Rasionalisme dan Empirisme
·
Rasionalisme
Secara etimologis menurut Bagus (2002), rasionalisme berasal dari kata
bahasa Inggris rationalims, dan menurut Edwards (1967) kata ini berakar
dari bahasa Latin ratio yang berarti “akal”, Lacey (2000) menambahkan
bahwa berdasarkan akar katanya rasionalisme adalah sebuah pandangan yang
berpegang bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Kaum
Rasionalisme mulai dengan sebuah pernyataan aksioma dasar yang dipakai
membangun sistem pemikirannya diturunkan dari ide yang menurut anggapannya
adalah jelas, tegas, dan pasti dalam pikiran manusia.[1]
Dalam pembahasan tentang suatu teori pengetahuan, maka
Rasionalisme menempati sebuah tempat yang sangat penting. Paham ini dikaitkan
dengan kaum rasionalis abad ke-17 dan ke-18, tokoh-tokohnya ialah Rene
Descartes, Spinoza, leibzniz, dan Wolff, meskipun pada hakikatnya akar
pemikiran mereka dapat ditemukan pada pemikiran para filsuf klasik misalnya
Plato, Aristoteles, dan lainnya. Paham ini beranggapan, ada prinsip-prinsip
dasar dunia tertentu, yang diakui benar oleh rasio manusi. Dari prinsip-prinsip
ini diperoleh pengetahuan deduksi yang ketat tentang dunia. Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam budi manusia
dan tidak dijabarkan dari pengalaman, bahkan pengalaman empiris bergantung pada
prinsip-prinsip ini. Prinsip-prinsip tadi oleh Descartes kemudian dikenal
dengan istilah substansi, yang tak lain adalah ide bawaan yang sudah ada dalam
jiwa sebagai kebenaran yang tidak bisa diragukan lagi. Ada tiga ide bawaan yang
diajarkan Descartes, yaitu:
- Pemikiran; saya
memahami diri saya makhluk yang berpikir, maka harus diterima juga bahwa
pemikiran merupakan hakikat saya.
- Tuhan
merupakan wujud yang sama sekali sempurna; karena
saya mempunyai ide “sempurna”, mesti ada sesuatu penyebab sempurna untuk
ide itu, karena suatu akibat tidak bisa melebihi penyebabnya.
- Keluasaan; saya
mengerti materi sebagai keluasaan atau ekstensi, sebagaimana hal itu
dilukiskan dan dipelajari oleh ahli-ahli ilmu ukur.
Sementara itu menurut logika Leibniz yang dimulai dari
suatu prinsip rasional, yaitu dasar pikiran yang jika diterapkan dengan tepat
akan cukup menentukan struktur realitas yang mendasar. Leibniz mengajarkan
bahwa ilmu alam adalah perwujudan dunia yang matematis. Dunia yang nyata
ini hanya dapat dikenal melaui penerapan dasar-dasar pemikiran. Tanpa itu manusia
tidak dapat melakukan penyelidikan ilmiah. Teori ini berkaitan dengan dasar
pemikiran epistimologis Leibniz, yaitu kebenaran pasti/kebenaran logis dan
kebenaran fakta/kebenaran pengalaman. Atas dasar inilah yang kemudian Leibniz
membedakan dua jenis pengetahuan. Pertama; pengetahuan yang
menaruh perhatian pada kebenaran abadi, yaitu kebenaran logis. Kedua;pengetahuan
yang didasari oleh observasi atau pengamatan, hasilnya disebut dengan
“kebenaran fakta”.
Paham Rasionalisme ini beranggapan bahwa sumber pengetahuan
manusia adalah rasio. Jadi dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan yang
dimiliki oleh manusia harus dimulai dari rasio. Tanpa rasio maka mustahil
manusia itu dapat memperolah ilmu pengetahuan. Rasio itu adalah berpikir.
Maka berpikir inilah yang kemudian membentuk pengetahuan. Dan manusia yang
berpikirlah yang akan memperoleh pengetahuan. Semakin banyak manusia itu
berpikir maka semakin banyak pula pengetahuan yang didapat. Berdasarkan
pengetahuan lah manusia berbuat dan menentukan tindakannya.
Sehingga nantinya ada perbedaan prilaku, perbuatan, dan
tindakan manusia sesuai dengan perbedaan pengetahuan yang didapat tadi. Namun demikian, rasio juga tidak bisa berdiri sendiri. Ia
juga butuh dunia nyata. Sehingga proses pemerolehan pengetahuan ini ialah rasio
yang bersentuhan dengan dunia nyata di dalam berbagai pengalaman empirisnya.
Maka dengan demikian, seperti yang telah disinggung sebelumnya kualitas
pengetahuan manusia ditentukan seberapa banyak rasionya bekerja. Semakin sering
rasio bekerja dan bersentuhan dengan realitas sekitar maka semakin dekat pula
manusia itu kepada kesempunaan.
Prof. Dr. Muhmidayeli, M.Ag menulis dalam bukunya
Filsafat Pendidikan yaitu “Kualitas rasio manusia ini tergantung kepada
penyediaan kondisi yang memungkinkan berkembangnya rasio kearah yang memedai
untuk menelaah berbagai permasalahan kehidupan menuju penyempurnaan dan
kemajuan” Dalam hal ini penulis memahami yang dimaksud penyedian kondisi diatas
ialah menciptakan sebuah lingkungan positif yang memungkinkan manusia
terangsang untuk berpikir dan menelaah berbagai masalah yang nantinya
memungkinkan ia menuju penyempunaan dan kemajuan diri.
Karena pengembangan rasionalitas manusi sangat bergantung
kepada pendyagunaan maksimal unsur ruhaniah individu yang sangat tergantung
kepada proses psikologis yang lebih mendalam sebagai proses mental, maka untuk
mengembangkan sumber daya manuia menurut aliran rasionalisme ialah dengan
pendekatan mental disiplin, yaitu dengan melatih pola dan sistematika berpikir
seseorang melalui tata logika yang tersistematisasi sedemikian rupa sehingga ia
mampu menghubungkan berbagai data dan fakta yang ada dalam keseluruhan realitas
melalui uji tata pikir logis-sistematis menuju pengambilan kesimpulan yang baik
pula.
kesan dan gagasan. Kesan adalah persepsi yang masuk
melalui akal budi, secara langsung, sifatnya kuat dan hidup. Sementara gagasan
adalah persepsi yang berisi gambaran kabur tentang kesan-kesan. Gagasan bisa
diartikan dengan cerminan dari kesan. Contohnya, jika saya melihat sebuah “rumah”,
maka punya kesan tertentu tentang apa yang saya lihat (rumah), jika saya
memikirkan sebuah rumah maka pada saat itu saya sedang memanggil suatu gagasan.
Menurut Hume jika sesorang akan diberi gagasan tentang “apel” maka terlebih
dahulu ia harus punya kesan tentang “apel” atau ia harus terlebih dahulu
mengenal objek “apel”. Jadi menurut Hume jika seandainya manusia itu tidak
memiliki alat untuk menemukan pengalaman itu buta dan tuli misalnya, maka
manusia itu tidak akan dapat memperoleh kesan bahkan gagasan sekalipun. Dalam
artian ia tidak bisa memperoleh ilmu pengetahuan.[2]
Pikiran manusia mempunyai kemampuan untuk
mengetahui ide tersebut, namun manusia tidak menciptakannya, tetapi mempelajari
lewat pengalaman. Ide tersebut kiranya sudah ada “ di sana” sebagai bagian dari
kenyataan dasar dan pikiran manusia. Kaum rasionalis berdalil bahwa karena
pikiran dapat memahami prinsip, maka prinsip itu harus ada, artinya prinsip harus benar dan nyata. Jika prinsip itu
tidak ada, orang tidak
mungkinkan dapat menggambarkannya. Prinsip dianggap sebagai sesuatu yang a
priori, dan karenanya prinsip tidak dikembangkan dari pengalaman, bahkan
sebaliknya pengalaman hanya dapat dimengerti bila ditinjau dari prinsip
tersebut. Dalam perkembangannya Rasionalisme diusung oleh banyak tokoh,
masing-masingnya dengan ajaran-ajaran yang khas, namun tetap dalam satu koridor
yang sama.
Pada abad ke-17 terdapat beberapa tokoh kenamaan rasionalis seperti
Plato sebagai pelopornya yang disebut juga sebagai „rasionalisme‟ atau „platonisme‟ , René Descartes
(1590 – 1650) yang juga dinyatakan sebagai bapak filsafat modern. Semboyannya
yang terkenal adalah “cotigo ergo sum” (saya bepikir, jadi saya ada).
Tokoh-tokoh lainnya adalah J.J. Roseau (1712 – 1778) dan Basedow (1723 – 1790),
Gottfried Wilhelm von Leibniz, Christian Wolff dan Baruch Spinoza. Perkembangan
pengetahuan mulai pesat pada abad ke 18 nama-nama seperti Voltaire, Diderot dan
D‟Alembert adalah para pengusungnya.
·
Empirisisme
Empirisme secara etimologis menurut Bagus (2002) berasal dari kata
bahasa Inggris empiricism dan experience. Kata-kata ini berakar
dari kata bahasa Yunani έμπειρία (empeiria) dan dari kata experietia
yang berarti “berpengalaman dalam”,“berkenalan dengan”, “terampil untuk”.
Sementara menurut Lacey (2000) berdasarkan akar katanya Empirisme adalah aliran
dalam filsafat yang berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau
parsial didasarkan kepada pengalaman yang menggunakan indera.[3]
Selanjutnya secara terminologis terdapat beberapa definisi mengenai empirisme,
di antaranya: doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam
pengalaman, pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan
menggabungkan apa yang dialami, pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber
pengetahuan, dan bukan akal.
Berdasarkan
Honer and Hunt (2003) aliran ini adalah tidak mungkin untuk mencari pengetahuan
mutlak dan mencakup semua segi, apalagi bila di dekat kita terdapat kekuatan
yang dapat dikuasai untuk meningkatkan pengetahuan manusia, yang meskipun
bersifat lebih lambat namun lebih dapat diandalkan.
Kaum empiris cukup puas dengan mengembangkan sebuah sistem pengetahuan
yang mempunyai peluang besar untuk benar, meskipun kepastian mutlak tidak akan
pernah dapat dijamin. Kaum empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan
manusia dapat diperoleh lewat pengalaman. Jika kita sedang berusaha untuk
meyakinkan seorang empiris bahwa sesuatu itu ada, dia akan berkata
“tunjukkan hal itu kepada saya”. Dalam persoalan mengenai fakta maka dia harus
diyakinkan oleh pengalamannya sendiri. Tokoh yang dianggap sebagai benih dari
empisisme adalah Aristoteles, seperti juga pada rasionalisme, maka pada
empirisme pun terdapat banyak tokoh pendukungnya yang tidak kalah populernya.
Tokoh-tokoh dimaksud di antarnya adalah David Hume, John Locke dan Bishop
Berkley.
·
Persamaan
dan perbedaan antara Rasionalisme dan Empirisme
Terdapat dua aspek umum dalam realisme yang digambarkan dengan melihat
pada realisme mengenai dunia keseharian dari obyek makroskopik beserta sifat-sifatnya.
Aspek pertama, yaitu terdapat sebuah klaim tentang dimensi eksistensi suatu
obyek yang nyata (terlihat). Sementara itu, aspek yang kedua dari realisme
tentang dunia keseharian dari obyek makroskopis beserta sifat-sifatnya memiliki
dimensi kebebasan dalam hal kepercayaan yang dianut seseorang, bahasa yang
digunakan, skema konseptual, dan sebagainya (realisme generik).
Sifat
dan penjelasan-penjelasan yang masuk akal dari paham realisme merupakan
issu-issu yang hangat diperdebatkan dalam metafisik kontemporer mengenai
berbagai obyek dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Hume (1999) di dalam aliran empiris terdapat tiga prinsip
pertautan ide. Pertama, prinsip kemiripan yaitu mencari kemiripan antara
apa yang ada di benak kita dengan kenyataan di luar. Kedua, prinsip
kedekatan, misalnya apabila kita memikirkan sebuah rumah, maka berdasarkan
prinsip kedekatan kita juga berpikir tentang adanya jendeka, pintu, atap,
perabot sesuai dengan gambaran rumah yang kita dapatkan lewat pengalaman
inderwi sebelumnya. Ketiga, prinsip sebab- akibat yaitu jika kita
memikirkan luka, kita pasti memikirkan rasa sakit akibatnya. Bagi Hume, ilmu
pengetahuan tidak pernah mampu memberi pengetahuan yang niscaya tentang dunia
ini.
Kebenaran yang bersifat a priori seperti ditemukan dalam
matematika, logika dan geometri memang ada, namun menurut Hume, itu tidak
menambah pengetahuan kita tentang dunia. Pengetahuan kita hanya bisa bertambah
lewat pengamatan empiris atau secara a posteriori. Perbedaan antara
rasionalisme dengan empiris secara umum adalah kalau pada aliran rasionalisme
pengetahuan itu berupa a priori, bersumber dari penalaran dan
pembuktian-pembuktian pada logika dan matematika melalui deduksi, sedangkan
pada aliran empirisisme pengetahuan bersumber pada pengalaman , terutama pada
pengetahuan dalam pembuktian-pembutiannya melalui eksperimentasi, observasi,
dan induksi.
Perbedaan antara Rasionalisme dan
Empirisisme oleh Immanuel Kant diambil jalan tengahnya, yaitu Immanuel Kant
mengajukan sintesis a priori. Menurutnya pengetahuan yang benar bersumber rasio
dan empiris yang sekaligus bersifat a priori dan a posteriori.
Sebagai gambaran, kita melihat suatu benda dikarenakan mata kita melihat ke
arah benda tersebut (rasionalisme) dan benda tersebut memantulkan sinar ke mata
kita (empirisme).
Menurut Edward (1967) secara terminologi rasionalisme dipandang sebagai
aliran yang menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan,
mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengalaman inderawi.
Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat semua
pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dipakai untuk mempertegas pengetahuan yang
diperoleh akal. Akal tidak memerlukan pengalaman. Akal dapat menurunkan
kebenaran dari diri sendiri, yaitu atas dasar asas-asas petama yang pasti.[4]
Menurut Kattsoff (2004) rasionalisme tidak mengingkari nilai pengalaman,
melainkan hanya dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Karenanya
aliran ini yakin bahwa kebenaran dan kesehatan terletak pada ide, dan bukannya
di dalam barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide yang
sesuai dengan atau dengan yang menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya
dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal saja. Persamaan
antara rasionalisme dan empirisme adalah rasio dan indra manusia sama-sama
berperan dalam pembentukan pengetahuan.
terima kasih, sangat bermanfaat...
AntwoordVee uitTerimakasih, sangat bermanfaat kak
AntwoordVee uitTERIMAKASIH SANGAT MEMBANTU DAN BERMANFAAT
AntwoordVee uit