PLOTINUS DAN NEOPLATONISME
Disusun Oleh
Adi Saputra (12422003)
Jurusan:
Ilmu Perpustakaan “A”
Dosen
Pembimmbing:
Kms.Badaruddin,MA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) RADENFATAH PALEMBANG
FAKULTAS ADAB dan HUMANIORA
TAHUN AJARAN 2012-2013
PENDAHULUAN
Kita telah mengkaji beberapa Bab seputar sejarah filsafat
Yunani mulai dari Thales, Socrates, sampai kepada Aristoteles. Menarik apa yang
dikatakan Mohammad Hatta, beliau mengilustrasikan sejarah filsafat Yunani
sebagaimana pertumbuhan hidup manusia. Masa kecilnya, menurut beliau bermula
dengan tampilnya Thales, Thales melahirkan pandangan baru dalam alam pikiran
Yunani. Masa ini berlanjut sampai kepada Sokrates. Selanjutnya menuju kemasa
gagah dan bijaksana (muda) ialah masa filsafat klasik, yang puncaknya terdapat
pada masa Aristoteles. Sesudah masa Aristoteles berlalu, kata Hatta, maka
selanjutnya adalah masa tua. Masa tua itu meliputi masa yang sangat lama
sekali, dari tahun 322 SM Sampai tahun 529 SM. Delapan setengah abad lamanya,
dari meninggalnya Aristoteles sampai ditutupnya sekolah filsafat yang dihabisi
oleh kaisar Bizantium, Justinianus. Sesudah itu filsafat Yunani kembali kedalam
sejarah.
Menurut Hatta, masa filsafat Yunani pada masa ini dalam
garis besarnya dapat dibagi dua, yaitu masa etik dan masa religi. Dalam masa
etik terdiri dari tiga sekolah filsafat, yaitu Epikuros, Stoa, dan Skeptis.
Nama sekolah yang pertama diambil dari kata pembangun sekolah itu sendiri yaitu
Epikuros. Adapun nama sekolah yang kedua, diambil dari kata ”Stoa” yang berarti
ruang. Sedangkan nama Skeptis, diberikan karena mereka kritis terhadap para
filosof klasik sebelumnya. Ajarannya dibangun dari berbagai ajaran lama,
kemudian dipilih dan disatukan.
Dalam masa religi ada tiga aliran yang berperan, yaitu
aliran Neopythagoras, Aliran Philon, dan Aliran Plotinus atau Neoplatonisme.
Tetapi disini kami hanya akan membahas satu aliran saja yaitu Neoplatonisme.
Untuk lebih jelasnya, kami akan merincinya satu- persatu.
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Plotinus
Plotinus dilahirkan di Lycopolis (Mesir) pada tahun 203 M.
Di zaman itu agama Kristen sudah berkembang di daerah timur dan eropa. Plotinus
sendiri tinggal di daerah Mesir, dekat dengan salah satu pusat agama Kristen,
Alexandria. Ia juga berguru pada seorang yang bernama Ammonius Saccas, yang
mengajarkan padanya filsafat. Kemudian ia sempat pergi ke Persia dan
bersentuhan dengan budaya timur disana. Semuanya ini membuat filsafat Plotinus
yang merupakan analisis serta kritik dari aliran filsafat yang berkembang
diwaktu itu. Dari ajaran Plato, Kristen, Filsafat Timur, Epikuros dan Stoa,
serta Gnostik. Kedekatannya pada ajaran Plato kemudian mengimbuhkan label
Neoplatonisme pada ajaran Plotinus.
Plotinus tidak semata-mata seorang filsuf, ia adalah seorang
mistikus, mungkin terpengaruh dari Kristen atau filsafat timur. Sebagai seorang
mistikus, ia bukan hanya merumuskan metafisika, melainkan mengacu kepada
kembali ke Sang Asal, sumber dari segala sesuatu. Sesuatu yang tidak ditemui
pada ajaran Plato.[1]
B. Filsafat Plotinus
Pada usia 40 tahun ia pergi ke Roma.
Di sana ia menjadi pemikir terkenal pada zaman itu. Ia meninggal di Minturnea
pada 270 M di Minturnae, Campania, Italia. Ia bermula mempelajari filosofi dari
ajaran Yunani, terutama dari buah tangan Plato. Pada usia 50 tahun ia mulai
menulis karangan-karangan filosofisnya. Muridnya yang bernama Porphyry mulai
menerbitkan karangan-karangan Ployinus yang berjumlah 54 karangan. Karangan itu
di kelompokkan menjadi 6 set, dan setiap setnya terdiri atas 9 karangan,
masing-masing set itu disebut enned, seluruhnya ada 6enned.
Diantara isi enned tersebut antara lain :
1. Enned pertama berisi tentang
masalah etika, kebajikan, kebahagiaan, bentuk- bentuk
kebaikan, kejahatan, dan masalah penacabutan dari kehidupan.
2. Enned kedua berisi tentang fisik
alam semesta, bintang-bintang, potensialitas dan aktualitas, sirkulasi gerakan,
kualitas dan bentuk, dan kritik terhadap gnostisisme.
3. Enned ketiga berisi tentang
implikasi filsafat tentang dunia, seperti masalah iman, kuasa Tuhan, kekekalan,
waktu, dan tatanan alam.
4. Enned keempat berisi
tentang sifat dan fungsi jiwa.
5. Enned kelima berisi tentang
roh Ketuhanan (alam idea).
6. Enned keenam berisi tentang
free will dan ada yang menjadi realitas.
Seperti yang telah disinggung
diatas, bahwa secara umum ajaran Plotinus disebut Neo-Platonisme. Jadi ajarannya
itu tentu ada keterkaitan dengan filsafat plato. Dalam berbagai hal Plotinus
memang bersandar pada doktrin-doktrin Plato. Sama dengan Plato, ia menganut
ralitas idea. Akan tetapi ada sebuah perbedaan antara ide yang di tuangkan oleh
Plato dengan Plotinus. Perbedaannya ialah, pada Plato idea itu bersifat umum ;
artinya setiap jenis objek hanya ada satu ideanya, akan tetapi Plotinus
mengatakan bahwa idea itu bersifat partikular, sama dengan dunia yang
partikular. Pebedan mereka yang pokok ialah pada titik tekan ajaran mereka
masing-masing. Plotinus kurang memperhatikan masalah-masalah sosial seperti
halnya Plato.[2]
Ada beberapa ajaran filsafat Plotinus yang perlu dikaji lebih lanjut, yakni
antara lain :
· Teori
Metafisika Plotinus
Sistem metafisik Plotinus ditandai
dengan konsep transenden. Menurut pendapatnya, di dalam alam pikiran
terdapat tiga realitas : The One, The Mind, dan The Soul.Realitas yang
pertama The One(Yang Esa) adalah Tuhan: yaitu realitas yang tidak dapat
dipahami dengan metode sains dan logika. Ia berada di luar eksistensi, di luar
segala nilai. Keberadaannya bersifat transenden dan hanya dapat dihayati. Ia
dapat didekati dengan tanda-tanda dalam alam.
Realitas yang kedua The Mind
atau Nous. Ini adalah gambaran tentang Yang Esa dan di didalamnya
mengandung idea-idea Plato. Idea-idea itu merupakan bentuk asli obyek-obyek.
Kandungan Nous adalah benar-benar sebuah kesatuan. Untuk menghayatinya
kita haruslah melalui proses perenungan.Realitas yang ketiga The Soul
adalah sebagai arsitek semua fenomena yang ada di alam ini, Soul itu
mengandung satu jiwa dunia dan banyak dunia kecil. Jiwa dunia dapat dilihat
dalam dua aspek, ia adalah energi di belakang dunia, dan pada waktu yang ia
adalah bentuk-bentuk alam semesta. Jiwa manusia juga mempunyai dua aspek: yang
pertama intelektualitas yang tunduk pada reinkarnasi, dan yang kedua adalah
irasional.Penyatuan
bentuk dan benda menyebakan terciptanya dunia. Dengan demikian jagat raya
mewujudkan suatu gambaran idea. Seluruh jagat raya ini adalah suatu kesatuan
organis. Di dalamnya jiwa dunia menjadi asas segala fungsi sehingga segala
kekuatan dihubungkan yang satu dengan yang lain.
Di dalam diri manusia terdapat tiga
substansi, yaitu roh, jiwa, dan tubuh. Ketiganya mewujudkan suatu kesatuan,
yang mana jiwa sebagai tempat kesadaran mengambil tempat yang pusat. Tubuh
mewujudkan suatu alat benda. Sedangkan roh tetap senatiasa dipersatukan dengan
nous tertinggi, yaitu Yang Esa. Tujuan hidup menurut Plotinus ialah kembali
dipersatukannya manusia dengan Yang Esa.
1. To Hen (Yang Esa)
Sang sumber segala sesuatu, yang dinamakan TO HEN. Yang
Satu, adalah sesuatu yang tidak terdefinisikan, mirip dengan para Brahman,
dalam ajaran Hindu. Ia adalah sesuatu yang tidak dapat dinamakan, tidak dapat
dibayangkan, sesuatu yang dapat dipahami dengan logika negatif (via
negative). Karena tidak bisa dinamakan, maka TO HEN pun sebenarnya bukan
nama yang layak. Penamaan ini semata-mata karena sebagai manusia kita tidak
bisa menghindari pemakaian kata-kata.
Konsep TO HEN tidak sama dengan konsep Tuhan dalam ajaran
monoteisme, karena TO HEN bukan sesuatu dengan daya kreatif yang menciptakan
alam semesta. Alam semeta mengalir, atau memancar darinya sebagai sebuah
keniscayaan. Ia adalah sumber dari segala sesuatu dan tidak membutuhkan segala
sesuatu. Ia mampu mencukupi dirinya sendiri. Segala sesuatu memancar dari
dirinya secara otomatis. Pandangan ini jangan dilihat seperti materi penciptaan
alam semesta ada pada dirinya, sehingga dari “tubuhnya” ia menciptakan alam
semesta, seperti yang dijelaskan oleh mitologi Babilonia misalnya, yang
mengatakan bahwa alam semesta dibentuk dari Tiamat, naga raksasa yang
mengandung semua dewa. Pandangan ini lebih baik dijelaskan seperti hubungan
antara penari (sang pencipta) dengan tariannya (ciptaan). Atau bayangan sang
pencipta adalah seorang pemain musik, dan musiknya adalah ciptaannya.
Thomisme kemudian melihat persoalan ini dan mengatakan bahwa
TO HEN yang otomatis mencipta tidak dapat diterima, karena dengan demikian ia
tidak memiliki kehendak bebas. Kritik ini kurang tepat karena kehendak bebas
dalam konsepsi Plotinus diletakkan bukan di TO HEN, melainkan di Nous, yang
akan dijelaskan lebih lanjut dibawah.
Pandangan ini juga bisa dilihat dari kaca mata Panteisme.
Panteisme Plotinus kurang lebih sama dengan Panteisme Spinoza. Panteisme tidak
dilihat dengan pandangan sempit bahwa alam adalah Allah. TO HEN ada dalam
setiap ciptaan, tetapi semua ciptaan bukanlah TO HEN. Ciptaan sebagai pancaran
dari TO HEN, seperti bayang-bayang dari dia, yang lebih tidak sempurna darinya.
Dan ketidaksempurnaan ini bertingkat-tingkat sampai kepada hirarki yang paling
bawah yaitu materi.
Emanasi ini jangan dilihat sebagai sesuatu yang berada di
dalam ruang dan waktu. Ruang dan waktu justru adalah hasil dari emanasi. Ruang
dan waktu adalah pengertian dari dunia materi yang merupakan emanasi terakhir.
2. Nous (akal)
Nous atau intelek atau akal adalah emanasi pertama dari TO
HEN. Sebagai emanasi yang paling dekat dengan TO HEN, Ia memilki kemampuan
untuk berkontemplasi tentang TO HEN. Ia adalah sesuatu yang bisa memikirkan
tentang subyek, yaitu dirinya sendiri, yang sedang berfikir, dan objek, sesuatu
yang sedang dipikirkan. Ini tentunya mirip dengan rescogitans dalam
filsafat Descartes. Dalam hal ini Descartes setuju dengan Plotinus dengan
mengatakan Nous, atau rescogitans dalam istilah Descartes, sebagai prinsip
pertama.
Sebagai emanasi dari TO HEN, Ia kurang sempurna dari TO HEN.
Nous tidak lagi satu, melainkan telah mengalami keterpisahan satu sama lain. Ia
benar dalam dirinya sendiri, dan mutlak pada dirinya sendiri, seperti yang
terlihat dari fenomena suara hati. Keterpisahan inilah yang melahirkan otonomi.
Nous sebagai prinsip otonom, berdikari .Keotonoman ini
melahirkan kehendak bebas. Ia bisa berkontemplasi keatas ke TO HEN, namun ia
juga bisa jatuh kebawah, menuruti psyche. Terlihat disini kalau Plotinus mau
memasukkan konsep jatuhnya Adam kedalam dosa kedalam filsafatnya. Bedanya, ia
tidak meletakan label dosa pada proses jatuhnya Nous ke psyche, melainkan
sekedar sesuatu yang alami yang merupakan keniscayaan kehidupan yang beremanasi
dari TO HEN.
3. Jiwa
Emanasi yang pertama dari TO HEN adalah dasar yang pertama (arkhe)
yaitu Nous, dan emanasi berikutnya adalah lokasi (topos) yaitu Jiwa. Lokasi
memungkinkan emanasi berikutnya yaitu materi memiliki tempat. Psykhe ini
berfungsi seperti benih yang melahirkan materi, oleh karena itu ia dinamai logoi
spermatikoi.
Jiwa adalah prinsip dipertengahan, ia mampu berkontemplasi
keatas, memberikan informasi dari dunia materi kepada Nous, dan dilain pihak
secara aktif beremanasi kebawah, menciptakan dunia materi. Jiwa ini basa
dipandang seperti nafsu, yang membuat manusia mengikatkan diri dengan dunia
materi, baik mencipta atau mengkonsumsinya.
Manusia dijelaskan oleh Plotinus dengan menggunakan nous dan
jiwa ini. Ia memang bias berkontemplasi ke TO HEN karena ia memiliki nous,
tetapi ia juga memiliki tarikan kebawah kemateri karena ia memiliki jiwa.
Jiwa disini tidak sama dengan jiwa dalam pengertian Plato.
Jika Plato melihat bahwa jiwa terpenjara dalam tubuh dan baru bisa dibebaskan
dengan kematian, Plotinus sebagai seorang mistikus, melihat kemungkinan bahwa
jiwa bisa melepaskan diri dari tubuh. Jiwa secara hirarkis berada diatas
materi, sehingga ia mampu menguasai materi.Jiwa merupakan akhir alam akal
(rohani) dan menjadi permulaan makhluk-makhluk yang terdapat pada alam indrawi.
Karena itu, ia mempunyai pertalian dengan kedua alam tersebut. Jiwa mempunyai
bermacam-macam kekuatan, dan dengan kekuatannya ia menempati permulaan,
pertengahan dan akhir segala sesuatu. Menurut Inge, jiwa tersebut adalah
pelancong pada alam metafisika dan menurut Brehier, didalam jiwa ada kerinduan
dan gerakan.
Ada tiga aliran yang membicarakan soal jiwa dan yang
didapati oleh Plotinus. Pertama, ialah aliran Stoa yang memandang jiwa sebagai
kekuatan pengatur. Kedua, ialah aliran Pytagiras yang menganggap turunnya jiwa
kealam indrawi sebagai suatu kemerosotan derajat. Ketiga, ialah aliran yang
masih berbau Pytagoras, yakni yang menganggap bahwa alam indrawi ini
buruk.Plotinus telah mengambil aliran pertama, serta melangkahkan pikirannya
sejauh mungkin, dan menganggap setiap kekuatan yang bekerja dalam alam ini
adalah jiwa atau bertalian dengan jiwa. Ia juga berpendapat bahwa langit
mempunyai jiwa, tiap-tiap binatang juga mempunyai jiwa, dan bumi juga mempunyai
kekuatan yang menumbuhkan. Plotinus sama pendapatnya dengan aliran Pytagoras
tentang jiwa menjadi rendah (hina), tetapi ia berbeda dengan aliran Gnostik,
karena ia menganggap bahwa alam indrawi mencapai kesempurnaan setinggi mungkin
yang dapat dicapainya.
4. Materi
Materi adalah emanasi terakhir yang paling jauh dari TO HEN.
Ia adalah emanasi dari jiwa dunia (anima mundi). Materi yang berada
dihirarki terbawah sepenuhnya pasif, menerima pencurahan dari atas, ia karena
sepenuhnya pasif, tunduk pada hukum deterministic. Materi tidak
sepenuhnya jahat. Ia jahat kalau dilihat dari hubunganya dengan prinsip
diatasnya. Menurut Plotinus, sumber kajahatan adalah keinginan jiwa untuk terus
mencipta. Ini juga bukan sesuatu yang dikatakan dosa, karena jiwa memang
memiliki kecenderungan seperti itu. Karena keterikatannya pada materilah, jiwa
lupa pada ikatannya diatas, kepada nous. Fenomena ini bisa dijelaskan oleh
orang yang sudah terperangkap oleh nafsu sehingga tidak bisa berfikir
rasional.Plotinus dengan ajaran emanasinya tidak menjelaskan sumber kejahatan
berasal juga dari Sang Pencipta, seperti halnya ajaran Gnostik, yang melihat
alam ini jahat karena Demiurgos, sang pencipta alam semesta, adalah jahat.
Plotinus memotong akar kejahatan sampai pada jiwa saja. Pada nous sendiri sudah
tidak ada kejahatan, yang ada hanya keterpisahan.
5. Remanasi
Seperti telah dikatakan sebelumnya, Plotinus juga seorang
mistikus dan mengklaim mengalami pengalaman mistik didalam hidupnya. Dengan
demikian ia tidak hanya tertarik untuk berfilsafat namun mencari jalan untuk
kembali ke TO HEN (remanasi).
Materi sebagai bagian yang paling jauh dari TO HEN adalah
bagian yang paling gelap atau jahat. Disini terlihat pengaruh aliran Gnostik
yang melihat dunia sebagai dualism, yang mengatakan bahwa materi pada
dasarnya adalah jahat. Ia adalah hirarki terakhir yang menerima penciptaan dari
atas, dan punya kecenderungan untuk menarik hirarki di atasnya yaitu jiwa ke
bawah. Dengan demikian usaha remanasi yang pertama adalah melawan materi, yang
dalam prakteknya bisa dilakukan dengan berpuasa misalnya. Dalam bahasa latin
ini disebut dengan purificatio, yaitu memurnikan diri, melepaskan diri
dari materi.
Hal ini adalah persiapan untuk melakukan langkah kedua,
yaitu pencerahan. Pengaruh filsafat timur terlihat disini. Pencerahan artinya
melepaskan diri dari persepsi indrawi, dan memenuhi diri dengan pengetahuan
tentang idea. Ini sama dengan ajaran Plato dan Aristoteles, yaitu episteme.
Langkah yang terakhir, adalah penyatuan diri dengan TO HEN,
yang diberi nama ekstasis oleh Plotinus. Ekstasis adalah sebuah upaya mengatasi
keterpisahan atau diferensiasi dari nous yang melihat diri sebagai subyek. Jika ia bisa mengatasi batasan diri ini, dengan melihat
bahwa aku sama dengaan dia, sama dengan semua, dengan demikian juga adalah TO
HEN. Disinilah terlihat bahwa Plotinus pada dasarnya adalah seorang mistikus,
dan ia menyusun keseluruhan filsafatnya untuk menuju kesini. Pada titik ini
ajarannya sama dengan ajaran mistik yang lain, baik dari tradisi timur, hindu,
budha, tradisi barat, ataupun yang di kejawen dikenal dengan manunggaling
kawulo Gusti, menyatu dengan Allah.[2]
C. Plotinus dan Tasawuf
Teori Plotinus tentang Yang Esa bersifat fikiran dan tasawuf
bersama-sama, meskipun sebenarnya kedua corak ini saling berlawanan. Teori
tersebut biasa terdapat pada masa Plotinus, sebagai akibat percampuran fikiran
Yunani dengan agama-agama timur. Tuhan terlihat dalam waktu yang bersamaan
sebagai batas pertama bagi penafsiran rasionil terhadap alam semesta dan juga
menjadi objek pengetahuan langsung dan intuisi batin. Plotinus mengambil teori
sebagai berikut:
“Yang terbaik pada benda matter adalah form, kalau benda
mengetahui, tentu mencintai form” “Pada alam ini terdapat
urutan-urutan yang (vertical), sehingga tiap-tiap perkara (wujud) menjadi lebih
baik, bila dibandingkan dengan perkara (wujud) yang dibawahnya. Yang lebih baik
dari pada benda ialah form, dan yang lebih baik daripada badan ialah jiwa,
dimana tanpa jiwa ini badan tidak bisa wujud dan tidak tetap. Yang lebih baik
daripada jiwa adalah keutamaan, dan diatas keutamaan adalah akal. Diatas akal
adalah wujud yang kita sebut Yang ”Pertama.”
Jadi kebaikan adalah tujuan tertinggi yang bisa dicapai oleh
jiwa yang cinta, dan (cinta) disini bukanlah cinta kepada perkara-perkara yang
inderawi. ”Selama orang-orang yang cinta bertautan dengan hal-hal yang
inderawi, berarti mareka tidak cinta. Tetapi dengan melalui gejala luar ini, mereka
membentuk pada jiwanya yang tidak terpisah-pisah suatu gambaran yang tidak
terlihat. Dengan demikian maka timbullah kecintaan”.
Cinta tasawuf adalah cinta hakiki yang sempurna dan yang
tidak berhubungan dengan obyek tertentu yang terbatas.”Tidak ada batas
kecintaan yang kita rasakan untuk kebaikan. Memang cinta disini tidak mengenal
batas, karena yang dirindukan sendiri adalah zat yang tidak mengenal batas.
Keindahannya lain daripada keindahan biasa ia adalah keindahan diatas
keindahan”.Cinta tersebut baru terdapat sesudah mengalami
penderitaan-penderitaan, dan hanya dapat dimiliki oleh para yang meninggalkan
perkara-perkara yang ada sekarang dan membersihkan dirinya dari semua gambaran.
Pada saat ini jiwa merasakan pingsan dan menyaksikan kebenaran. Tetapi
penyaksian ini pendek masanya dan jarang terjadi.
Demikianlah jalan kecintaan yang dapat membawa kita kepada
kebaikan (Tuhan). Kebaikan bukan menjadi kebaikan karena dicintai, melainkan
dicintai karena ia baik. Dengan demikian maka Plotinus sampai kepda jalan yang
kedua, yakni jalan akal fikiran, dengan berusaha untuk menafsirkan jalan cinta
dengan tafsiran rasionil.
Tinjauan sepintas tentang filsafat Plotinus,
menunjukkan bahwa ia menganggap kehidupan agama berbeda sama sekali dengan
kehidupan akal pikiran, karena perbedaan tabiat dan alamnya. Berkali-kali
Plotinus menandaskan, tidak mungkin mengetahui tabiat (hakikat) Yang Esa dengan
melalui akal pikiran. Pengetahuan ini baru dapat dicapai dengan jalan sinar
ke-Tuhanan dan perhubungan dengan-Nya (isyraq wa ittishal).
D. Unsur-Unsur Ketimuran Pada Filsafat Plotinus
Kita melihat bahwa akal menurut Plotinus, menjadi alat
pengetahuan, dan juga merupakan zat yang universal, dimana semua perkara
(makhluk) berlarut padanya dan juga keluar dari padanya. Fungsi akal yang
pertama berhubungan erat dengan fikiran Helenisme (Yunani), sedang fungsi yang
kedua, berakar pada fikiran bukan Yunani, meskipun agak mirip dengan filsafat
aliran Stoa.Persoalan ini telah disinggung oleh Emile Brehier, dan mengatakan
bahwa semua persoalan tersebut berkisar pada satu persoalan saja, yaitu
pertalian kita sebagai makhluk partial dengan zat yang universal. Ringkasnya,
bagaimana zat universal terdapat dimana-mana dengan keuniversalanya ,tetapi
meskipun demikian tetap universal?.
Persoalan ini tidak dikenal oleh filsafat Yunani. Pertalian
partial dengan zat universal bagi Plotinus merupakan kesatuan tasawuf, dimana
zat partial hilang. Bukan pertalian akal pikiran (rasionil), seperti yang
dibataskan oleh Plato, Aristo dan filosof-filosof Stoa.Sejarah Plotinus
menunjukkan bahwa ia setelah selesai mempelajari filsafat Yunani, maka ia ingin
melihat filsafat Persi dan India. Karena itu ia memasuki tentara Kaisar
Gordianus yang menyerang negeri Persi. Kepercayaan mereka yang terpenting pada
waktu itu terletak pada pemujaan terhadap Mitra. Kepercayaan agama ini
menjadikan zat yang Maha Tinggi sebagai sumber sinar yang mengirimkan
cahayanya, kemudian membakar benda dan menyinari kegelapannya.
Porphyre ketika menceritakan sejarah hidup gurunya, Plotinus
mengatakan bahwa gurunya tersebut dengan asyiknya mempelajari filsafat
orang-orang barbar, yakni filsafat bukan yunani, dan banyak mengambil dari
padanya kesatuan ”saya” (Atman) dengan zat universal (Brahman) yang terdapat
dalam buku Upanishad dari india. Dalam kitab-kitab agama Hindu juga ada prinsip
lain yang kita dapati dalam Plotinus dan yang asing bagi filsafat Yunani.
Ajaran ini menganggap bahwa persatuan ”saya” dengan “zat universal” tidak
mungkin terjadi dengan pengetahuan universal, melainkan dengan jalan intuisi,
dan intuisi ini dapat diperoleh dengan latihan-latihan rohani dan renungan.
KESIMPULAN
Demikianlah sejarah ringkas filsafat yunani pasca
Aristoteles. Diantaranya ada Epikuros, Stoa, dan Skeptis dari periode etik. Kemudian
ada juga Neo Platonisme dari periode mistik. Berikut penjelasannya secara
ringkas.
Ajaran filsafat Plotinus mengajak agar manusia melaksanakan
inti ajarannya tentang jiwa sebagai tujuan hidup. Sebagai tujuan hidup
dikatakannya ialah mencapai kebersatuan dengan Tuhan. Menyucikan diri ialah
budi yang paling tinggi, karena itu merupakan jalan satu-satunya menuju
cita-cita kemurnian.
Benda yang ada disekitar hidup manusia hendaknya diabaikan
dan jiwa itu harus mencoba semata-mata hidup dalam lingkungan alam rohaniyah
dan alam pikiran. Hanya dalam alam rohaniyah dan alam pikiran itulah jiwa dapat
melatih diri untuk mencapai langkah terakhir, yaitu bersatu dengan Tuhan. Ini
hanya dapat dicapai dengan mengembangkan perasaan yang luar biasa, yaitu rasa
keluar dari diri sendiri dengan ekstase.
Dalam pembuatan dan perumusan makalah kami yang sangat
sederhana, tentulah banyak suatu kekurangan yang akan timbul apabila makalah
kami diteliti oleh seorang ahli ataupun pembaca yang budiman. Hal ini terjadi
karena memang kami masih dalam proses belajar. Dengan kondisi dunia keilmuan
yang bersifat dialektikan maka suatu karya pastilah terdapat kekurangan.Oleh karena itulah, sebagai
intelektual yang terus belajar menuju suatu kebenaran yang subtansial, maka
kami berharap kepada pembaca yang budiman agar memberikan saran yang
konstruktif sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking