SEJARAH
FILSAFAT DAN KLASIFIKASINYA
Filsuf
adalah orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sungguh-sungguh dan
mendalam. Ringkasnya filsafat adalah hasil akal seseorang manusia yang
memikirkan dan mencari suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Filsafat
merupakan ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakekat kebenaran segala
sesuatu.[1]
Dari
sudut pandang lainnya Raghib al-Asfahani mengatakan bahwa ilmu dapat pula
dibagi menjadi dua bagian yaitu ilmu rasional dan dokrinal. Ilmu rasional
adalah ilmu yang didapat dengan akal dan penelitian, sedangkan ilmu dokrinal
merupakan ilmu yang didapatkan dengan memberitakan wahyu dan nabi.[2]
Kata
filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta, dan kata sophos yang
berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian secara bahasa filsafat berarti cinta
terhadap ilmu atau hikmah. Dalam hubungan ini, Al-Syaibani berpendapat bahwa
filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan
berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap
positif terhadapnya. Untuk ini ia mengatakan bahwa filsafat berarti mencari
hakikat sesuatu, berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.[3]
Dalam
pengertian yang lebih luas, Harold Titus mengemukakan pengertian filsafat
sebagai berikut:
a.Filsafat
adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang
biasanya diterima secara kritis.
b.Filsafat
ialah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang
sangat kita junjung tinggi.
c.Filsafat
adalah usaha untuk mendpatkan gambaran keseluruhan.
d.Filsafat
ialah analisis logis dari bahasan dan penjelasan arti konsep.
e.Filsafat
ialah sekumpulan problema-problema yang langsung mendapat perhatian manusia dan
dicarikan jawabannya oleh ahli filsafat (Jalaluddin dan Said, 1994: 9).
Selanjutnya,
Imam Barnadib menjelaskan filsafat sebagai pandangan yang menyeluruh dan
sistematis. Menyeluruh, karena filsafat bukan hanya pengetahuan, melainkan juga
suatu pandangan yang dapat menembus sampai di balik pengetahuan itu sendiri.
Dengan pandangan yang lebih terbuka ini, hubungan dan pertalian antara semua
unsure yang mengarahkan perhatian dan kedalaman mengenai kebajiakan
dimungkinkan untuk dapat ditemukan. Sistematis, karena filsafat menggunakan berfikir
secara sadar, teliti, dan teratur sesuai dengan hukum-hukum yang ada (Imam
Barnadib, 1994: 11-12). Karena itu, menurut Harun Nasution, filsafat ialah
berfikir menurut tata tertib (logika), bebas (tidak terikat pada tradisi,
dogma, serta agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar
persoalan (Nasution, 1973: 24).
Berfikir
yang seperti ini, menurut Jujun S. Suriasumantri, adalah sebagai karekteristik
dan berfikir filosofis. Ia berpandangan bahwa berfikir filsafat merupakan cara
berfikir radikal, sistematis, menyeluruh, dan mendasar untuk sesuatu
permasalahan yang mendalam. Begitu pun berfikir secara spekulatif, termasuk
dalam rangkaian berfikir filsafat. Maksud berfikir spekulatif di sini adalah
berfikir dengan cara merenung, memikirkan segala sesuatu sedalam-dalamnya,
tanpa keharusan adanya kontak langsung dengan objek sesuatu tersebut. Tujuannya
adalah untuk mengerti hakikat sesuatu (Muhammad Noor Syam, 1986: 25).
Karena
pemikiran-pemikiran yang bersifat filsafat didasarkan atas pemikiran yang
bersifat spekulatif, maka nilai-nilai kebenaran yang dihasilkannya juga tak
terhindarkan dari kebenaran yang spekulatif. Hasilnya akan sangat tergantung
dari pandangan filosof yang bersangkutan. Oleh karena itu, pendapat yang baku
dan diterima oleh semua orang agak sulit diwujudkan. Padahal kebenaran yang
ingin dicapai oleh filsafat ialah kebenaran yang bersifat hakiki, hingga nilai
kebenaran tersebut dapat dijadikan pandangan hidup manusia.[4]
2. Klasifikasi Filsafat
Diseluruh
dunia, banyak orang yang menanyakan pertanyaan yang sama dan membangun tradisi
filsafat, menggapi dan meneruskan banyak karya-karya sesama mereka. Oleh karena
itu, filsafat biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis dan budaya. Pada
dewasa ini, filsafat biasa dibagi menjadi tiga:[5]
1. Filsafat Barat
Filsafat
Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di
universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini
berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno.
Menurut
Takwin (2001) dalam pemikiran barat konvensional pemikiran yang sistematis,
radikal, dan kritis seringkali merujuk pengertian yang ketat dan harus
mengandung kebenaran logis. Misalnya aliran empirisme, positivisme, dan
filsafat analitik memberikan kriteria bahwa pemikiran dianggap filosofis, jika
mengandung kebenaran korespondensi dan koherensi. Korespondensi yakni sebuah
sebuah pengetahuan dinilai benar, jika pernyataan iu sesuai denngan kenyataan
empiris. Contoh: jika pernyataan “Saat ini hujan turun”, (benar, jika indra
kita menangkap hujan turun, dan salah, jika tidak turun). Koherensi berarti
sebuah pernyataan dinilai benar, jika pernyataan itu mengandung koherensi logis
(dapat diuji dengan logika barat).
Dalam
filsafat barat secara sistematis terbagi menjadi tiga bagian besar yakni:
a. Bagian filsafat yang mengkaji tentang
ada (being).
b. Bidang filsafat yang mengkaji pengetahuan
(epistimologi dalam arti luas).
c. Bidang filsafat yang mengakaji
nilai-nilai menentukan apa yang seharusnya dilakukan manusia (aksiologi).
Beberapa
tokoh dalam filsafat barat yaitu: Wittgenstein, Imanuel Kant, dan Rene
Descartes.
Wittgenstein
mempunyai aliran analitik (filsafat analitik) yang dikembangkan di negaranegara
yang berbahasa Inggris, tetapi juga diteruskan di Polandia. Filsafat analitik
menolak setiap bentuk filsafat yang berbau ºmetafisik´. Filsafat analitik
menyerupai ilmu-ilmu alam yang empiris, sehingga kriteria yang berlaku dalam
ilmu eksata juga harus dapat diterapkan pada filsafat. Yang menjadi obyek
penelitian filsafat analitik sebetulnya bukan barang-barang,
peristiwa-peristiwa, melainkan pernyataan, aksioma, prinsip. Filsafat analitik
menggali dasar-dasar teori ilmu yang berlaku bagi setiap ilmu tersendiri. Yang
menjadi pokok perhatian filsafat analitik ialah analisa logika bahasa
sehari-hari, maupun dalam mengembangkan sistem bahasa buatan.
Imanuel
Kant mempunyai aliran atau filsafat ºkritik´ yang tidak mau melewati batas
kemungkinan pemikiran manusiawi. Rasionalisme dan empirisme ingin disintesakannya.
Untuk itu ia membedakan akal, budi, rasio, dan pengalaman inderawi. Pengetahuan
merupakan hasil kerja sama antara pengalaman indrawi yang aposteriori dan
keaktifan akal, faktor priori. Struktur pengetahuan harus kita teliti. Kant
terkenal karena tiga tulisan: (1) Kritik atas rasio murni, apa yang saya dapat
ketahui. Ding an sich, hakikat kenyataan yang dapat diketahui. Manusia hanya
dapat mengetahui gejala-gejala yang kemudian oleh akal terus ditampung oleh dua
wadah pokok, yakni ruang dan waktu. Kemudian diperinci lagi misalnya menurut
kategori sebab dan akibat dst. Seluruh pengetahuan kita berkiblat pada Tuhan,
jiwa, dan dunia.
(2)
Kritik atas rasio praktis, apa yang harus saya buat. Kelakuan manusia
ditentukan oleh kategori imperatif, keharusan mutlak: kau harus begini dan
begitu. Ini mengandaikan tiga postulat: kebebasan, jiwa yang tak dapat mati,
adanya Tuhan. (3) Kritik atas daya pertimbangan. Di sini Kant membicarakan
peranan perasaan dan fantasi, jembatan antara yang umum dan yang khusus.
Rene
Descartes berpendapat bahwa kebenaran terletak pada diri subyek. Mencari titik
pangkal pasti dalam pikiran dan pengetahuan manusia, khusus dalam ilmu alam.
Metode untuk memperoleh kepastian ialah menyangsikan segala sesuatu. Hanya satu
kenyataan tak dapat disangsikan, yakni aku berpikir, jadi aku ada. Dalam
mencari proses kebenaran hendaknya kita pergunakan ide-ide yang jelas dan
tajam. Setiap orang, sejak ia dilahirkan, dilengkapi dengan ide-ide tertentu,
khusus mengenai adanya Tuhan dan dalildalil matematika. Pandangannya tentang
alam bersifat mekanistik dan kuantitatif. Kenyataan dibaginya menjadi dua
yaitu: ³res extensa dan res copgitans´.[6]
2. Filsafat Timur
Filsafat
Timur adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di India,
Tiongkok, dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri
khas filsafat timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal
ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk filsafat barat, terutama di Abad
Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat `an sich` masih lebih menonjol
daripada agama. Nama-nama beberapa filosof: lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi, dan
lain-lain.
Pemikiran
filsafat timur sering dianggap pemikiran yang tidak rasional, tidak sistematis,
dan tidak kritis. Hal ini disebabkan pemikiran timur lebih dianggap agama
dibanding filsafat. Pemikiran timur tidak menampilkan sistematikaseperti dalam
filsafat barat.
3. Filsafat Islam
Filsafat
Islam itu pada dasarnya merupakan medan pemikiran yang terus berkembang dan
berubah. Dalam kaitan ini, diperlukan pendekatan historis terhadap Filsafat
Islam yang tidak hanya menekankan pada studi tokoh, tetapi yang lebih penting
lagi adalah memahami proses dialektik pemikiran yang berkembang melalui
kajian-kajian tematik atas persoalan-persoalan yang terjadi pada setiap zaman.
Oleh karena itu, perlu dirumuskan prinsip-prinsip dasar filsafat Islam, agar
dunia pemikiran Islam terus berkembang sesuai dengan perubahan zaman.
Musa
Asy’ari berpendapat bahwa filsafat Islam dapatlah diartikan sebagai kegiatan
pemikiran yang bercorak Islami. Islam di sini menjadi jiwa yang mewarnai suatu
pemikiran. Filsafat disebut Islami bukan karena yang melakukan aktivitas
kefilsafatan itu orang yang beragama Islam, atau orang yang berkebangsaan Arab
atau dari segi objeknya yang membahas mengenai pokok-pokok.[7]
Filsafat
Islam ini sebenarnya mengambil tempat yang istimewa. Sebab dilihat dari
sejarah, para filosof dari tradisi ini sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan
ahli waris tradisi Filsafat Barat (Yunani).
Terdapat
dua pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam terhadap filsafat dan ilmu
pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat ini. Pendapat pertama mengatakan
bahwa orang Eropa belajar filsafat dari filosof Yunani seperti Aristoteles,
melalui kitab-kitab yang disalin oleh St. Agustine (354±430 M), yang kemudian
diteruskan oleh Anicius Manlius Boethius (480±524 M) dan John Scotus. Pendapat
kedua menyatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat orang-orang Yunani dari
buku-buku filsafat Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh
filosof Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi.
Terhadap
pendapat pertama Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya, karena menurutnya
salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge,Categories, dan Porphyry
telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi mati
terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang oleh
negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius
menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropa, maka John
Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak akan
menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari terjemahan-terjemahan
berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam (Haerudin, 2003).
Majid
Fakhri cenderung mengangap filsafat Islam sebagai mata rantai yang
menghubungkan Yunani dengan Eropa modern. Kecenderungan ini disebut
europosentris yang berpendapat filsafat Islam telah berakhir sejak kematian Ibn
Rusyd. Pendapat ini ditentang oleh Henry Corbin dan Louis Massignon yang
menilai adanya eksistensi filsafat Islam. Menurut Kartanegara (2006) dalam
filsafat Islam ada empat aliran yakni:
Peripatetik
(memutar atau berkeliling) merujuk kebiasaan Aristoteles yang selalu
berjalan-jalan mengelilingi muridnya ketika mengajarkan filsafat. Ciri khas
aliran ini secara metodologis atau epistimologis adalah menggunakan logika
formal yang berdasarkan penalaran akal (silogisme), serta penekanan yang kuat
pada daya-daya rasio. Tokoh-tokohnya yang terkenal yakni: Al Kindi (w. 866), Al
Farabi (w. 950), Ibnu Sina (w. 1037), Ibn Rusyd (w. 1196), dan Nashir al Din
Thusi (w.1274).
Aliran
Iluminasionis (Israqi). Didirikan oleh pemikir Iran, Suhrawardi Al Maqtul (w.
1191). Aliran ini memberikan tempat yang penting bagi metode intuitif (irfani).
Menurutnya dunia ini terdiri dari cahaya dan kegelapan. Baginya Tuhan adalah
cahaya sebagai satu-satunya realitas sejati (nur al anwar), cahaya di atas
cahaya.
Aliran
Irfani (Tasawuf). Tasawuf bertumpu pada pengalaman mistis yang bersifat
supra-rasional. Jika pengenalan rasional bertumpu pada akal maka pengenalan
sufistik bertumpu pada hati. Tokoh yang terkenal adalah Jalaluddin Rumi dan Ibn
Arabi.
Aliran
Hikmah Mutaaliyyah (Teosofi Transeden). Diwakilioleh seorang filosof syiah yakni Muhammad Ibn Ibrahim Yahya Qawami yang dikenal
dengan nama Shadr al Din al Syirazi, Atau yang dikenal dengan Mulla Shadra
yaitu seorang filosof yang berhasil mensintesiskan ketiga aliran di atas.
Dalam
Islam ilmu merupakan hal yang sangat dianjurkan. Dalam Al Quran kata al-ilm dan
katakata jadiannya digunakan lebih 780 kali. Hadis juga menyatakan mencari ilmu
itu wajib bagi setiap muslim. Dalam pandangan Allamah Faydh Kasyani dalam
bukunya Al Wafi: ilmu yang diwajibkan kepada setiap muslim adalah ilmu yang
mengangkat posisi manusia pada hari akhirat, dan mengantarkannya pada
pengetahuan tentang dirinya, penciptanya, para nabinya, utusan Allah, pemimpin
Islam, sifat Tuhan, hari akhirat, dan hal-hal yang mendekatkan diri kepada
Allah.
Dalam
pandangan keilmuan Islam, fenomena alam tidaklah berdiri tanpa relasi dan
relevansinya dengan kuasa ilahi. Mempelajari alam berarti akan mempelajari dan
mengenal dari dekat cara kerja Tuhan. Dengan demikian penelitian alam semesta
(jejak-jejak ilahi) akan mendorong kita untuk mengenal Tuhan dan menambah
keyakinan terhadapnya. Fenomena alam bukanlah realitas-realitas independen
melainkan tanda-tanda Allah SWT. Fenomena alam adalah ayat-ayat yang bersifat
qauniyyah, sedangkan kitab suci ayat-ayat yang besifat qauliyah. Oleh karena
itu ilmu-ilmu agama dan umum menempati posisi yang mulia sebagai obyek ilmu.
DAFTAR
PUSTAKA
Jalaluddin
dan Abdullah Ildi. 2010. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan
Pendidikan. Cetakan III, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Nata,
Abuddin. 2011. Metodologi Studi Islam. Cetakan ke-XVIII, Edisi Revisi. Jakarta:
Rajawali Pers.
Zubaedi,
Dr. , dkk. 2010. Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes hingga
Revolusi Sains ala Thomas Kuhn. Cetakan II, Jogjakarta: Ar-Ruzz Group.
[1] H. Abduddin Nata, Metodologi Studi Islam,
Cetakan ke-XVIII. (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), Ed. Revisi, Hal. 254.
[2] Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat
Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan, Cetakan Ketiga. (Jogjakarta:
Ar-Ruzz, 2010). Hal. 15-17.
[3] Filsafat Ilmu dan Metode Riset (Pdf), Bab. 1,
Hal. 5-8.
[4]
Zubaedi, Filsafat Barat: Dari Logika Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala
Thomas Kuhn, Cetakan II. (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010). Hal. 17.
5.
H.A Mustofa, 2004, Filsafat Islam, hal. 9
9.
Yusuf Qardawi, 1998, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan
Ilmu
Pengetahuan, hal. 88
[1]H.A
Mustofa, 2004, Filsafat Islam, hal. 9
[2]Yusuf
Qardawi, 1998, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan
Ilmu Pengetahuan, hal. 88
[3]H.
Abduddin Nata, Metodologi Studi Islam, Cetakan ke-XVIII. (Jakarta: Rajawali
Pers, 2011), Ed. Revisi, Hal. 254.
[4]Jalaluddin
dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan,
Cetakan Ketiga. (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2010). Hal. 15-17.
[5]Filsafat
Ilmu dan Metode Riset (Pdf), Bab. 1, Hal. 5-8.
[6]Zubaedi,
Filsafat Barat: Dari Logika Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas
Kuhn, Cetakan II. (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010). Hal. 17.
izin copas gan..
AntwoordVee uit