm.187.
[16] Ibid.,hlm.188
[17] Ibid.
[18] Muhammad Athif Al-Iraqy,op.cit.,hlm.34.
[19] Hana Al-Fakhury,op.cit.,hlm.189.
[20] T.J.De Boer,op.cit.,hlm.1

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking