Maandag 17 Junie 2013

AL-RAZI ( tokoh filsafat )

AL-RAZI
A.      Sejarah Lahir dan Karyanya
Nama lengkap Al-Razi adalah Abu Bakar Ibnu Zakaria ibnu Yahya Al- Razi. Dalam wacana keilmuan barat dikenal dengan sebutan Razhes. Ia lahir di Rayy, sebuah kota tua yang masa lalu bernama Rhogee, dekat teheran, republik islam iran pada tanggal 1 sya’ban 251M.[1]
Ada beberapa nama tokoh lain yang juga dipanggilkan Al-Razi, oleh abu Hatim Al-Razi, Fakhruddin Al-Razi dan Najmuddin Al-Razi. Oelh karena itu, untuk membedakan Al-Razi, sang filosof ini dari tokoh-tokoh lain, perlu ditambah dengan sebutan Abu bakar, yang merupakan nama kun-yah-nya (gelarnya).
Pada masa mudanya ia pernah menjadi tukang intan, penukar uang dan pemain kecapi. Kemudian, ia menaru perhatian besar terhadap ilmu kimia dan meninggalkannya setelah matanya terserang penyakit akibat eksperimen-eksperimennya yanng dilakukannya. Setelah itu, ia beralihdan mendalami ilmu kedokteran dan filsafat.[2]
Sebenarnya ayah berharap agar Al-Razi mengikuti profesinya sebagai pedagang. Oleh karena itu, atahnya telah membekali diri Al-Razi dengan ilmu-ilmu perdagangan. Namun, ternyata Al-Razi lebih memilih bidang intelektual dari pada perdagang. Hal ini, menurut Abdul Latif Muhammad Al-‘Abd, merupakan indikasi perkara-perkara yang lebih besar ketimbang hanya mementingkan materi belaka.[3]Akan tetepi ayahnya tidak pernah menghalangi bakat Al-Razi menjadi seorang intelektual. Hal ini juga dapat dijadikan bukti bahwa ayahnya sangat arif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.
Perlu pula diingatkan tentang lingkungan Al-Razi tempat ia berdomisili. Telah dimaklumi bahwa iran, sebelumnya dikenal dengan sebutan persia, sejak lama seudah terkenal dengan sejarah peradaban manusia. Kota ini merupakan tempat pertemuan berbagai peradaban, terutama peradaban yunani dan persia. Dalam bidang penyatuan kebudayaan persia dan yunani inilah terleaknya salah satu jasa dari Alexander Yang Agung pada tahun 331 M.[4] Oleh karena itu tidak mengherankan kota-kota dipersia (Iran) ini telah mengenal peradaban yang tinggi jauh sebelum bangsa Arab mengenalnya.[5] Agaknya suasana lingkungan ini termasuk mendorong bakat Al-Razi tampil sebagai seorang intelektual.
Al-Razi terkenal sebagai seorang dokter dermawan, penyayang kepada pasien-pasiennya, karena itu ia sering memberikan pengobatan cuma-Cuma kepada orang-orang miskin. Namun, ungkapan Abdul Latif Muhammad Al-‘Abd  terlalu berlebihan yang mengatakan bahwa Al-Razi tidak memiliki harta sampai ia meninggal dunia.[6] Kenyataannya ia sering pulang pergi antara Baghdad dan Rayy. Hal ini menunjukkan bahwa ia masih mempunyai uang.
Karena reputasinya dibaidang kedokteran ini, Al-Razi pernah diangkat menjadi kepala rumah sakit Rayy pada masa pemerintahan Gubernur Al-Masyur ibnu Ishaq. Kemudian ia pindah ke Baghdad dan memimpin rumah sakit disana pada masa pemerintahan khalifah Al-Muktafi.[7] Setelah Al-Muktafi meninggal, ia kembali kekota kelahirannya, kemudian ia berpindah-pindah dari satu negeri kenegeri lainnya dan meninggal dunia pada tangga 5 Sya’ban 313 H/ 27 Oktober 925 M dalam usia 60 tahun.[8]
Informasi yang dikemukakan oleh Al-Qifti dan Usaibi’ah sulit dipercaya. Menurutnya Al-Razi berguru pada Ali Ibnu Rabban al-Tabari, seorang dokter filosof. Padahal Al-Razi lahir sepuluh tahun setelah Ali ibnu Rabban Al-Tabrani meninggal dunia. Menurut Al-Nadim yang benar  adalah Al-Razi belajar filsafat kepada Al-Balkhi, menguasai filsafat dan ilmu-ilmu kuno.[9]
Disiplin ilmu Al-Razi meliputi ilmu falak, matematika, kimia, kedokteran, dan filsafat. Ia lebih terkenal sebagai ahli kimia dan ahli kedokteran dibanding sebagai seorang filosof. Ia sangt rajin menulis dan membaca, agaknya inilah yang menyebabkan penglihatannya berangsur-angsur melemah dan akhirnya buta total. Akan tetepi, ia menolak untuk diobati dengan mengatakan pengobatan akan sia-sia belaka karena karen sebentar lagi ia akan meninggal.[10]

Karya Tulisnya
Al-Razi termasuk seorang filosof yang rajin belajar dan menulis sehingga tidak mengherankan ia banyak menghasilkan karya tulis dalam autobiagrafinya pernah ia katakan, bahwa ia telah menulis tidak kurang dari 200 buah karya tulis dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.[11] Karya tulis dalam bidang kimia yang terkenal adalah Kitab Al-Asrar yang ditejemahkan kedalam bahasa latin oleh Geard fo Cremon. Dalam bidang medis karyanya terbesar ialah Al-Hawi yang merupakan ensiklopedia ilmu kedokteran Eropa sampai abad ke 17 M.[12]
B.       Filsafatnya
1.        Lima Kekal (Kadim)
Filsafat Al- Razi terkenal dengan ajarannya Lima yang Kekal, yakni Al- Bary Ta’ala, (Allah Ta’ala), al-Nafs al-Kulliyyat (jiwa Universal), al-Hayula al-Ula (Materi Pertama), al-Makan al-Muthlaq (Tempat/Ruang Absolut) dan al-Zaman al-Muthlaq (Masa Absolut).
Menurut Al- Razi dua dari Lima yang Kekal itu hidup dan aktif Allah dan roh. Satu diantaranya tidak hidup dan pasif, yakni materi. Dua lainnya tidak hidup, tidak aktif, dan tidak pula pasif, yakni ruang dan masa.[13]
Menurut Al-Razi Allah Maha Pencipta dan Pengatur seluruh ala mini. Alam diciptakan oleh Allah bukan dari tidak ada (creation ex nihilo), tetepi dari bahan yang telah ada. Oleh karena itu, menurutnya Alam semesta tidak kadim, baharu, meskipun materi asalnya kadim, sebab penciptaan disini dalam arti disusun bahan yang telah ada.[14] Penciptaan dari tiada, bagi Al-Razi, tidak dapat dapat dipertahankan secara logis. Pasalnya, dari satu sisi bahan alam yang tersusun dari tanah, udara, air, api dan benda-benda langit berasal dari materi pertama yang telah ada sejak azali. Pada sisi lain, jika Allah menciptakan alam dari tiada, tentu ia terikat pada penciptaan segala sesuatu dari tiada karena hal ini merupakan modus perbbuatan yang paling sederhana dan cepat. Namun kenyataanya, penciptaan seperti itu adalah suatu hal yang tidak mungkin.[15]
Timbul dokrin adanya yang kekal selain Allah, dalam filsafat Al-Raziini, agaknya disebabkan filsafat adanya Allah yang merupakan sumber Yang Esa yang tetap. Namun demikian, kekalnya yang lain tidak sama dengan kekalnya Allah.
Jiwa universal merupakan al-Mabda’ al-qadim al-sany (sumber kekal yang kedua). Padanya terdapat daya hidup dan bergerak, sulit diketahui karena ia tanpa rupa, tetapi itu dikuasai oleh naluri untuk bersatu dengan al-hayula al-ula (materi pertama), terjadilah pada zatnya rupa yang dapat menerima fisik, Allah datang menolong roh dan menciptakan alam semesta termasuk tubuh manusia yang ditempati roh.
Begitu pula Allah menciptakan akal. Ia merupakan limpahan dari Allah. Tujuan penciptanya untuk menyadarkan jiwa yang terlana dalam fisik manusia, bahwa tubuh itu bukanlah tempat yang sebenarnya, buakan tempat kebahagiaan dan abadi. Kesenangan dan kebahagian yang sebenarnya adalah melepaskan diri dari materi dengan jalan filsafat.[16]
Jiwa yang tidak dapat menyucikan diri dengan filsafat, ia akan tetap tinggal atau berkelana di alam materi. Akan tetapi, apabila ia sudah bersih ia dapat kembali kealam asalnya, saat itu alam hancur dan jiwa serta materi kembali pada keadaannya semula.
Perlu dijelaskan bahwa roh menurut Ibnu Manzhur berarti jiawa badan halus.[17] Alasan yang dikemukakan ialah, roh bersal dari kata ra-wa-ha atau ra-ha yang berarti udara atau wangi. Jadi roh adalah udar yang halus sejenis udara.
Materi pertama adalah kekal (jauhar kadim). Ia disbut juga hayula muthlaq (materi mutlak), yang tidak lain adalah atom-atom yang tidak bisa dibagi lagi. Pedapat Al-Razi seperti ini mengesankan mirip dengan Demokritos, namun pendapatnya jelas berbeda.
Atom-atom yang tidak terbagi lagi itu, menurut Al-Razi, mempunyai volume (‘azhm). Oleh karena itu, ia dapat dibentuk. Dengan menyusun atom-atom tersebut terbrntuklah aalam dunia. Partikel-partikel materi alam menentukan kuliatas-kualitas primer dari materi tersebut. Partikel yang lebih padat menjadi unsure tanah, partikel yang lebih renggang daripada unsure tanah menjadi unsure air, partikel yang lebih renggang lagi menjadi udara, dan jauh lebih renggang menjadi unsure api.[18]
Untuk memperkuat pendapatnya tentang kekekalan materi pertama, Al-Razi memajuakan dua argument. Pertama, adanya penciptaan mengharuskan adanya Pencipta. Materi yang diciptakan oleh pencipta yang kekal tentu kekal pula. Kedua, ketidak mungkinan pencipta dari creation ex nihilo. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa alam yang diciptakan Allah dari bahan yang sudah ada, yakni materi pertama[19] yang telah ada sejak azali.
Telah disebutkan bahwa materi bersifat kekal karena ia menempati ruang, maka ruang juga kakal. Ruang dipahami oleh Al-Razi sebagai konsep yang abstrak, yang berbeda dengan aristoteles mengatakan “tempat” (tonos) tidak bisa dipisahkan secara logis dari tubuh yang menempatinya.[20] Oleh sebab itu, ruang , menurut Al-Razi, dapt dibedakan menjadi dua macam: ruang particular (al-makan al-juz’i) dan ruang universal (al-makan al-kully). Ruang yang pertama terbatas dan terikat dengan satu wujud yang menempatinya. Ruang tersebut tidak ada tanpa adanya maujud sehingga ia tidak bisa dipahami secara terpisah dengan maujud. Ruang particular ini akan terbatas dengan terbatasnya maujud, berubah dan lenyap sesuai dengan keadaan maujud yang ada didalamnya. Sementara yang kedua tidak terikat dengan maujud dan tidak terbatas. Ruang, bagi Al-Razi, bisa saja berisi wujud atau yang bukan wujud Karena adanya kehampaan bisa saja terjadi. Sebagai bukti keterbatasan ruang, A-Razi mengatakan bahwa wujud (tubuh) memerlukan ruang dan ia tidak mungkin ada tanpa adanya ruang, titapi ruang bisa ada tanpa danya wujud tersebut. Ruang universal ini sering juga disebut al-khala (kosong) dan ruang ini lah yang dikatakan Al-Razi ruang yang kekal.[21]
Sebagaimana ruang, waktu atau zamn juga dibedakan Al-Razi antara waktu mutlak (tak batas) dan waktu mahshur (terbatas). Untuk yang pertama ia sebut dengan al-dahr, bersifat kadim dan subansi yang bergerak atau mengalir (jauhar yajri). Sementara itu, wakktu mahshur adalah waktu yang berlandaskan pada pergerkan planet-planet, perjalanan bintang-bintang, dan mentari. Waktu terbatas ini tidak kekal, yang ia sebut dengan al-waqt.[22]
Dengan demikian, waktu mutlak atau absolute, menurut Al-Razi, udah ada sebelum adanya waktu terbatas ini terikat dengan gerakan bola bumi.

2.        Akal, Kenabian, dan Wahyu
Harus diakui bahwa akal merupakan subtansi sangat penting yang terdapat dalam diri manusia sebagai cahaya (nur) dalam hati. Cahaya ini, menurut Al-Razi, bersumber langsung dari Allah, sebagai utusan untuk menyadarkan manusia dari kebodohannya.[23]
Al-Razi dikenal sebagai rasionalis murni. Akal, menurutnya, adalah karunia Allah yang terbesar untuk manusia. Dengan akal manusia dapat memperoleh manfaat sebanyak-banyaknya, bahkan dapat memperoleh pengetahuan tantang Allah. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh menyia-nyiakan dan mengekangnya, tetepi harus memberikan kebebasan padanya dan harus merujuknya dalam segala hal.[24]
Demikian diantara ungkapan Al-Razi yang dinilai telah menyimpang dari agama. Tuduhan ini jelas akan membawa rusaknya reputasi Al-Razi. Bahkan, Harun Nasution mengatakan bahwa Al-Razi adalah filosof Muslim yang berani mengeluarkan pendapat-pendapatnya sungguh pun ia bertentangan dengan paham yang dianut umat islam. Selanjutnya, Harun Nasution menyimpulkan dari gagasan Al-Razi tersebut, yakni a. tidak percaya pada wahyu, b. Al-qur’an bukan mu’jizat, c. tidak percaya pada nabi-nabi, d. adanya hal-hal kekal selain dari Allah.[25]
Dalam pada itu, Badawi menerangkan alasan-alasan Al-Razi dalam menolak kenabian sebagai berikut.
a.         Akal sudah memadai untuk membedakan antara yang baik dan yang jahat, yang berguna dan tidak berguna. Dengan akal saja manusia mampu mengetahui Allah dan mengatur kehidupan dengan sebaik-baiknya.
b.        Tidak ada alasan yang kuat bagi pengistimewaan beberapa orang untuk membimbing semua orang karena semua orang lahir dengan kecerdasan yang sama. Perbedaan manusia bukan karena pembawaan alamiah, tetapi karena pengembangan dan pendidikan.
c.          Para nabi saling bertentangan. Pertentangan tersebut seharusanya tidak ada jika mereka berbicara atas nama satu Allah.[26]
Kemudian Al-Razi juga mengkritik agama secara umum. Ia juga menjelaskan kontradikso orang yahudi, Kristen, mani, dan majuzi secara rinci. Bahkan lebihlanjut ia katakan tidaklah masuk akal Allah mengutus para nabi sebab mereka menimbulkan kemudaratan. Ia juga mengkritik secara sistematik kitab-kitab wahyu Al-Qur’an dan injil. Ia menolak kemu’jizatan Al-Qur’an, baik gayanya maupun isinya dan menegaskan bahwa adalah mungkin meulis kitab lebih baik dalam gaya yang lenbih baik. Ia lebih suka membaca buku-buku ilmiah dari pada Al-Qur’an.[27] Atas dasar itulah, Badawi mengatakan bahwa Al-Razi sangat berani, tidak seorang pemikir Muslim pun seberani dia.[28]
Menurut Abdul Latif Muhammad Al’Abd bahwa tuduhan tidak mempercaya kenabian adalah didasarkan pada buku Makhariq al-Anbiya’.[29] Buku ini sering dibaca dalam pengajian- pengajian kaum zindik, terutama Qaramithah. Bagian dari buku ini terdapat dalam buku A’lam al-Nubuwwah karya Abu Hatim Al-Razi, yang idak pernah ditemukan. Oleh karena itu , kebenaranya diragukan. Andaikan buku-buku itu ada tentu saja tidak bertentangan dengan buku Al-Razi sendiri seperti al-Thibb al-Ruhani, al-Sirah al-Falsafiyyah.
Perlu dipertegaskan bahwa tuduhan-tuduhan ini berasal dari lawan depatnya Abu Hatim Al-Razi, tokoh syi’ah Islamiyyah. Oleh Karena itu, beralasan apa yang dikemukakan oleh Abdul Latif Muhammad Al-‘Abd, bahwa tuduhan-tuduhan tersebut amat ganjil, bahwa ia nilai mengandung sentimen.[30] Hal ini lumrah terjadi bahkan orang yang kalah berusaha untuk memojokkan lawannya agar dibenci pula oleh orang lain.
Dalam buku al-Thibb al-Ruhani tidak ditemukan keterangan bahwa Al-Razi mengingkari kenabian atau agama, bahkan sebaliknya ia mewajibkan untuk menghormati agama dan berpegang teguh kepadanya agar mendapat kenikmatan di akhirat berupa syurga dan mendapat keberuntungan berupa ridho Allah. Lebih jelas ia katakan sebagai berikut.
Manusia yang utama dan menjelaskan syariah secara sempurna, tidak perlu takut terhadap kematian. Hal ini disebabkan syari’at telah menjanjikan kemenangan dan kelapangan serta (menjanjikan) bisa mencapai kenikmatan abadi.[31]
Berdasarkan uaraian diatas sulit diterima bahwa orang yang menghargai agama dicap mulhid. Bahkan ia dalam buku-bukunya sering menulis shalawat kepada nabi Muhammad SAW. Sebagai penghormatanya kepada beliau, dan ia juga mewajibkan untuk memuliakan para nabi sebab mereka adalah manusia pilihan yang memilki pribadi mulia.[32]
Memang harus diakui bahwa Al-Razi memberikan perhatian dan kepercayaan besar kepada akal. Indikasi kearah ini dapat dilihat bahwa ia menulis tentang akal pada bab tersendiri dalam bukunya al-Thibb al-Ruhani. Namun, tidak sampai ia meletakkan wahyu dibawah akal, apalagi tidak percaya pada wahyu. Kasus Al-RAzi ini hampir sama dengan apa yang terjadi pada tokoh pembaru dari India, Ahmad Khan (1817-1889 M). keparcayaan terhadap ilmu alam ciptaan Allah (sunnatullah) menyebabkan ia dituduh kafir. Padahal bukan ia tidak mengakui kehendak mutlak Allah, namun yang ia katakana bahwa alam semesta ini diatur dan berjalan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan kehendak mutlak-Nya. Hal ini ia maksudkan agar umat islam dapat berfikir secara rasional dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Alasannya ilmu pengetahuan (sains) dapat berkembang adalah berdasarkan fenomena yang tetap di alam.[33]
Al-Razi lebih terkenal sebagai ahli dalam ilmu kedokteran (sains) ketimbang ilmu spekulatif (filsafat). Oleh karena itu, dalam penjelasanya tentang akal berdasarkan semnagat rasional empiris ekperimental, hal yang mengesankan ialah bahwa ia hanya percaya pada akal semata dan tidak lagi percaya pada wahyu. Seperti telah ditemukan dalam tulisan-tulisan sebelumnya.
Perlu pula ditegaskan bahwa memang dalam buku Harun Nasution yang berjudul Falsafat dan Misticisme dalam Islam memuat ketidak percayaan Al-Razi kepada kenabian, agama, dan wahyu. Namun, setelah ia membaca buku-buku karya Al-Razi, seperti al-Thibb al-Ruhani dan lainnya yang penulis sodorkan saat itu (1989), ia berpesan, bila saudara menulis Al-Razi, maka tulislah sesuai dengan buku-buku ini, sedangkan saya (Harun Nasution) menulis dalam buku diatas karena saya belum menemukan sumber-sumber seperti ini. Realisasi pesan dari Harun Nasution tentang Al-Razi ini dapat penulis saksikan sendiri selama penulis membantunya (asistennya) dalam mata kuliah pemikiran dalam islam di Pascsarjana IAIN Imam Bonjol Padang Sejak tahun 1994 sampai ia wafat jum’at 18 September 1998.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tidak cukup bukti untuk membenarkan tuduhan Al-Razi. Sebaliknya, penulis berkeyakinan bahwa ia adalah seorang intelektual Muslim yang percaya pada Nabi dan wahyu.


DAFTAR PUSTAKA

M.M. syafi’i, (Ed)., The Hiistory of muslim phisolophy, (New York: dovers publications, 1967)
Abdul Latif Muhammad Al-‘Abd, Ushul al-Fikr al-falsafy ‘inda Abi Bakr Al-Razi, (Kairo: al-Mathba’ah al-Fanniyah al-Hadisah, 1977)
Abdul rahman Badawi, “Muhammad Ibn Zakaria Al-Razi,” dalam M.M.Syarif , Para Filosof Muslim, terj. Fuad Moh. Fakhruddin, (Bandung: Mirzan, 1996),




[1] M.M. syafi’i, (Ed)., The Hiistory of muslim phisolophy, (New York: dovers publications, 1967), hlm. 434.
[2] Ibid.
[3] Abdul Latif Muhammad Al-‘Abd, Ushul al-Fikr al-falsafy ‘inda Abi Bakr Al-Razi, (Kairo: al-Mathba’ah al-Fanniyah al-Hadisah, 1977), hlm. 14.
[4] Harun Nasution, Falsafat dan Misticisme dalam Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1993) hlm. 8.
[5] Tim Penyukuhan Ensiklopedia Islam, ensiklopedi Islam, (Jakarta:Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), Jilid II, Hlm. 243.
[6] Abdul Latif Muhammad al-‘Abd, op.cit., hlm. 23.
[7] Ibid.
[8] Menurut T.J. De Boer Al-Razi wafat tahun 923 M. Lihat bukunya: Tarikh al-Falsafat fi al-Islam, diterj. Kedalam bahasa Arab oleh Muhammad ‘Abd Al-Hady Abu Zaidah, (Kairo: Mathba’ah Lajnat al-Ta’lif wa al-Tarjamat wal al-Nasyar, 1954), hlm. 115.
[9] M. Mahdi Allam, Da’irat al-Ma’arif al-islamiyyat, juz. IX, (kairo:tt.), hlm. 451.
[10] M.M. Syarif, op.cit., hlm. 436.
[11] Al-Razi, Rasa’il Falsafiyyat, (bairut: Dar al-Afaq al-Jadidat, 1982), hlm.109.
[12] Majid Fahry, Sejarah Filsafat Islam, Terj. R. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), cet. I, hlm. 151. Lihat juga Harun Nasution, op.cit, hlm 17.
[13] Harun Nasution, ibid.
[14] Abu Bakar Al-Razi, al-Thibb al-Ruhani, Tahkik ‘abd Al-lathif Alghaid, (Kairo: Maktabat al-Nahdat al-Mishriyyat, 1978), hlm. 12. Sebenarnya pendapat Al-Razi tenteng alam semesta tidak berbeda dengan al-Farabi dan Ibnu Sina. Disini hanya perbedaan semantic, yang oleh Al-Razi materi pertama kadim, dan alam semesta yang disusun oleh materi asal itu disebut baharu, tidak kadim. Sementara itu, oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina hal itu disebutnya kadim.
[15] Majid Fakhry, op.cit., hlm. 157.
[16] Al-Razi, Rasa’il op.cit., hlm 284.
[17] Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab,(Bairut: Dar Ihya al-taurats al-‘Araby, 1992), jilid V, hlm. 17.
[18] M.M. Syarif, op.cit., hlm. 443-444. Al-Razi al-Thibb, op.cit., hlm. 11.
[19] M.M Syarif, Ibid.
[20] Majid fakhry, op.cit., hlm 157.
[21] M.MSyarif, op.cit., hlm. 445.
[22] Al-Razi, Rasa’il, op.cit., hlm. 304.
[23] Al-Razi, al-Madkal al-Shagir ila ‘ilm al-Thibb, dalam, abdul Latif Muhammad al-Abd, Sitt Rasa’il min al-Turats al-Araby, (Kairo: Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyyah, 1981), hlm.110.
[24] Ibid., hlm. 18.
[25] Harun Nasution, misticisme, op.cit., hlm. 20-21.
[26] Abdul rahman Badawi, “Muhammad Ibn Zakaria Al-Razi,” dalam M.M.Syarif , Para Filosof Muslim, terj. Fuad Moh. Fakhruddin, (Bandung: Mirzan, 1996), hlm. 47.
[27] Ibid.
[28] Ibid., hlm. 48
[29] Abdul Latif Muhammad al’Abd, op.cit., hlm. 270.
[30] Ibid., hlm. 278.
[31] Al-Razi, Al-Thibb al-Ruhani, dalam Lajnah Ihya’ Al-Thurats Al-Arabi (ed.) Rasa’il Falsafiyah, (Bairut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1982), hlm. 95-96, lihat juga hlm. 31.
[32] Lihat: Al-Razi, al-Madhkhal  dalam abdul Latif Muhammad Al-‘Abd, hlm. 109 Ibd., hlm 19.
[33] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1985), hlm. 106-107.

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking