Spinoza
Zaman modern adalah zaman dimana akal sangat
diagung-agungkan. Selain itu pengaruh gereja sudah tidak dominan lagi karena
kekuasaan gereja yang begitu agung di zaman Renaissance tersebut sudah runtuh.
Keruntuhan kekuasaan gereja ini membawa dampak positif bagi perkembangan
keilmuan di zaman ini. Tak heran bila di zaman ini muncul banyak
filosof-filosof hebat yang begitu buah pemikirannya mampu mengguncang dunia.
Salah satu filosof hebat tersebut adalah Baruch de Spinoza. [1]
Spinoza
lahir pada tahun 1632 di Amsterdam dan meninggal pada tahun 1677. Nama aslinya
adalah Baruch Spinoza. Namun, setelah mengucilkan diri dari agama Yahudi, ia
mengubah namanya menjadi Benedictus de Spinoza. Ia adalah salah satu filsuf
paling penting dan radikal pada awal era modern. Gagasan-gagasannya banyak
dipengaruhi oleh pemikiran Descrates, terutama pemikiran terhadap subtansi yang
pada akhirnya ia sebut sebagai realitas absolut.
Perkembangan
pemikiran Spinoza yang semakin brilian dalam bidang filsafat membuat para tokoh
agama Yahudi merasa gelisa dan cemas, karena ajaran-ajaran Spinoza dianggap
ottodoks. Akibatnya, pada tahun 1656, Spinoza dikucilkan dari Sinagoga, sebuah
daerah di Amsterdam. Setelah keluar dari Sinagoga, Spinoza mengalami suatu
perubahan dalam hidupnya. Pada saat itulah ia mengganti namanya mejadi
Benedictus de Spinoza.[2]
Lingkungan tempat beliau dibesarkan merupakan sekelompok
masyarakat yang masih percaya kepada takhayul dan hal-hal yang bersifat tabu
religious. Di masa kecilnya, beliau telah menunjukkan kecerdasannya sehingga
banyak orang yang mengatakan bahwa beliau bisa menjadi seorang rabbi. Dalam
kehidupannya, beliau tidak hanya belajar matematika dan ilmu-ilmu alam, beliau
juga mempelajari bahasa Latin, Yunani, Belanda, Spayol, Perancis, Yahudi,
Jerman, Hebrew, dan Italia. Pada usianya yang ke 18 tahun, beliau membuat marah
komunitas Yahudi karena beliau meragukan Kitab Suci sebagai Wahyu Allah,
mengkritik posisi imam Yahudi, mempertanyakan kedudukan bangsa Yahudi sebagai
umat pilihan Yahweh, dan keterlibatan Allah secara personal dalam sejarah
manusia.
Sikap yang ditunjukkan beliau kepada orang Yahudi, membuat
para tokoh agama Yahudi mengambil sebuah sikap. Para tokoh agama Yahudi pada
saat itu menjadi gelisah dengan semua ajaran-ajaran beliau. Para tokoh agama
ini terus menerus memaksa agar beliau kembali lagi pada ortodoksi agama, namun
hal ini tidak pernah berhasil. Akhirnya pada tahun 1656, beliau dikucilkan dari
Sinagoga bahkan dianggap mati oleh komunitasnya. Hal yang lebih menyakitkan
lagi adalah kenyataan bahwa keluarganya pun turut mengucilkannya. Setelah ada
keturunan Yahudi fanatic yang mencoba membunuh beliau, beliau kemudian
meninggalkan Amsterdam dan pindah ke Den Haag. Meskipun demikian, beliau tetap
tenang mengatasi masalah hidupnya. Hingga Akhirnya beliau mengganti nama
dirinya dengan Benedictus de Spinoza sebagai tanda kehidupan barunya. [3]
Dalam keadaan
dikucilkan tersebut,Spinoza mencari nafkah dengan cara mengasah lensa sambil
terus-menerus menulis pemikiran-pemikirannya. Tak lama kemudian ia mengidap
penyakit TBC dan akhirnya meninggal pada 21 Februari 1677, dalam usia 44 tahun.
Selama pengucilan itu, pada tahun 1673, sebenarnya ia sempat diundang untuk
mengajar di Universitas Heidelberg, namun ia menolaknya. Baginya, tidak ada
yang lebih mengerikan daripada kenyataan bahwa orang-orang dihukum mati karena
berpikir bebas. Inilah alas an menolak undangan itu.
Salah satu pemikiran yang paling terkenal yang ia hasilkan
adalah pantheisme. Yakni sebuah paham yang menitikberatkan pada klaim bahwa Tuhan
merupakan puncak dari keabsolutan yang tak terbatas. Maka atas
ke-tak-terbatas-anNya itu Tuhan memberikan dampak/efek atas keberadaannya.
Dampak/efek itu adalah realitas alam ini. Kalau kita ketahui bahwa menurut
Hobbes alam adalah suatu realitas yang paling besar yang mengurusi segala macam
yang ada, maka Spinoza memberikan argumen tandingan bahwa layaknya sebuah
sungai, maka Tuhan-lah yang berperan sebagai hulunya, sedangkan apa-apa yang
hadir di alam ini berperan sebagai aliran arus air yang menempati posisi
manifestasi. Karena itu intinya Spinoza ingin mengatakan bahwa Tuhan-lah yang
Maha segala-galanya, substansi-Nya dan realitas alam merupakan satu kesatuan.
Pendapat ini dinyatakan oleh beberapa kalangan memiliki
kesamaan seperti wahdah al-wujûd yang digagas oleh ibn ‘Arabî. Akan tetapi
setelah ditelisik lebih dalam, pantheisme berbeda dengan wahdah al-wujûd,
karena panteisme hanya menyatakan keserupaan-nya antara Sang Pencipta dengan
yang dicipta tanpa melibatkan perbedaannya antara Sang Pencipta dengan yang
dicipta. Alhasil makalah ini tidak berniat untuk membandingkan keduanya, hanya
saja kita perlu pahami bahwa kajian pantheisme-lah yang banyak menjelaskan
tentang rumusan-rumusan substansi yang Spinoza cetuskan dan akan dibahas lebih
lanjut pada halaman selanjutnya.
Seperti yang sudah dikatakan bahwa Spinoza adalah pencetus
doktrin pantheisme. Doktrin ini kian mengejutkan banyak orang pada zaman itu
dan kerap membuat gebrakan besar bahkan lebih. Jika menurutnya bahwa suatu
entitas itu terdefinisikan dikarenakan ada batasan-batasan yang membatasinya,
maka berbeda dengan Tuhan, menurut Spinoza Tuhan adalah sesuatu yang seluruhnya
positif dan tidak terbatas karena Dia absolut. Tuhan adalah suatu substansi
yang mana menurutnya telah menciptakan seluruh dunia ini atau menciptakan dunia
ini sekaligus sebagai bagian dari dunia itu sendiri. Kalau dikatakan bahwa
seorang teknisi telah membuat suatu mesin yang mempunyai kekuatan tertentu
untuk menjalankan sebuah kendaraan, ini berarti bahwa teknisi tersebut telah
menciptakan, yakni suatu proses aktif dengan mengadakan sesuatu yang awalnya
tidak ada kemudian menjadi ada, akan tetapi menurut Spinoza terkait bahwa Tuhan
merupakan bagian dari alam yang merupakan ciptaannya itu, maka Tuhan bukanlah
seperti seseorang teknisi yang menciptakan suatu mesin itu, karena antara
teknisi dan mesin itu secara substansi tidak memiliki kaitan, melainkan
keduanya berasal dari suatu entitas yang berbeda jenisnya.
Tuhan dan ciptaannya adalah satu kesatuan yang saling
mempengaruhi, kalau kita contohkan layaknya sebuah bensin yang mengalami proses
pembakaran sehingga menimbulkan asap. Maka bensin tersebut telah menciptakan
satu entitas tersendiri yakni asap, yang mana asap tersebut adalah bagian dari
bensin itu. Contoh lain yang lebih mudah lagi adalah saling terkaitnya antara
substansi ayah kepada anaknya, ayah merupakan penyebab sekaligus bagian dari
anak tersebut, sedangkan anak adalah hasil atas adanya si ayah itu. Oleh karena
itu menurut Spinoza tuhan merupakan sebab, alasan dan yang mendasari, sekaligus
sebagai fakta penjelas fundamental kepada hal lain.[4]
Pandangan
Spinoza tentang substansi tunggal merupakan tanggapannya atas pemikiran
Descartes mengenai masalah substansi serta hubungan antara jiwa dan tubuh.
Persoalan pertama yang menganggu pemikiran Spinoza ialah sudah sejak lama dan
begitu kuatnya keyakinan orang Kristen yang mempercayai imaterialisme, termasuk
imortalitas jiwa dan adanya Tuhan. Hal ini cukup membingungkan, karena sudah
sejak lama pula orang Yunani beranggapan bahwa yang ada hanyalah bahan materi, sehingga
mereka materialisme. Sekarang, yang
menjadi tugas filsuf adalah menjelaskan sosok-sosok material, seperti jiwa,
Tuhan dan sebagainya. Dengan kata lain, tugas filsuf adalah menyelesaikan
persoalan yang bertentangan antara imaterialisme dan materialisme.
Salah
satu gagasan yang diajukan oleh Spinoza dalam memahami realitas yang absolut
adalah subtansi tak terhingga atau Allah. Gagasan-gagasan Spinoza dalam mengungkap
relitas yang absolut ini banyak dipengaruhi oleh rasionalisme Descartes. Namun,
pengaruh Descraters yang telah membentuk pola pemikirannya, tidak semuanya
diamini dengan baik oleh Spinoza, terutama dalam memahami subtansi sebagai
realitas murni yang absolut. Dalam memahami substansi, Descartes melihat bahwa
subtansi itu merupakan suatu realitas yang tidak membutuhkan sesuatu yang lain.
Dengan kata lain, Descartes melihat Allah sebagai substansi yang tidak
membutuhkan yang lain untuk berada. Namun, disamping substansi sebagai realitas
absolute, Descartes menerima substansi lain meskipun substansi yang dimaksud
tidak berlaku secara absolut, melainkan relatif.
Berkaitan
dengan substansi yang diajukan oleh Descartes, Spinoza melihat bahwa Descartes
tidak memiliki sebuah komitmen yang akurat untuk mendefinisikan substansi itu
sendiri, karena dalam kenyataannya, Descartes masih menerima adanya substansi
yang lain. Di sinilah letak ketidak setujuan Spinoza dengan gag san yang
disodorkan oleh Descartes. Akan tetapi, di sisi lain Spinoza menerima gagasan yangdisodorkan
Descartes bahwa substansi itu adalah sesuatu yang tidak membutuhkan yang lain,
artinya substansi itu ialah suatu realitas yang mandiri, otonom, utuh satu dan
tunggal.
Untuk
memahami substansi yang disodorkan oleh Descartes, Spinoza berpendapat bahwa
substansi itu merupakan sesuatu yang ada dalam dirinya sendiri atau sesuatu
yang tidak membutuhkan aspek lain untuk membentuk dirinya menjadi ada. Jadi,
substansi itu berdiri sendiri dan membentuk dirinya sendiri. Itulah yang
disebut sebagai causa prima non causata.
Oleh karena itu, dalam tatanan ada (primum
ontoligicum), substansi itu
disebut sebagai yang pertama dan yang asli. Sedangkan dalam sistem kelogisan (prium logicium), subtansi merupakan
realiatas yang pertama dan yang absolut. Dari sini dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa dalam pandangan Spinoza, hanya ada satu substansi, dan
substansi itu adalah “ Dia yang Tak Terhingga” atau “Allah”. Konsep metafisika
Spinoza terhadap substansi sebagi realitas yang absolut ingin mempelihatkan dengan
jelas objek penjelajahan refleksi metafisikatehadap realitas yang ada yang
paling tinggi dan sempurna, yaitu refleksi tentang Allah sebagi realitas yang
absolut, murni, tunggal, dan sempurna.
Tetapi
selain Allah sebagai substansi, Spinoza juga melihat alam sebagai substansi.
Dengan kata lain, dalam pandangan Spinoza, Allah atau alam merupakan suatu
kenyataan tunggal yang memiliki satu kesatuan. Pemahaman ini berangkat dari
suatu pemahaman terhadap pembedaan antara substansi yang oleh Spinoza disebut
sebagai atribut-atribut dan modi. Modi adalah cara berada dari atribut-atribut, dan secara tidak
langsung adalah dari substansi.
Memang
benar bahwa Spinoza mengakui hanya ada satu substansi, tetapi didalam substansi
itu terkandung atribut-atribut (sifat
hakiki) yang tak terhingga jumlahnya. Namun, dari sekian banyak sifat
hakiki itu, hanya ada dua yang dapat diketahui oleh manusia, yaitu keluasan (extension) dan pemikiran (cogitatio). Dalam hal ini, Spinoza
melihat Allah sebagai keluasan (dues est
res extensa) dan pemikiran (deus est
res cogitans). Sementara, keluasan dan pemikiran merupakan dua hal yang
memiliki substansi yang sama. Spinoza menggagas permasalahan ini dalam ajaran
tentang substansi tunggal, Allah atau alam (deus
sive natua) menurut Spinoza, realitas yang absolute itu memiliki sifat yang
abadi, tak terbatas, dan tunggal. Dari
pemahaman ini, Spinoza melihat, karena Allah dan manusia sebagai satu-satunya
substansi, maka segala sesuatu yang ada di bumi atau ala mini berasal dari
Allah.[5]
Eksistensi yang menurut Spinoza
merupakan turunan Tuhan, yakni manusia.
· Manusia
Kita
tahu bahwa di dalam diri manusia bukanlah hanya aspek fisik saja yang ada, akan
tetapi di dalam tubuh manusia juga meliputi aspek batin, yang sering dikenal
dengan sebutan mind/pikiran dan soul/jiwa.
Menurut
Spinoza, jiwa adalah penggagas dari tubuh. Dalam artian menurut Spinoza, jika
kita ingin memahami jiwa, maka kita harus memahami tubuh. Manusia adalah tubuh,
yang berkaitan dan dibatasi oleh badan-badan lain, dan semua badan-badan ini
adalah mode dari perpanjangan atribut ilahi. Setiap tubuh, bahkan setiap bagian
dari semua tubuh diwakilkan oleh “an idea in the mind of God”/ide dalam pikiran
Tuhan, singkatnya kita pahami bahwa setiap sesuatu yang merupakan perpanjangan
dari atribut Tuhan adalah sama atau sesuai dengan pikiran Tuhan. Seperti contoh
bahwa apa yang dilakukan oleh tubuh manusia merupakan bagian dari keinginan
pikiran manusia itu sendiri. Maka dari itu, menurut pandangan Spinoza, manusia
adalah bagian dari akal Tuhan.
Berbicara
mengenai tubuh dan jiwa, Spinoza mengemukakan bahwa keduanya adalah suatu
substansi yang memiliki kesamaan, hanya saja keduanya dilihat dari dua sudut
pandang yang berbeda, yakni jiwa sebagai substansi berfikir dan tubuh sebagai
substansi perpanjangan yang sebenarnya keduanya memliki relasi sebagai satu
kesatuan, yakni apa yang menjadi kemauan dari tubuh, sepenuhnya dipersepsikan
oleh pikiran di dalam jiwa.[7] Seperti contoh tentang timbulnya rasa lapar yang
awalnya dirasakan oleh tubuh kemudian dipersepsikan oleh pikiran kita, dengan
adanya rasa lapar yang mendera perut yang merupakan bagian dari tubuh, maka
secara tidak langsung pikiran kita mempersepsi dan dipengaruhi oleh rasa lapar
tersebut. Maka kesimpulan atas gagasan Spinoza ini memberikan pemahaman kepada
kita bahwa jiwa adalah merupakan ide dari tubuh.
Masih
menanggapi manusia, merujuk pada argument Descartes bahwa “I think therefore I
am”, maka kita akan mendapati ada res cogitans yang terletak pada kata I think
dan res extensa pada kata I am. Menurut Descartes, adanya res cogitans dan res
extensa tidak lain berasal dari Tuhan, atau kita katakan bahwa Tuhan-lah yang
menjadi fasilitator keduanya. Melihat itu, Spinoza langsung membantahnya dan
mengatakan bahwa res extensa hanyalah perpanjangan dari res cogitans yang
memiliki kebergantungan eksistensial. Sedangkan res cogitans bergantung kepada
Tuhan. Maka kesimpulannya Spinoza mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada
termasuk res cogitans dan res extensa adalah manifestasi dari Tuhan.[6]
Di
sinilah, Spinoza terus-menerus tenggelam dalam suatu refleksi tentang hubungan
antara Allah dan manusia sebagai satu kesatuan. Maka, untuk sampai kepada
Allah, Spinoza mengatakan perlu adanya cinta. Cinta merupakan suatu bentuk
pengenalan tertinggi terhadap Tuhan. Melalui cinta, Spinoza melihat bahwa kita
bisa menerima segala sesuatu yang ada di alam, sehingga manusia menyerahkan
diri seutuhnya kepada Tuhan sebagai realitas yang absolut. Berawal dari
sinilah, Spinoza disebut sebagai filsuf yang tenggelam dalam Tuhan.
Spinoza
adalah seorang pemikir yang logis, konsisten, dan konsekuen. Dari satu prinsip
utama (Tuhan-alam),ia secara deduktif mendasarkan semua hal lain. Ia
mengajarkan bahwa manusia merupakan satu kesatuan utuh, satu substansi yang
mempunyai dua aspek, yakni jiwa dan tubuh. Maka dalam hal ini, ia termasuk
pemikir yang memberikan sumbangan pengertian yang tepat tentang manusia sebagai
suatu makhluk yang berdimensi jamak. Masalah utamanya justru terletak dalam
dasar seluruh bangunan filsafatnya, yaitu menyamakan Tuhan dengan alam. Tuhan
atau alam adalah satu-satunya substansi, sedangkan yang lain adalah perwujudan
atau cara keberadaan dari Tuhan atau alam dari substansi yang satu dan sama.
Dalam hal ini, tak heran jika Spinoza menolak individualitas, kebebasan dan
tanggung jawab manusia. Filsafat Spinoza pada umumnya dan ajaran tentang etika
pada khususnya mrngandung banyak kontradiksi. Kecermatan metodenya bukan
merupakan etika yang serius dan menghukumi, sebaliknya ia menghasilkan diktat
dari common sense yang adil dan
halus.[7]
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking