AL-RAZI
A.
Sejarah Lahir dan Karyanya
Nama lengkap Al-Razi adalah Abu Bakar Ibnu Zakaria ibnu
Yahya Al- Razi. Dalam wacana keilmuan barat dikenal dengan sebutan Razhes. Ia
lahir di Rayy, sebuah kota tua yang masa lalu bernama Rhogee, dekat teheran,
republik islam iran pada tanggal 1 sya’ban 251M.[1]
Ada beberapa nama tokoh lain yang juga dipanggilkan
Al-Razi, oleh abu Hatim Al-Razi, Fakhruddin Al-Razi dan Najmuddin Al-Razi. Oelh
karena itu, untuk membedakan Al-Razi, sang filosof ini dari tokoh-tokoh lain,
perlu ditambah dengan sebutan Abu bakar, yang merupakan nama kun-yah-nya (gelarnya).
Pada masa mudanya ia pernah menjadi tukang intan, penukar
uang dan pemain kecapi. Kemudian, ia menaru perhatian besar terhadap ilmu kimia
dan meninggalkannya setelah matanya terserang penyakit akibat
eksperimen-eksperimennya yanng dilakukannya. Setelah itu, ia beralihdan
mendalami ilmu kedokteran dan filsafat.[2]
Sebenarnya ayah berharap agar Al-Razi mengikuti
profesinya sebagai pedagang. Oleh karena itu, atahnya telah membekali diri Al-Razi
dengan ilmu-ilmu perdagangan. Namun, ternyata Al-Razi lebih memilih bidang
intelektual dari pada perdagang. Hal ini, menurut Abdul Latif Muhammad Al-‘Abd,
merupakan indikasi perkara-perkara yang lebih besar ketimbang hanya
mementingkan materi belaka.[3]Akan
tetepi ayahnya tidak pernah menghalangi bakat Al-Razi menjadi seorang
intelektual. Hal ini juga dapat dijadikan bukti bahwa ayahnya sangat arif
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.
Perlu pula diingatkan tentang lingkungan Al-Razi tempat
ia berdomisili. Telah dimaklumi bahwa iran, sebelumnya dikenal dengan sebutan
persia, sejak lama seudah terkenal dengan sejarah peradaban manusia. Kota ini
merupakan tempat pertemuan berbagai peradaban, terutama peradaban yunani dan
persia. Dalam bidang penyatuan kebudayaan persia dan yunani inilah terleaknya
salah satu jasa dari Alexander Yang Agung pada tahun 331 M.[4]
Oleh karena itu tidak mengherankan kota-kota dipersia (Iran) ini telah mengenal
peradaban yang tinggi jauh sebelum bangsa Arab mengenalnya.[5]
Agaknya suasana lingkungan ini termasuk mendorong bakat Al-Razi tampil sebagai
seorang intelektual.
Al-Razi
terkenal sebagai seorang dokter dermawan, penyayang kepada pasien-pasiennya,
karena itu ia sering memberikan pengobatan cuma-Cuma kepada orang-orang miskin.
Namun, ungkapan Abdul Latif Muhammad Al-‘Abd
terlalu berlebihan yang mengatakan bahwa Al-Razi tidak memiliki harta
sampai ia meninggal dunia.[6]
Kenyataannya ia sering pulang pergi antara Baghdad dan Rayy. Hal ini
menunjukkan bahwa ia masih mempunyai uang.
Karena
reputasinya dibaidang kedokteran ini, Al-Razi pernah diangkat menjadi kepala
rumah sakit Rayy pada masa pemerintahan
Gubernur Al-Masyur ibnu Ishaq. Kemudian ia pindah ke Baghdad dan memimpin rumah
sakit disana pada masa pemerintahan khalifah Al-Muktafi.[7]
Setelah Al-Muktafi meninggal, ia kembali kekota kelahirannya, kemudian ia
berpindah-pindah dari satu negeri kenegeri lainnya dan meninggal dunia pada
tangga 5 Sya’ban 313 H/ 27 Oktober 925 M dalam usia 60 tahun.[8]
Informasi yang dikemukakan oleh Al-Qifti dan Usaibi’ah
sulit dipercaya. Menurutnya Al-Razi berguru pada Ali Ibnu Rabban al-Tabari,
seorang dokter filosof. Padahal Al-Razi lahir sepuluh tahun setelah Ali ibnu
Rabban Al-Tabrani meninggal dunia. Menurut Al-Nadim yang benar adalah Al-Razi belajar filsafat kepada
Al-Balkhi, menguasai filsafat dan ilmu-ilmu kuno.[9]
Disiplin ilmu Al-Razi meliputi ilmu falak, matematika,
kimia, kedokteran, dan filsafat. Ia lebih terkenal sebagai ahli kimia dan ahli
kedokteran dibanding sebagai seorang filosof. Ia sangt rajin menulis dan
membaca, agaknya inilah yang menyebabkan penglihatannya berangsur-angsur
melemah dan akhirnya buta total. Akan tetepi, ia menolak untuk diobati dengan
mengatakan pengobatan akan sia-sia belaka karena karen sebentar lagi ia akan
meninggal.[10]
Karya Tulisnya
Al-Razi termasuk seorang filosof yang rajin belajar dan menulis sehingga
tidak mengherankan ia banyak menghasilkan karya tulis dalam autobiagrafinya
pernah ia katakan, bahwa ia telah menulis tidak kurang dari 200 buah karya
tulis dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.[11] Karya tulis dalam
bidang kimia yang terkenal adalah Kitab
Al-Asrar yang ditejemahkan kedalam bahasa latin oleh Geard fo Cremon. Dalam
bidang medis karyanya terbesar ialah Al-Hawi yang merupakan ensiklopedia ilmu
kedokteran Eropa sampai abad ke 17 M.[12]
B.
Filsafatnya
1.
Lima
Kekal (Kadim)
Filsafat
Al- Razi terkenal dengan ajarannya Lima yang Kekal, yakni Al- Bary Ta’ala, (Allah Ta’ala), al-Nafs al-Kulliyyat (jiwa Universal), al-Hayula al-Ula (Materi Pertama), al-Makan al-Muthlaq (Tempat/Ruang Absolut) dan al-Zaman al-Muthlaq (Masa Absolut).
Menurut
Al- Razi dua dari Lima yang Kekal itu hidup dan aktif Allah dan roh. Satu
diantaranya tidak hidup dan pasif, yakni materi. Dua lainnya tidak hidup, tidak
aktif, dan tidak pula pasif, yakni ruang dan masa.[13]
Menurut
Al-Razi Allah Maha Pencipta dan Pengatur seluruh ala mini. Alam diciptakan oleh
Allah bukan dari tidak ada (creation ex
nihilo), tetepi dari bahan yang telah ada. Oleh karena itu, menurutnya Alam
semesta tidak kadim, baharu, meskipun materi asalnya kadim, sebab penciptaan
disini dalam arti disusun bahan yang telah ada.[14]
Penciptaan dari tiada, bagi Al-Razi, tidak dapat dapat dipertahankan secara
logis. Pasalnya, dari satu sisi bahan alam yang tersusun dari tanah, udara,
air, api dan benda-benda langit berasal dari materi pertama yang telah ada
sejak azali. Pada sisi lain, jika Allah menciptakan alam dari tiada, tentu ia
terikat pada penciptaan segala sesuatu dari tiada karena hal ini merupakan
modus perbbuatan yang paling sederhana dan cepat. Namun kenyataanya, penciptaan
seperti itu adalah suatu hal yang tidak mungkin.[15]
Timbul
dokrin adanya yang kekal selain Allah, dalam filsafat Al-Raziini, agaknya
disebabkan filsafat adanya Allah yang merupakan sumber Yang Esa yang tetap.
Namun demikian, kekalnya yang lain tidak sama dengan kekalnya Allah.
Jiwa
universal merupakan al-Mabda’ al-qadim
al-sany (sumber kekal yang kedua). Padanya terdapat daya hidup dan
bergerak, sulit diketahui karena ia tanpa rupa, tetapi itu dikuasai oleh naluri
untuk bersatu dengan al-hayula al-ula
(materi pertama), terjadilah pada zatnya rupa yang dapat menerima fisik, Allah
datang menolong roh dan menciptakan alam semesta termasuk tubuh manusia yang
ditempati roh.
Begitu
pula Allah menciptakan akal. Ia merupakan limpahan dari Allah. Tujuan
penciptanya untuk menyadarkan jiwa yang terlana dalam fisik manusia, bahwa
tubuh itu bukanlah tempat yang sebenarnya, buakan tempat kebahagiaan dan abadi.
Kesenangan dan kebahagian yang sebenarnya adalah melepaskan diri dari materi
dengan jalan filsafat.[16]
Jiwa
yang tidak dapat menyucikan diri dengan filsafat, ia akan tetap tinggal atau
berkelana di alam materi. Akan tetapi, apabila ia sudah bersih ia dapat kembali
kealam asalnya, saat itu alam hancur dan jiwa serta materi kembali pada
keadaannya semula.
Perlu
dijelaskan bahwa roh menurut Ibnu Manzhur berarti jiawa badan halus.[17]
Alasan yang dikemukakan ialah, roh bersal dari kata ra-wa-ha atau ra-ha yang
berarti udara atau wangi. Jadi roh adalah udar yang halus sejenis udara.
Materi
pertama adalah kekal (jauhar kadim).
Ia disbut juga hayula muthlaq (materi mutlak), yang tidak lain
adalah atom-atom yang tidak bisa dibagi lagi. Pedapat Al-Razi seperti ini
mengesankan mirip dengan Demokritos, namun pendapatnya jelas berbeda.
Atom-atom
yang tidak terbagi lagi itu, menurut Al-Razi, mempunyai volume (‘azhm). Oleh karena itu, ia dapat
dibentuk. Dengan menyusun atom-atom tersebut terbrntuklah aalam dunia.
Partikel-partikel materi alam menentukan kuliatas-kualitas primer dari materi
tersebut. Partikel yang lebih padat menjadi unsure tanah, partikel yang lebih
renggang daripada unsure tanah menjadi unsure air, partikel yang lebih renggang
lagi menjadi udara, dan jauh lebih renggang menjadi unsure api.[18]
Untuk
memperkuat pendapatnya tentang kekekalan materi pertama, Al-Razi memajuakan dua
argument. Pertama, adanya penciptaan
mengharuskan adanya Pencipta. Materi yang diciptakan oleh pencipta yang kekal
tentu kekal pula. Kedua, ketidak
mungkinan pencipta dari creation ex nihilo. Seperti telah dikemukakan
sebelumnya, bahwa alam yang diciptakan Allah dari bahan yang sudah ada, yakni
materi pertama[19]
yang telah ada sejak azali.
Telah
disebutkan bahwa materi bersifat kekal karena ia menempati ruang, maka ruang
juga kakal. Ruang dipahami oleh Al-Razi sebagai konsep yang abstrak, yang
berbeda dengan aristoteles mengatakan “tempat” (tonos) tidak bisa dipisahkan
secara logis dari tubuh yang menempatinya.[20]
Oleh sebab itu, ruang , menurut Al-Razi, dapt dibedakan menjadi dua macam:
ruang particular (al-makan al-juz’i)
dan ruang universal (al-makan al-kully). Ruang yang pertama terbatas dan
terikat dengan satu wujud yang menempatinya. Ruang tersebut tidak ada tanpa
adanya maujud sehingga ia tidak bisa dipahami secara terpisah dengan maujud.
Ruang particular ini akan terbatas dengan terbatasnya maujud, berubah dan
lenyap sesuai dengan keadaan maujud yang ada didalamnya. Sementara yang kedua
tidak terikat dengan maujud dan tidak terbatas. Ruang, bagi Al-Razi, bisa saja
berisi wujud atau yang bukan wujud Karena adanya kehampaan bisa saja terjadi.
Sebagai bukti keterbatasan ruang, A-Razi mengatakan bahwa wujud (tubuh)
memerlukan ruang dan ia tidak mungkin ada tanpa adanya ruang, titapi ruang bisa
ada tanpa danya wujud tersebut. Ruang universal ini sering juga disebut al-khala (kosong) dan ruang ini lah yang
dikatakan Al-Razi ruang yang kekal.[21]
Sebagaimana
ruang, waktu atau zamn juga dibedakan Al-Razi antara waktu mutlak (tak batas)
dan waktu mahshur (terbatas). Untuk
yang pertama ia sebut dengan al-dahr,
bersifat kadim dan subansi yang bergerak atau mengalir (jauhar yajri). Sementara itu, wakktu mahshur adalah waktu yang berlandaskan pada pergerkan
planet-planet, perjalanan bintang-bintang, dan mentari. Waktu terbatas ini
tidak kekal, yang ia sebut dengan al-waqt.[22]
Dengan
demikian, waktu mutlak atau absolute, menurut Al-Razi, udah ada sebelum adanya
waktu terbatas ini terikat dengan gerakan bola bumi.
2.
Akal,
Kenabian, dan Wahyu
Harus
diakui bahwa akal merupakan subtansi sangat penting yang terdapat dalam diri
manusia sebagai cahaya (nur) dalam
hati. Cahaya ini, menurut Al-Razi, bersumber langsung dari Allah, sebagai
utusan untuk menyadarkan manusia dari kebodohannya.[23]
Al-Razi
dikenal sebagai rasionalis murni. Akal, menurutnya, adalah karunia Allah yang
terbesar untuk manusia. Dengan akal manusia dapat memperoleh manfaat
sebanyak-banyaknya, bahkan dapat memperoleh pengetahuan tantang Allah. Oleh
sebab itu, manusia tidak boleh menyia-nyiakan dan mengekangnya, tetepi harus
memberikan kebebasan padanya dan harus merujuknya dalam segala hal.[24]
Demikian
diantara ungkapan Al-Razi yang dinilai telah menyimpang dari agama. Tuduhan ini
jelas akan membawa rusaknya reputasi Al-Razi. Bahkan, Harun Nasution mengatakan
bahwa Al-Razi adalah filosof Muslim yang berani mengeluarkan
pendapat-pendapatnya sungguh pun ia bertentangan dengan paham yang dianut umat
islam. Selanjutnya, Harun Nasution menyimpulkan dari gagasan Al-Razi tersebut,
yakni a. tidak percaya pada wahyu, b. Al-qur’an bukan mu’jizat, c. tidak
percaya pada nabi-nabi, d. adanya hal-hal kekal selain dari Allah.[25]
Dalam
pada itu, Badawi menerangkan alasan-alasan Al-Razi dalam menolak kenabian
sebagai berikut.
a.
Akal
sudah memadai untuk membedakan antara yang baik dan yang jahat, yang berguna
dan tidak berguna. Dengan akal saja manusia mampu mengetahui Allah dan mengatur
kehidupan dengan sebaik-baiknya.
b.
Tidak
ada alasan yang kuat bagi pengistimewaan beberapa orang untuk membimbing semua
orang karena semua orang lahir dengan kecerdasan yang sama. Perbedaan manusia
bukan karena pembawaan alamiah, tetapi karena pengembangan dan pendidikan.
c.
Para nabi saling bertentangan. Pertentangan
tersebut seharusanya tidak ada jika mereka berbicara atas nama satu Allah.[26]
Kemudian
Al-Razi juga mengkritik agama secara umum. Ia juga menjelaskan kontradikso
orang yahudi, Kristen, mani, dan majuzi secara rinci. Bahkan lebihlanjut ia
katakan tidaklah masuk akal Allah mengutus para nabi sebab mereka menimbulkan
kemudaratan. Ia juga mengkritik secara sistematik kitab-kitab wahyu Al-Qur’an
dan injil. Ia menolak kemu’jizatan Al-Qur’an, baik gayanya maupun isinya dan
menegaskan bahwa adalah mungkin meulis kitab lebih baik dalam gaya yang lenbih
baik. Ia lebih suka membaca buku-buku ilmiah dari pada Al-Qur’an.[27]
Atas dasar itulah, Badawi mengatakan bahwa Al-Razi sangat berani, tidak seorang
pemikir Muslim pun seberani dia.[28]
Menurut
Abdul Latif Muhammad Al’Abd bahwa tuduhan tidak mempercaya kenabian adalah
didasarkan pada buku Makhariq al-Anbiya’.[29]
Buku ini sering dibaca dalam pengajian- pengajian kaum zindik, terutama
Qaramithah. Bagian dari buku ini terdapat dalam buku A’lam al-Nubuwwah karya Abu Hatim Al-Razi, yang idak pernah
ditemukan. Oleh karena itu , kebenaranya diragukan. Andaikan buku-buku itu ada
tentu saja tidak bertentangan dengan buku Al-Razi sendiri seperti al-Thibb al-Ruhani, al-Sirah al-Falsafiyyah.
Perlu
dipertegaskan bahwa tuduhan-tuduhan ini berasal dari lawan depatnya Abu Hatim
Al-Razi, tokoh syi’ah Islamiyyah. Oleh Karena itu, beralasan apa yang
dikemukakan oleh Abdul Latif Muhammad Al-‘Abd, bahwa tuduhan-tuduhan tersebut
amat ganjil, bahwa ia nilai mengandung sentimen.[30]
Hal ini lumrah terjadi bahkan orang yang kalah berusaha untuk memojokkan
lawannya agar dibenci pula oleh orang lain.
Dalam
buku al-Thibb al-Ruhani tidak ditemukan keterangan bahwa Al-Razi mengingkari
kenabian atau agama, bahkan sebaliknya ia mewajibkan untuk menghormati agama
dan berpegang teguh kepadanya agar mendapat kenikmatan di akhirat berupa syurga
dan mendapat keberuntungan berupa ridho Allah. Lebih jelas ia katakan sebagai
berikut.
Manusia
yang utama dan menjelaskan syariah secara sempurna, tidak perlu takut terhadap
kematian. Hal ini disebabkan syari’at telah menjanjikan kemenangan dan
kelapangan serta (menjanjikan) bisa mencapai kenikmatan abadi.[31]
Berdasarkan
uaraian diatas sulit diterima bahwa orang yang menghargai agama dicap mulhid. Bahkan ia dalam buku-bukunya
sering menulis shalawat kepada nabi Muhammad SAW. Sebagai penghormatanya kepada
beliau, dan ia juga mewajibkan untuk memuliakan para nabi sebab mereka adalah
manusia pilihan yang memilki pribadi mulia.[32]
Memang
harus diakui bahwa Al-Razi memberikan perhatian dan kepercayaan besar kepada
akal. Indikasi kearah ini dapat dilihat bahwa ia menulis tentang akal pada bab
tersendiri dalam bukunya al-Thibb
al-Ruhani. Namun, tidak sampai ia meletakkan wahyu dibawah akal, apalagi
tidak percaya pada wahyu. Kasus Al-RAzi ini hampir sama dengan apa yang terjadi
pada tokoh pembaru dari India, Ahmad Khan (1817-1889 M). keparcayaan terhadap
ilmu alam ciptaan Allah (sunnatullah) menyebabkan ia dituduh kafir. Padahal
bukan ia tidak mengakui kehendak mutlak Allah, namun yang ia katakana bahwa
alam semesta ini diatur dan berjalan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan
kehendak mutlak-Nya. Hal ini ia maksudkan agar umat islam dapat berfikir secara
rasional dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Alasannya ilmu pengetahuan (sains)
dapat berkembang adalah berdasarkan fenomena yang tetap di alam.[33]
Al-Razi
lebih terkenal sebagai ahli dalam ilmu kedokteran (sains) ketimbang ilmu
spekulatif (filsafat). Oleh karena itu, dalam penjelasanya tentang akal
berdasarkan semnagat rasional empiris ekperimental, hal yang mengesankan ialah
bahwa ia hanya percaya pada akal semata dan tidak lagi percaya pada wahyu.
Seperti telah ditemukan dalam tulisan-tulisan sebelumnya.
Perlu
pula ditegaskan bahwa memang dalam buku Harun Nasution yang berjudul Falsafat dan Misticisme dalam Islam
memuat ketidak percayaan Al-Razi kepada kenabian, agama, dan wahyu. Namun,
setelah ia membaca buku-buku karya Al-Razi, seperti al-Thibb al-Ruhani dan
lainnya yang penulis sodorkan saat itu (1989), ia berpesan, bila saudara
menulis Al-Razi, maka tulislah sesuai dengan buku-buku ini, sedangkan saya
(Harun Nasution) menulis dalam buku diatas karena saya belum menemukan
sumber-sumber seperti ini. Realisasi pesan dari Harun Nasution tentang Al-Razi
ini dapat penulis saksikan sendiri selama penulis membantunya (asistennya)
dalam mata kuliah pemikiran dalam islam di Pascsarjana IAIN Imam Bonjol Padang
Sejak tahun 1994 sampai ia wafat jum’at 18 September 1998.
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tidak cukup bukti untuk membenarkan
tuduhan Al-Razi. Sebaliknya, penulis berkeyakinan bahwa ia adalah seorang
intelektual Muslim yang percaya pada Nabi dan wahyu.
DAFTAR PUSTAKA
M.M. syafi’i,
(Ed)., The Hiistory of muslim phisolophy,
(New York: dovers publications, 1967)
Abdul Latif
Muhammad Al-‘Abd, Ushul al-Fikr
al-falsafy ‘inda Abi Bakr Al-Razi, (Kairo: al-Mathba’ah al-Fanniyah
al-Hadisah, 1977)
Abdul rahman Badawi,
“Muhammad Ibn Zakaria Al-Razi,” dalam M.M.Syarif , Para Filosof Muslim, terj. Fuad Moh. Fakhruddin, (Bandung: Mirzan,
1996),
[1] M.M.
syafi’i, (Ed)., The Hiistory of muslim
phisolophy, (New York: dovers publications, 1967), hlm. 434.
[3] Abdul Latif
Muhammad Al-‘Abd, Ushul al-Fikr
al-falsafy ‘inda Abi Bakr Al-Razi, (Kairo: al-Mathba’ah al-Fanniyah
al-Hadisah, 1977), hlm. 14.
[4] Harun
Nasution, Falsafat dan Misticisme dalam
Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1993) hlm. 8.
[5] Tim
Penyukuhan Ensiklopedia Islam, ensiklopedi
Islam, (Jakarta:Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), Jilid II, Hlm. 243.
[6] Abdul Latif Muhammad
al-‘Abd, op.cit., hlm. 23.
[8] Menurut T.J.
De Boer Al-Razi wafat tahun 923 M. Lihat bukunya: Tarikh al-Falsafat fi
al-Islam, diterj. Kedalam bahasa Arab oleh Muhammad ‘Abd Al-Hady Abu Zaidah,
(Kairo: Mathba’ah Lajnat al-Ta’lif wa al-Tarjamat wal al-Nasyar, 1954), hlm.
115.
[11] Al-Razi, Rasa’il
Falsafiyyat, (bairut: Dar al-Afaq al-Jadidat, 1982), hlm.109.
[12] Majid Fahry, Sejarah Filsafat Islam, Terj. R.
Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), cet. I, hlm. 151. Lihat
juga Harun Nasution, op.cit, hlm 17.
[13] Harun Nasution, ibid.
[14] Abu Bakar Al-Razi, al-Thibb al-Ruhani, Tahkik ‘abd
Al-lathif Alghaid, (Kairo: Maktabat al-Nahdat al-Mishriyyat, 1978), hlm. 12.
Sebenarnya pendapat Al-Razi tenteng alam semesta tidak berbeda dengan al-Farabi
dan Ibnu Sina. Disini hanya perbedaan semantic, yang oleh Al-Razi materi
pertama kadim, dan alam semesta yang disusun oleh materi asal itu disebut
baharu, tidak kadim. Sementara itu, oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina hal itu
disebutnya kadim.
[15] Majid Fakhry,
op.cit., hlm. 157.
[16] Al-Razi, Rasa’il
op.cit., hlm 284.
[17] Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab,(Bairut: Dar Ihya
al-taurats al-‘Araby, 1992), jilid V, hlm. 17.
[18] M.M. Syarif, op.cit.,
hlm. 443-444. Al-Razi al-Thibb, op.cit., hlm. 11.
[19] M.M Syarif, Ibid.
[20] Majid fakhry,
op.cit., hlm 157.
[21] M.MSyarif, op.cit.,
hlm. 445.
[22] Al-Razi, Rasa’il,
op.cit., hlm. 304.
[23] Al-Razi, al-Madkal al-Shagir ila ‘ilm al-Thibb,
dalam, abdul Latif Muhammad al-Abd, Sitt
Rasa’il min al-Turats al-Araby, (Kairo: Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyyah,
1981), hlm.110.
[24] Ibid., hlm. 18.
[25] Harun Nasution, misticisme, op.cit., hlm. 20-21.
[26] Abdul rahman Badawi,
“Muhammad Ibn Zakaria Al-Razi,” dalam M.M.Syarif , Para Filosof Muslim, terj. Fuad Moh. Fakhruddin, (Bandung: Mirzan,
1996), hlm. 47.
[27] Ibid.
[28] Ibid., hlm. 48
[29] Abdul Latif Muhammad
al’Abd, op.cit., hlm. 270.
[30] Ibid., hlm. 278.
[31] Al-Razi, Al-Thibb al-Ruhani, dalam Lajnah Ihya’
Al-Thurats Al-Arabi (ed.) Rasa’il Falsafiyah, (Bairut: Dar al-Afaq al-Jadidah,
1982), hlm. 95-96, lihat juga hlm. 31.
[32] Lihat: Al-Razi, al-Madhkhal dalam abdul Latif Muhammad Al-‘Abd, hlm. 109
Ibd., hlm 19.
[33] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,
Jilid II, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1985), hlm. 106-107.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking