IKHWAN AL-SHAFA
A.Sejarah Lahirnya dan Karyanya
Ikhwan
Al-Shafa’ (Brethren of purity atau The pure Brethen) adalah nama
sekelompok pemikir Muslim rahasia (filosofiko-religius) berasal dari sekte
Syiah Ismailiyah yang lahir di tengah komunitas Sunni sekitar abad ke-4 H/10 M
di Bashrah.[1]
Kelompok ini merupakan gerakan bawah tanah yang mempertahankan semangat
berfilsafat khususnya dan pemikiran rasional umumnya di kalangan pengikutnya.
Kerahasiaan kelompok ini, yang juga menamakan diri mereka khulan al-wafa’
ahl al-Adl dan Abna’ al-Hamd.
[2]Baru
terungkap setelah berkuasanya Dinasti Buwaihi, yang berpaham Syiah di Baghdad
pada tahun 983 M. ada kemungkinan kerahasiaannya ini dipengaruhi oleh paham taqiyah (Menyembunyikan keyakinan) ajaran
Syiah karena basis kegiatannya berada di tengah masyarakat sunni yang tidak
sejalan dengan ideologinya. Tokoh terkemuka sebagai pelopor organisasi ini
ialah Ahmad ibnu Abd Allah,Abu Sulaiman Muhammad ibnu Nashr Al-Busti yang
terkenal dengan sebutan Al-Muqaddasi,Zaid ibnu Rifa’ah dan Abu Al- Hasan Ali ibnu Harun Al-zanjay.[3]
Menurut
Hana Al-Fakhury dan Khalil Al-jarr
bahwa nama Ikhwan Al-Shafa
diekspresikan dari kisah Merpati dalam cerita Kalilat wa Dummat yang diterjemahkan oleh Ibnu Muqaffa. [4]Melihat
pada kesetiaan dan kejujuran serta kesucian persahabatan dalam organisasi ini
seperti terdapat dalam kisah di atas, agaknya pernyataan Hana Al-Fakhury dan
Khalil Al-jarr dapat diterima. Namun, penjelasan dari anggota yang bersangkutan
tentang hal ini tidak ditemukan.
Timbulnya
organisasi yang bergerak dalam bidang keilmuan dan juga bertendensi politik ini
ada hubungannya dengan kondisi dunia islam ketika itu, sejak pembatalan teologi
rasional Mu’tazilah sebagai mazhab Negara oleh Al-Mutawakkil, maka kaum
rasional dicopot dari jabatan pemerintahan, kemudian diusir dari Baghdad. Berikutnya penguasa melarang
mengajarkan kesusastraan, ilmu,dan filsafat, kondisi yang tidak kondusif ini
berlanjut pada khalifah-khalifah sesudahnya. Hal ini menimbulkan suburnya cara
berpikir tradisional dan meredupnya
keberanian berpikir rasional umat. Pada sisi lain, berjangkit pola hidup mewah
di kalangan pembesar Negara. Maka, masing-masing golongan berusaha mendekati
khalifah untuk menanamkan pengaruhnya sehingga timbul persaingan tidak sehat
yang ,menjurus pada timbulnya dekadensi moral.
Berdasarkan
itulah lahirnya Ikhwan Al-Shafa yang ingin menyelamatkan masyarakat dan
mendekatkannya pada jalan kebahagiaan yang diridhoi Allah. Menurut
mereka.Syari’at telah dinodai bermacam-macam kejahilan dan dilumuri
keanekaragaman kesesatan. Satu- satunya jalan untuk membersihkannya adalah
filsafat.[5]
Untuk
memeperluas gerakannya, kelompok ini mengirimkan orang-orangnya ke kota-kota
tertentu untuk membentuk cabang-cabang dan mengajak siapa saja yang berminat
pada keilmuan dan kebenaran. Walaupun demikian, militansi anggota dan
kerahasiaan mereka tetap dijaga. Untuk itu, ada empat tingkatan anggota sebagai
berikut.
- Ikhwan al-Abrar al-Ruhama, yakni sekelompok yang berusia 15-30 tahun yang
memiliki jiwa yang suci dan pikiran yang kuat. Mereka berstatus murid,
karenanya dituntut tunduk dan patuh secara sempurna kepada guru.
- Ikhwan al-Akhyar wa al-Fudhala,yakni sekelompok orang yang berusia 30-40 tahun.
Pada tingkat ini mereka sudah mampu memelihara persaudaraan, pemurah,
kasih sayang, dan siap berkorban demi persaudaraan (tingkat guru-guru).
- Ikhwan al-Fudhala al-Kiram, yakni kelompok yang berusia 40-50 tahun. Dalam
kenegaraan kedudukan mereka sama dengan sultan atau hakim. Mereka sudah
mengetahui aturan ketuhanan sebagai tingkatan para nabi.
- Al-Kamal,yakni kelompok yang berusia 50 tahun ke atas.
Mereka disebut dengan tingkat al-Muqarrabin min Allah karena mereka
sudah mampu memahami hakikat sesuatu sehingga mereka sudah berada di atas
alam realitas, syariat dan wahyu sebagaimana malaikat al-Muqarrabin.[6]
Tingkatan Ikhwan di atas
menunjukkan kepada kita bahwa betapa selektifnya mereka memilih anggota. Dengan
kata lain, tidak semua orang dapat diterima sebagai anggota Ikhwan dan yang
diterima adalah mereka yang benar-benar memenuhi syarat dan memiliki kualitas
yang unggul terutama dalam bidang ketajaman pemikiran.
Pada
masa Khalifah Abbasiyah dikuasai Dinasti Salajikah yang berpaham Sunni, gerakan
kelompok ini dinilai menganggu stabilitas keamanan dan ajaran-ajarannya
dipandang sesat, maka pada tahun 1150 Khalifah Al-Muntanzid menginstuksikan
agar seluruh karya filsafat Ikhwan diserahkan kepadanya untuk dibakar. [7]Hal
ini disebabkan semata-mata perbedaan ideologi
antara penguasa Dinasti salajikah yang sunni dengan kelompok Ikhwan
Al-shafa yang syiah.
Karya Tulisnya
Pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan kelompok Ikhwan
Al-shafa ini menghasilkan karya tulis sebanyak 52 risalah yang mereka namakan
dengan Rasa’il Ikhwan al-shafa’. Ia merupakan ensiklopedia populer
tentang ilmu dan filsafat yang ada pada waktu itu, ditinjau dari segi isi, Rasa’il
ini dapat diklasifikasikan menjadi empat bidang:
a)
14 risalah tentang matematika, yang mencakup geometri,
astronomi, musik, geografi, seni, modal, dan logika;
b)
17 risalah tentang fisika dan ilmu alam, yang mencakup
geneologi, mineralogy, botani, hidup dan matinya alam, senang sakitnya alam,
keterbatasan manusia, dan kemampuan kesadaran;
c)
10 risalah tentang ilmu jiwa, mencakup metafisika
pythagoreanisme dan kebangkitan alam;
d)
11 risalah tentang ilmu-ilmu ketuhanan, meliputi
kepercayaan dan keyakinan, hubungan alam dengan Allah, akidah mereka, kenabian
dan keadaannya, tindakan rohani, bentuk konstitusi politik, kekuasaan Allah,
magic dan azimat.[8]
B. Filsafatnya
1. Al-Tawfiq dan Al-Talfiq
Pemikiran al-tawfiq (rekonsiliasi) Ikhwan
Al-shafa terlihat pada tujuan pokok bidang keagamaan yang hendak mereka capai,
yakni merekonsiliasikan atau
menyelaraskan antara agama dan filsafat dan juga antara agama-agama yang ada.
Usaha ini terlihat dari ungkapan mereka bahwa syariah telah dikotori
bermacam-macam kejahilan dan dilumuri berbagai kesesatan. Satu-satunya jalan
untuk membersihkan nya adalah filsafat. Usaha rekonsiliasi antara agama dan
filsafat sebenarnya telah dilakukan Al-farabi dan Ibnu sina. Akan tetapi,
bedanya kedua filosof Muslim ini hanya mengupas keselarasan kebenaran filsafat
dan agama, sebagaimana yang termuat dalam Al-quran. Sementara itu, Ikhwan
Al-shafa melangkah lenih jauh, mereka melepaskan sekat-sekat perbedaan agama.
Karenannya rekonsiliasi yang mereka maksud tidak hanya antara filsafat dengan
agama islam, namun juga antara filsafat dengan seluruh agama, ajaran, dan
keyakinan yang ada. Kemudian, menurut klaim mereka, apabila dipertemukan dan
disusun antara filsafat Yunani dan syariah Arab, maka ia akan menghasilkan
formulasi –formulasi yang lebih sempurna.[9]
Kesannya
Ikhwan Al-shafa menempatkan filsafat di atas agama. Akan tetapi, bukanlah demikian.
Mereka hanya menempatkan filsafat
landasan agama yang dipadukan dengan ilmu. Kesimpulan ini didukung dengan
pendapat mereka dalam bidang agama.menurut mereka ungkapan Al-quran yang
berkonotasi indrawi dimaksudkan agar cocok dengan tingkatan nalar orang Arab
Badui yang berkebudayaan bersahaja. Bagi orang yang memiliki pengetahuan yang
lebih tinggi, mereka diharuskan memakai takwil dan melepaskan diri dari
pengertian-pengertian indrawi.[10]
Pada
pihak lain,tawfiq(rekonsiliasi) mereka lakukan dengan cara mengambil
ajaran-ajaran filsafat yang tidak bertentangan dengan ajaran islam. Dengan kata
lain, mereka memahami ajaran agama secara rasional. Filsafat, menurut mereka,
diawali dengan mencintai ilmu pengetahuan, kemudian dengan filsafat juga
memahami hakikat segala sesuatu, dan diakhiri dengan beramal sesuai dengan
pengetahuan.
Sebenarnya
antara tujuan filsafat dan agama, menurut Ikhwan Al-shafa, adalah sama.
Filsafat bertujuan untuk mendekatkan diri kepada allah sejauh kemampuan manusia
dengan dasar ilmu yang benar, akhlak yang mulia dan bertingkah laku yang
terpuji.sementara itu, agama juga dimaksudkan untuk mendidik jiwa manusia dan
mengantarkan mereka agar dapat mencapai kebahagiaan, baik di dunia maupun di
akhirat.
Agaknya
pandangan-pandangan mereka di atas tidak berbeda dengan pandangan para filosof
muslim pada umunya. Menurut filosof
muslim agama memang seharusnya dinyatakan dalam lambang-lambang dan
symbol-simbol (amsal wa rumuz) agar mudah dipahami oleh kaum awam yang
merupakan bagian terbesar umat manusia. Jika tidak demikian, tentu banyak
ajaran agama yang mereka tolak karena tidak mereka pahami. Sebaliknya, kaum
filosof muslim harus mengambil makna metaforis terhadap teks Alquran yang
bernada antropomorfis. Jika tidak, tentu banyak pula ajaran agama yang mereka
tolak karena tidak masuk akal. Dengan cara seperti ini para filosof muslim menempatkan nabi berdusta untuk
kepentingan manusia (al-kidzb li maslahat al-nas).[11]
Jadi,
dasar pemanduannya, menurut mereka, seperti telah disebutkan, terletak pada
tujuan agama itu sendiri, yakni untuk mendekatkan diri kepada Allah. Oleh
karena itu, untuk mencapai maksud tersebut diperlukan filsafat. Mereka
sebenarnya tidak mengingkari informasi agama yang bernada antropomorfis, tetapi
untuk memahaminya mereka mengharuskan dengan jalan takwil, karena, menurut
klaim mereka, Ikhwan al-shafa termasuk kelompok yang memiliki otoritas tentang
ini, yakni termasuk dalam al-Rasikhun fi al-ilm.[12]
Selanjutnya,
mereka juga melakukan pemaduan antara agama-agama yang ada, seperti islam,
Kristen, majuzi, yahudi, dan lain-lainnya.menurut mereka, tujuan semua agama
tersebut sama-sama untuk mendekatkan diri kepada Allah. Atas dasar itu, mereka
menghimpun, menyusun, dan memadukan semua agama yang ada menjadi satu agama
khusus yang didasari atas asas filsafat. Ini akan mereka jadikan sebagai
pegangan dalam Negara baru yang mereka impikan. Pemikiran ini termaktub dalam
tujuan utama mereka yang kedua, yakni bidang politik. Menurut mereka, Daulat
Abbasiyah telah menjadikan Negara dalam kerusakan (al-fasad), sedangkan
penduduknya telah menjadi ahl al-syaar (jelek), yang perbuatan-perbuatan
mereka bermuara pada kekurangan dan kebinasaan. Justru itulah Negara baru yang
mereka idamkan bagaikan laki-laki yang satu dalam segala urusan dan jiwa yang
satu dalam pengaturan. Sementara itu, penduduknya adalah ahl al-khair (baik)
yang terdiri dari kaum ulama, ahli hikmah, dan orang yang utama atau pilihan,
mereka sepakat atas pendapat yang satu, mazhab yang satu, dan agama yang satu.[13]
Usaha
al-tawfiq diatas akan menghasilkan kesatuan filsafat dan kesatuan
,mazhab. Implikasinya akan melahirkan apa yang disebut dengan al-talfiq (eklektik),
yang memadukan semua pemikiran yang berkembang pada waktu itu, seperti
pemikiran Persia, yunani, dan semua agama. Sementara itu, sumber ajaran mereka
ialah Nuh, Ibrahim, Sokrates, Plato, Isa, Muhammad, dan Ali.[14]
Eklektik (talfiq) yang
mereka lakukan ialah dengan cara mengambil ajaran-ajaran dari sumber mana pun
yang mereka nilai benar dan baik, selama tidak bertentangan dengan jaran islam.
Mereka tetap mengagungkan agama islam sebagai agama dan ajaran yang terbaik.
Usaha al-talfiq seperti
diatas ada yang menilai bersifat idealis dan tidak mungkin membumi di alam
nyata. Hal ini mengingat sifat manusia yang heterogenitas, dimana masing-masing
individu mempunyai natur dan kemampuan yang berbeda. Namun, apabila dipahami
secara cermat, ajaran eklektik (talfiq) Ikhwan Al-shafa ini bukanlah suatu
kemustahilan karena yang mereka maksud ialah Islam ajaran utama, dan
ajaran-ajaran lain hanya sekadar pelengkap untuk memudahkan pemahaman islam itu
sendiri.
2. Ketuhanan
Dalam
pembahasan masalah ketuhanan, Ikhwan Al-shafa melandasi pemikirannya pada
angka-angka atau bilangan. Menurut mereka ilmu bilangan adalah ‘’lidah’’ yang
memepercakapkan tauhid, al-tanzih, dan meniadakan sifat dan tasybih serta
dapat menolak atas orang yang mengingkari keesaan Allah.[15]
Dengan kata lain,pengetahuan tentang angka membawa pada pengakuan tentang
keesaan Allah karena apabila angka satu rusaklah semuanya.
Selanjutnya
mereka katakan, angka satu sebelum angka dua, dan dalam angka dua terkandung
pengertian kesatuan. Dengan istilah lain, angka satu adalah angka yang pertama
dan angka itu lebih dahulu dari angka dua dan lainnya. Oleh karena itu,
keutamaan terletak pada yang dahulu, yakni angka satu. Sementara angka dua dan
lainnya terjadinya kemudian. Oleh karena itu,terbuktilah bahwa yang Yang Maha
Esa (Allah) lebih dahulu dari yang lainnya seperti dahulunya angka satu dari
angka lain.[16]
Sebagaimana
filosof muslim lainnya, Ikhwan Al-shafa
juga melakukan al-tanzih dan meniadakan sifat serta al-tasybih pada
Allah SWT. Ia bersih dari bentuk dan berupa. Ia adalah zat yang maha Esa, yang
tidak mampu mahluk-nya untuk mengetahui hakikat-nya. Ia pencipta segala yang ada
dengan cara al-faidh (emanasi) dan member bentuk. Penciptaannya tanpa
waktu dan tempat dan cukup dengan firman-nya kun fa kana, maka adalah
segala yang dikehendaki-nya. Ia berada pada segala sesuatu tanpa berbaur dan
bercampur, seperti adanya angka satu dalam tiap-tiap bilangan. Sebagaimana
bilangan satu tidak dapat dibagi dan tidak serupa dengan bilangan lain,
demikian pula Allah tidak ada yang menyamai dan menyerupai –nya. Akan tetapi ia
jadikan fitrah bagi manusia untuk dapat mengenal-nya tanpa belajar.[17]
Dari
pembicaraan di atas terlihat jelas besarnya pengaruh Neo-Pythagoreanisme yang
dipadukan dengan filsafat keesaan Plotinus pada Ikhwan Al-Shafa. Barangkali
kesan tauhid dalam filsafat mereka itulah yang menarik Ikhwan Al-Shafa
mengambil sebagai argumen tentang keesaan Allah.
Tentang
adanya Allah, menurut Ikhwan Al-Shafa merupakan hal yang sangat mudah dan
nyata. Hal ini disebabkan manusia dengan fitrahnya dapat mengenal Allah dan
seluruh yang ada ini akan membawa manusia pada kesimpulan pasti tentang adanya
Allah yang menciptakan segala yang ada.[18]
Sebagaimana
Mu’tazilah,Ikhwan Al-Shafa juga menolak sifat dan antropomorfis bagi Allah,
sebagaimana yang satu tidaklah tersusun. Menurut mereka, melekatkan sifat
kepada Allah hanya sekadar metaforis, guna memudahkan pemahaman bagi masyarakat
awam. Sementara itu,Allah tidak dapat diserupakan dan disetarakan dengan
mahluknya, seperti terpatri dalam firmannya: laisa kamislih syai’.
Tentang
ilmu Allah mereka katakana bahwa seluruh pengetahuan (al-ma’lumat) berada
dalam ilmu Allah sebagaimana beradanya seluruh bilangan dalam bilangan satu.
Berbeda dengan ilmu para pemikir, ilmu Allah dari zat-nya sebagaimana bilangan
yang banyak dari bilangan yang satu, yang meliputi seluruh bilangan. Demikian
pula ilmu Allah terhadap segala yang ada.[19]
3.Emanasi (al-faidh)
Filsafat
emanasi Ikhwan Al-Shafa terpengaruh oleh Pythagoras dan Plotinus. Menurut
mereka, Allah adalah pencipta dan mutlak Esa. Dengan kemauan sendiri Allah
menciptakan Akal pertama atau akal aktif secara emanasi. Kemudian, Allah
menciptakan jiwa dengan perantaraan akal. Selanjutnya, Allah menciptakan materi
pertama (al-hayula al-aula). Dengan demikian, kalau Allah kadim,
lengkap, dan sempurna . maka akal pertama ini juga demikian halnya. Pada akal
pertama lengkap segala potensi yang akan muncul pada wujud berikutnya.
Sementara jiwa terciptanya secara emanasi dengan perantaraan jiwa, maka materi
pertama adalah kadim, tidak lengkap, dan tidak sempurna.
Jadi
Allah tidak berhubungan dengan alam materi secara langsung sehingga kemurnian
tauhid dapat terpelihara dengan sebaik-baiknya. Secara ringkas rangkaian proses
emanasi itu sebagai berikut.
Allah
Maha Pencipta dan dari-Nya timbullah:
a)
Akal aktif atau Akal Pertama al-aql al-Fa’al);
b)
Jiwa Universal (al-Nafs al-Kulliyat);
c)
Materi Pertama (al-Hayula al-Ula);
d)
Alam aktif (al-Thabi’at al-Fa’ilat);
e)
Materi Absolut atau Materi Kedua (al-Jism
al-Muthlaq);
f)
Alam planet-planet (Alam al-Aflak);
g)
Unsur-unsur alam terendah (Anashir al-Alam
al-Sufla),yaitu air, udara, tanah, dan api;
h)
Materi gabungan, yang terdiri dari mineral,
tumbuh-tumbuhan, dan hewan. [20]Sementara
itu, manusia termasuk dalam kelompok hewan, tetapi hewan yang berbicara dan
berpikir.
Selaras
dengan prinsip matematika Ikhwan Al-Shafa, kedelapan mahiyah di atas
bersama zat Allah yang mutlak, maka sempurnalah jumlah bilangan menjadi
Sembilan. Angka Sembilan ini juga membentuk substansi organic pada tubuh
manusia, yakni tulang, sumsum, daging, urat, darah, saraf, kulit, rambut, dan
kuku.
[1]
Muhammad Athif Al-Iraqy,al-Falsafat
al-Islamiyyat,(Kairo: Dar al-Ma’rif,1978),hlm.29.
[2]
T.J.De Boer, Tarikh
al-falsafat fi al-Islam,diterj. Ke dalam bahasa Arab oleh Mhd’Abd Al-Hady
Abu Zaidah, (Kairo: Mathba’at Taklif,1962),hlm.121.
[3]
Muhammad Athif Al-Iraqy,loc.cit.
[4]
Hana Al-Fakhury & Khalil
Al-Jarr, Tarikh al-Falsafat al-Arabiyyat, (Berikut:Muassasat,1963),hlm.165.
[5]
Muhammad Al-Bahi, al-Janib
al-Illahi min al-Tafkir al-Is’amiy,(Kairo: Dar al ki’ab
al-Araby,1967),hlm.305.
[6]
Ahmad Amin,Zhuhr al-Islam,juz
II, (Bairu: Dar al-Kitab al-Araby,1969),hlm.147.
[7]
Sayed Ameer Ali, The Spirit
of Islam,(Delhi: Idarah-I Adabbiyat-I Delli,1978),hlm.450.
[8]
Mircea Elizade,The
Enccyclopedia of religion,(New York
Macmillan 1987),hlm.93.
[9]
Muhammad Athif Al-Iraqy,op.cit.,hlm.30.
[10]
T.J.De Boer,op.cit.,hlm.134.
[11]
Ibnu Taimiyah, al-Radd’ala
al-Manthiqiyyin,(Beirut: Dar al-Bazh wa al-Nasyr,tt),hlm.442.
[12]
Hana Al-Fakhury,op.cit., hlm.188-189.
[13]
Muhammad Athif Al-Iraqy,op.cit.,hlm.21.
[14]
T.J. De Boer,op.cit.,hlm.126.
[15]
Hana Al-Fakhury,op.cit.,hlm.187.
[17]
Ibid.
[18]
Muhammad Athif Al-Iraqy,op.cit.,hlm.34.
[19]
Hana Al-Fakhury,op.cit.,hlm.189.
[20]
T.J.De Boer,op.cit.,hlm.1
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking