Maandag 17 Junie 2013

Spinoza ( tokoh filsafat )

Spinoza

Zaman modern adalah zaman dimana akal sangat diagung-agungkan. Selain itu pengaruh gereja sudah tidak dominan lagi karena kekuasaan gereja yang begitu agung di zaman Renaissance tersebut sudah runtuh. Keruntuhan kekuasaan gereja ini membawa dampak positif bagi perkembangan keilmuan di zaman ini. Tak heran bila di zaman ini muncul banyak filosof-filosof hebat yang begitu buah pemikirannya mampu mengguncang dunia. Salah satu filosof hebat tersebut adalah Baruch de Spinoza. [1]
Spinoza lahir pada tahun 1632 di Amsterdam dan meninggal pada tahun 1677. Nama aslinya adalah Baruch Spinoza. Namun, setelah mengucilkan diri dari agama Yahudi, ia mengubah namanya menjadi Benedictus de Spinoza. Ia adalah salah satu filsuf paling penting dan radikal pada awal era modern. Gagasan-gagasannya banyak dipengaruhi oleh pemikiran Descrates, terutama pemikiran terhadap subtansi yang pada akhirnya ia sebut sebagai realitas absolut.
Perkembangan pemikiran Spinoza yang semakin brilian dalam bidang filsafat membuat para tokoh agama Yahudi merasa gelisa dan cemas, karena ajaran-ajaran Spinoza dianggap ottodoks. Akibatnya, pada tahun 1656, Spinoza dikucilkan dari Sinagoga, sebuah daerah di Amsterdam. Setelah keluar dari Sinagoga, Spinoza mengalami suatu perubahan dalam hidupnya. Pada saat itulah ia mengganti namanya mejadi Benedictus de Spinoza.[2]
Lingkungan tempat beliau dibesarkan merupakan sekelompok masyarakat yang masih percaya kepada takhayul dan hal-hal yang bersifat tabu religious. Di masa kecilnya, beliau telah menunjukkan kecerdasannya sehingga banyak orang yang mengatakan bahwa beliau bisa menjadi seorang rabbi. Dalam kehidupannya, beliau tidak hanya belajar matematika dan ilmu-ilmu alam, beliau juga mempelajari bahasa Latin, Yunani, Belanda, Spayol, Perancis, Yahudi, Jerman, Hebrew, dan Italia. Pada usianya yang ke 18 tahun, beliau membuat marah komunitas Yahudi karena beliau meragukan Kitab Suci sebagai Wahyu Allah, mengkritik posisi imam Yahudi, mempertanyakan kedudukan bangsa Yahudi sebagai umat pilihan Yahweh, dan keterlibatan Allah secara personal dalam sejarah manusia.
Sikap yang ditunjukkan beliau kepada orang Yahudi, membuat para tokoh agama Yahudi mengambil sebuah sikap. Para tokoh agama Yahudi pada saat itu menjadi gelisah dengan semua ajaran-ajaran beliau. Para tokoh agama ini terus menerus memaksa agar beliau kembali lagi pada ortodoksi agama, namun hal ini tidak pernah berhasil. Akhirnya pada tahun 1656, beliau dikucilkan dari Sinagoga bahkan dianggap mati oleh komunitasnya. Hal yang lebih menyakitkan lagi adalah kenyataan bahwa keluarganya pun turut mengucilkannya. Setelah ada keturunan Yahudi fanatic yang mencoba membunuh beliau, beliau kemudian meninggalkan Amsterdam dan pindah ke Den Haag. Meskipun demikian, beliau tetap tenang mengatasi masalah hidupnya. Hingga Akhirnya beliau mengganti nama dirinya dengan Benedictus de Spinoza sebagai tanda kehidupan barunya.  [3]
Dalam keadaan dikucilkan tersebut,Spinoza mencari nafkah dengan cara mengasah lensa sambil terus-menerus menulis pemikiran-pemikirannya. Tak lama kemudian ia mengidap penyakit TBC dan akhirnya meninggal pada 21 Februari 1677, dalam usia 44 tahun. Selama pengucilan itu, pada tahun 1673, sebenarnya ia sempat diundang untuk mengajar di Universitas Heidelberg, namun ia menolaknya. Baginya, tidak ada yang lebih mengerikan daripada kenyataan bahwa orang-orang dihukum mati karena berpikir bebas. Inilah alas an menolak undangan itu.
Salah satu pemikiran yang paling terkenal yang ia hasilkan adalah pantheisme. Yakni sebuah paham yang menitikberatkan pada klaim bahwa Tuhan merupakan puncak dari keabsolutan yang tak terbatas. Maka atas ke-tak-terbatas-anNya itu Tuhan memberikan dampak/efek atas keberadaannya. Dampak/efek itu adalah realitas alam ini. Kalau kita ketahui bahwa menurut Hobbes alam adalah suatu realitas yang paling besar yang mengurusi segala macam yang ada, maka Spinoza memberikan argumen tandingan bahwa layaknya sebuah sungai, maka Tuhan-lah yang berperan sebagai hulunya, sedangkan apa-apa yang hadir di alam ini berperan sebagai aliran arus air yang menempati posisi manifestasi. Karena itu intinya Spinoza ingin mengatakan bahwa Tuhan-lah yang Maha segala-galanya, substansi-Nya dan realitas alam merupakan satu kesatuan.
Pendapat ini dinyatakan oleh beberapa kalangan memiliki kesamaan seperti wahdah al-wujûd yang digagas oleh ibn ‘Arabî. Akan tetapi setelah ditelisik lebih dalam, pantheisme berbeda dengan wahdah al-wujûd, karena panteisme hanya menyatakan keserupaan-nya antara Sang Pencipta dengan yang dicipta tanpa melibatkan perbedaannya antara Sang Pencipta dengan yang dicipta. Alhasil makalah ini tidak berniat untuk membandingkan keduanya, hanya saja kita perlu pahami bahwa kajian pantheisme-lah yang banyak menjelaskan tentang rumusan-rumusan substansi yang Spinoza cetuskan dan akan dibahas lebih lanjut pada halaman selanjutnya.
Seperti yang sudah dikatakan bahwa Spinoza adalah pencetus doktrin pantheisme. Doktrin ini kian mengejutkan banyak orang pada zaman itu dan kerap membuat gebrakan besar bahkan lebih. Jika menurutnya bahwa suatu entitas itu terdefinisikan dikarenakan ada batasan-batasan yang membatasinya, maka berbeda dengan Tuhan, menurut Spinoza Tuhan adalah sesuatu yang seluruhnya positif dan tidak terbatas karena Dia absolut. Tuhan adalah suatu substansi yang mana menurutnya telah menciptakan seluruh dunia ini atau menciptakan dunia ini sekaligus sebagai bagian dari dunia itu sendiri. Kalau dikatakan bahwa seorang teknisi telah membuat suatu mesin yang mempunyai kekuatan tertentu untuk menjalankan sebuah kendaraan, ini berarti bahwa teknisi tersebut telah menciptakan, yakni suatu proses aktif dengan mengadakan sesuatu yang awalnya tidak ada kemudian menjadi ada, akan tetapi menurut Spinoza terkait bahwa Tuhan merupakan bagian dari alam yang merupakan ciptaannya itu, maka Tuhan bukanlah seperti seseorang teknisi yang menciptakan suatu mesin itu, karena antara teknisi dan mesin itu secara substansi tidak memiliki kaitan, melainkan keduanya berasal dari suatu entitas yang berbeda jenisnya.
Tuhan dan ciptaannya adalah satu kesatuan yang saling mempengaruhi, kalau kita contohkan layaknya sebuah bensin yang mengalami proses pembakaran sehingga menimbulkan asap. Maka bensin tersebut telah menciptakan satu entitas tersendiri yakni asap, yang mana asap tersebut adalah bagian dari bensin itu. Contoh lain yang lebih mudah lagi adalah saling terkaitnya antara substansi ayah kepada anaknya, ayah merupakan penyebab sekaligus bagian dari anak tersebut, sedangkan anak adalah hasil atas adanya si ayah itu. Oleh karena itu menurut Spinoza tuhan merupakan sebab, alasan dan yang mendasari, sekaligus sebagai fakta penjelas fundamental kepada hal lain.[4]
Pandangan Spinoza tentang substansi tunggal merupakan tanggapannya atas pemikiran Descartes mengenai masalah substansi serta hubungan antara jiwa dan tubuh. Persoalan pertama yang menganggu pemikiran Spinoza ialah sudah sejak lama dan begitu kuatnya keyakinan orang Kristen yang mempercayai imaterialisme, termasuk imortalitas jiwa dan adanya Tuhan. Hal ini cukup membingungkan, karena sudah sejak lama pula orang Yunani beranggapan  bahwa yang ada hanyalah bahan materi, sehingga mereka materialisme. Sekarang,  yang menjadi tugas filsuf adalah menjelaskan sosok-sosok material, seperti jiwa, Tuhan dan sebagainya. Dengan kata lain, tugas filsuf adalah menyelesaikan persoalan yang bertentangan antara imaterialisme dan materialisme.  
Salah satu gagasan yang diajukan oleh Spinoza dalam memahami realitas yang absolut adalah subtansi tak terhingga atau Allah. Gagasan-gagasan Spinoza dalam mengungkap relitas yang absolut ini banyak dipengaruhi oleh rasionalisme Descartes. Namun, pengaruh Descraters yang telah membentuk pola pemikirannya, tidak semuanya diamini dengan baik oleh Spinoza, terutama dalam memahami subtansi sebagai realitas murni yang absolut. Dalam memahami substansi, Descartes melihat bahwa subtansi itu merupakan suatu realitas yang tidak membutuhkan sesuatu yang lain. Dengan kata lain, Descartes melihat Allah sebagai substansi yang tidak membutuhkan yang lain untuk berada. Namun, disamping substansi sebagai realitas absolute, Descartes menerima substansi lain meskipun substansi yang dimaksud tidak berlaku secara absolut, melainkan relatif.
Berkaitan dengan substansi yang diajukan oleh Descartes, Spinoza melihat bahwa Descartes tidak memiliki sebuah komitmen yang akurat untuk mendefinisikan substansi itu sendiri, karena dalam kenyataannya, Descartes masih menerima adanya substansi yang lain. Di sinilah letak ketidak setujuan Spinoza dengan gag san yang disodorkan oleh Descartes. Akan tetapi, di sisi lain  Spinoza menerima gagasan yangdisodorkan Descartes bahwa substansi itu adalah sesuatu yang tidak membutuhkan yang lain, artinya substansi itu ialah suatu realitas yang mandiri, otonom, utuh satu dan tunggal.
Untuk memahami substansi yang disodorkan oleh Descartes, Spinoza berpendapat bahwa substansi itu merupakan sesuatu yang ada dalam dirinya sendiri atau sesuatu yang tidak membutuhkan aspek lain untuk membentuk dirinya menjadi ada. Jadi, substansi itu berdiri sendiri dan membentuk dirinya sendiri. Itulah yang disebut sebagai causa prima non causata. Oleh karena itu, dalam tatanan ada (primum ontoligicum), substansi itu disebut sebagai yang pertama dan yang asli. Sedangkan dalam sistem kelogisan (prium logicium), subtansi merupakan realiatas yang pertama dan yang absolut. Dari sini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam pandangan Spinoza, hanya ada satu substansi, dan substansi itu adalah “ Dia yang Tak Terhingga” atau “Allah”. Konsep metafisika Spinoza terhadap substansi sebagi realitas yang absolut ingin mempelihatkan dengan jelas objek penjelajahan refleksi metafisikatehadap realitas yang ada yang paling tinggi dan sempurna, yaitu refleksi tentang Allah sebagi realitas yang absolut, murni, tunggal, dan sempurna.
Tetapi selain Allah sebagai substansi, Spinoza juga melihat alam sebagai substansi. Dengan kata lain, dalam pandangan Spinoza, Allah atau alam merupakan suatu kenyataan tunggal yang memiliki satu kesatuan. Pemahaman ini berangkat dari suatu pemahaman terhadap pembedaan antara substansi yang oleh Spinoza disebut sebagai atribut-atribut dan modi. Modi adalah cara berada dari atribut-atribut, dan secara tidak langsung adalah dari substansi.
Memang benar bahwa Spinoza mengakui hanya ada satu substansi, tetapi didalam substansi itu terkandung atribut-atribut (sifat hakiki) yang tak terhingga jumlahnya. Namun, dari sekian banyak sifat hakiki itu, hanya ada dua yang dapat diketahui oleh manusia, yaitu keluasan (extension) dan pemikiran (cogitatio). Dalam hal ini, Spinoza melihat Allah sebagai keluasan (dues est res extensa) dan pemikiran (deus est res cogitans). Sementara, keluasan dan pemikiran merupakan dua hal yang memiliki substansi yang sama. Spinoza menggagas permasalahan ini dalam ajaran tentang substansi tunggal, Allah atau alam (deus sive natua) menurut Spinoza, realitas yang absolute itu memiliki sifat yang abadi, tak terbatas, dan tunggal.  Dari pemahaman ini, Spinoza melihat, karena Allah dan manusia sebagai satu-satunya substansi, maka segala sesuatu yang ada di bumi atau ala mini berasal dari Allah.[5]
Eksistensi yang menurut Spinoza merupakan turunan Tuhan, yakni manusia.
· Manusia
Kita tahu bahwa di dalam diri manusia bukanlah hanya aspek fisik saja yang ada, akan tetapi di dalam tubuh manusia juga meliputi aspek batin, yang sering dikenal dengan sebutan mind/pikiran dan soul/jiwa.
Menurut Spinoza, jiwa adalah penggagas dari tubuh. Dalam artian menurut Spinoza, jika kita ingin memahami jiwa, maka kita harus memahami tubuh. Manusia adalah tubuh, yang berkaitan dan dibatasi oleh badan-badan lain, dan semua badan-badan ini adalah mode dari perpanjangan atribut ilahi. Setiap tubuh, bahkan setiap bagian dari semua tubuh diwakilkan oleh “an idea in the mind of God”/ide dalam pikiran Tuhan, singkatnya kita pahami bahwa setiap sesuatu yang merupakan perpanjangan dari atribut Tuhan adalah sama atau sesuai dengan pikiran Tuhan. Seperti contoh bahwa apa yang dilakukan oleh tubuh manusia merupakan bagian dari keinginan pikiran manusia itu sendiri. Maka dari itu, menurut pandangan Spinoza, manusia adalah bagian dari akal Tuhan.
Berbicara mengenai tubuh dan jiwa, Spinoza mengemukakan bahwa keduanya adalah suatu substansi yang memiliki kesamaan, hanya saja keduanya dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, yakni jiwa sebagai substansi berfikir dan tubuh sebagai substansi perpanjangan yang sebenarnya keduanya memliki relasi sebagai satu kesatuan, yakni apa yang menjadi kemauan dari tubuh, sepenuhnya dipersepsikan oleh pikiran di dalam jiwa.[7] Seperti contoh tentang timbulnya rasa lapar yang awalnya dirasakan oleh tubuh kemudian dipersepsikan oleh pikiran kita, dengan adanya rasa lapar yang mendera perut yang merupakan bagian dari tubuh, maka secara tidak langsung pikiran kita mempersepsi dan dipengaruhi oleh rasa lapar tersebut. Maka kesimpulan atas gagasan Spinoza ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa jiwa adalah merupakan ide dari tubuh.
Masih menanggapi manusia, merujuk pada argument Descartes bahwa “I think therefore I am”, maka kita akan mendapati ada res cogitans yang terletak pada kata I think dan res extensa pada kata I am. Menurut Descartes, adanya res cogitans dan res extensa tidak lain berasal dari Tuhan, atau kita katakan bahwa Tuhan-lah yang menjadi fasilitator keduanya. Melihat itu, Spinoza langsung membantahnya dan mengatakan bahwa res extensa hanyalah perpanjangan dari res cogitans yang memiliki kebergantungan eksistensial. Sedangkan res cogitans bergantung kepada Tuhan. Maka kesimpulannya Spinoza mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada termasuk res cogitans dan res extensa adalah manifestasi dari Tuhan.[6]

Di sinilah, Spinoza terus-menerus tenggelam dalam suatu refleksi tentang hubungan antara Allah dan manusia sebagai satu kesatuan. Maka, untuk sampai kepada Allah, Spinoza mengatakan perlu adanya cinta. Cinta merupakan suatu bentuk pengenalan tertinggi terhadap Tuhan. Melalui cinta, Spinoza melihat bahwa kita bisa menerima segala sesuatu yang ada di alam, sehingga manusia menyerahkan diri seutuhnya kepada Tuhan sebagai realitas yang absolut. Berawal dari sinilah, Spinoza disebut sebagai filsuf yang tenggelam dalam Tuhan.
Spinoza adalah seorang pemikir yang logis, konsisten, dan konsekuen. Dari satu prinsip utama (Tuhan-alam),ia secara deduktif mendasarkan semua hal lain. Ia mengajarkan bahwa manusia merupakan satu kesatuan utuh, satu substansi yang mempunyai dua aspek, yakni jiwa dan tubuh. Maka dalam hal ini, ia termasuk pemikir yang memberikan sumbangan pengertian yang tepat tentang manusia sebagai suatu makhluk yang berdimensi jamak. Masalah utamanya justru terletak dalam dasar seluruh bangunan filsafatnya, yaitu menyamakan Tuhan dengan alam. Tuhan atau alam adalah satu-satunya substansi, sedangkan yang lain adalah perwujudan atau cara keberadaan dari Tuhan atau alam dari substansi yang satu dan sama. Dalam hal ini, tak heran jika Spinoza menolak individualitas, kebebasan dan tanggung jawab manusia. Filsafat Spinoza pada umumnya dan ajaran tentang etika pada khususnya mrngandung banyak kontradiksi. Kecermatan metodenya bukan merupakan etika yang serius dan menghukumi, sebaliknya ia menghasilkan diktat dari common sense yang adil dan halus.[7]                                       



[1] http://nuraminsaleh.blogspot.com/2013/01/zaman-modern-adalah-zaman-dimana.html
[2] Wahyu Murtiningsih, Para filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, hlm :95-96
[3] http://nuraminsaleh.blogspot.com/2013/01/zaman-modern-adalah-zaman-dimana.html
[4] http://novautama.wordpress.com/2012/10/24/kehidupan-dan-pemikiran-baruch-spinoza
[5]  Wahyu Murtiningsih, Para filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, hlm :96-99

[6] http://novautama.wordpress.com/2012/10/24/kehidupan-dan-pemikiran-baruch-spinoza

[7]   Wahyu Murtiningsih, Para filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, hlm :99-100


Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking