Antonio Gramsci
Antonio Gramsci lahir di Ales,
sebuah kota kecil di Sardinia daerah miskin Italia, pada tanggal 21 Januari
1891. Ia memasuki perguruan tinggi setelah memenangkan beasiswa di Universitas
Turin pada tahun 1911. [1]Itulah
tahun-tahun di mana ia banyak membaca dan belajar tentang pemikiran Benedetto
Croce, tokoh filsuf idealis paling berpengaruh terhadap pemikiran Marxisme di
Italia yang kelak banyak mempengaruhi Gramsci sejak menjadi mahasiswa, minat
Gramsci dalam bidang politik dan aktivitas gerakan sosial berkembang terutama
gerakan kaum buruh, serta mendorongnya bergabung dengan partai sosialis Italia.
Salah satu gagasan sentral Gramsci
adalah tentang hegemoni dan perang posisi, melalui konsep ini Gramsci telah
membalikkan pandangan tradisional Marxisme bahwa revolusi proletar akan datang
secara niscaya, sebagaimana siang menggantikan malam. Revolusi sosialis
berkebalikkan dengan Marxisme. Revolusi sosialis baru bisa diperoleh melalui
tekad dan upaya panjang sedemikian rupa sehingga kelas-kelas bawah meraih
kepemipinan kultural, intelektual, dan ideologis dalam kehidupan masyarakat.
Gramsci menuliskan pemikirannya
dengan bertitik tolak pada kritiknya terhadap pandangan Marxisme ortodoks, terutama
kerangka teoritis Nikolai Bukharin dalam sebuah buku berjudul The Theory of Historical Materialisme, yang
dimaksudkannya sebagai sebuah karya textbook
tentang Marxisme-Leninisme untuk para kader partai komunis yang lebih
tinggi. Buku tersebut berisi ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme sebagai pandangan
dunia proletariat, sekaligus upaya Bukharin guna menyatukan sosiologi
kontemporer untuk menunjukkan bahwa materialisme historis adalah sosiologis
tentang proletariat dengan kadar kepastian ilmiah.
Gramsci menolak pandangan tersebut
dan menganggap materialisme sejarah Soviet ortodoks itu telah mereduksi metode
dialetik kritis terhadap masyarakat menjadi seperangkat prinsip partai yang
bersifat dogmatis dengan mengorbankan pembebasan diri proletariat. Tambahan
lagi, Gramsci juga keberatan dengan maksud buku itu yang diperuntukkan bagi
komunitas pembaca elite yang disebutnya”bukan intelektual profesional” sehingga
menciptakan kekeliruan besar karena telah mengabaikan “filsafat massa rakyat”
atau filsafat yang lahir dari akal sehat rakyat sendiri. Dengan kata lain,
pandangan Bukharin tersebut adalah sebuah sistem filsafat(materialisme
historis) yang asing serta tidak dikenal oleh massa rakyat dan hendak
dipaksakan begitu saja dari luar kesadaran diri proletar. Bagi Gramsci,
kesadaran politik proletariat harus dibangun melalui kepercayaan-kepercayaan
dan akal sehat mereka sebagaimana terungkap dalam cerita-cerita serta agama
rakyat, dan bukan semata-mata di impose dari
luar (elite). sebab, yang belakangan ini merupakan cerminan dari kekuatan
kultural kohesif atau hegemoni yang
dijalankan oleh kelas-kelas yang berkuasa.
Kehidupan Gramsci sebagai aktivis
telah membentuk kepribadiannya dan minatnya untuk menekuni bidang media massa,
kebudayaan, serta kritik ideologi menjadi semakin kokoh. Bahkan, ia
mengembangkan pemikiran dan konsepsi ideologi, serta menentang ideologi dominan
yang dikembangkan oleh Negara. Pada tahun 1922, ia harus hijrah ke Rusia untuk
memperjuangkan penerapan watak demokratis paham sosialisme. Namun, pada tahun
1924, ia kembali ke Italia dan melakukan berbagai usaha untuk menciptakan
perubahan serta upaya transformasi terhadap partai komunis.[2]
Ia akhirnya berhasil mengembangkan partai komunis menjadi partai yang berakar
pada gerakan massa.
Pada tahun 1928, Gramsci dijatuhi
hukuman 20 tahun penjara oleh pemerintah fasis, Mussolini. Pemenjaraan Gramsci
oleh Mussolini sebenarnya dimaksudkan untuk membungkam Gramsci. Akan tetapi,
justru di dalam penjara itulah Gramsci menuliskan pemikiran-pemikiran
briliannya, mulai pemikiran tentang peran intelektual, hegemoni, Negara, hingga
civil society (masyarakat sipil). Semua
pemikirannya dituliskan dalam catatan hariannya di bawah ketatnya pengawasan
Negara dan dalam suasana pesakitan yang luar biasa. Akhirnya, ia berhasil
menulis sebanyak 34 buku catatan harian yang kelak diterbitkan dalam bentuk
buku yang terkenal dengan The Prison
Notebooks.
Ternyata, Gramsci tidak
menyelesaikan masa hukumannya secara penuh selama 20 tahun. Sebab, pada 27
April 1937 ia meninggal dunia di dalam kamar penjaranya di Turin. Untunglah
catatan-catatan hariannya berhasil diselundupkan Tatiana dan dikirimkan ke
Moskow melalui saluran diplomatik. Dari catatan harian itulah akhirnya
diketahui secara luas pikiran-pikiran revolusioner Gramsci.
Gramsci hidup pada masa kehancuran
revolusi sosial di Eropa Barat (1918-1923) dan menyaksikan organisaasi buruh
serta gerakan sosialis dihancurkan oleh fasisme pada 1922-1937. Ia menyaksikan
betapa kuatnya komitmen sebagian besar masyarakat untuk menegakkan Negara
modern, kendati tengah menghadapi krisis ketika mereka kehilangan harapan di
dalamnya. Anehnya, mereka merasa memperoleh solusi dalam fasisme dan bukan
dalam rezim sosialisme.
Dari fenomena tersebut, Gramsci
tertarik untuk melihat bagaimana sesungguhnya kekuasaan itu harus ditegakkan.
Melalui catatan hariannya yang ia tulis di dalam penjara The Prison Notebooks, ia mempertanyakan mengapa dan bagaimana
Negara modern menikmati konsensus, serta mengapa dan bagaimana kaum sosialis
menjamin konsensus itu dijadikan dasar bagi tumbuhnya konsensus baru di
tengah-tengah nilai sosialis.
Bertolak dari latar belakang
historis semacam itu Gramsci merasa menemukan masalah, namun tidak memperoleh
jawaban dalam analisis Marx. Meski tidak sepenuhnya meninggalkan tradisi
Marxian, karena ia masih percaya masyarakat kapitalisme selalu melahirkan
kontradiksi di dalamnya, ia kemudian mencari jawabannya sendiri dengan
mendasarkan kepada karya-karya Labriola, Sorel, serta Crocel, dan berhasil
mempersembahkan teori politik tentang bagaimana kekuasaan bekerja di dalam
Negara modern. Ia melakukan analisis, antara laindengan memberikan kritik
terhadap kegagalan prediksi Marx. Bukti kegagalan revolusi sosialisme karena
tidak terjadi revolusi kaum buruh telah mematahkan argumentasi Marx yang
dinilainya deterministik, fatalistik, dan mekanistik.
Gramsci mengakui ada keteraturan sejarah,
tetapi sejarah itu tidak berjalan secara otomatis dan bukan tak terelakkan.
Perkembangan sejarah terjadi karena tumbuh kesadaran massa terhadap situasi dan
sistem yang dihadapi. Oleh kerena itu, massa harus bergerak untuk melakukan
revolusi dan hal ini dapat terjadi jika massa memiliki kesadaran terhadap
realitas atau sistem yang dihadapi. Tekanan structural, terutama ekonomi diakui
memang ada, namun ia bukan penyebab bagi massa bangkit untuk membangun
revolusi. Dalam hal ini yang dibutuhkan adalah revolusi ideologi. Tetapi,
revolusi ideologi ini tidak akan muncul dari massa melainkan harus didorong
oleh kelas intelektual yang sadar. Sebab, di mata Gramsci massa pada dasarnya
tidak memiliki self-consciousness. Meski
demikian, begitu memperoleh dorongan dari ide para elite massa diyakini Gramsci
akan memungutnya dan menjadikannya sebagai dasar melakukan gerakan revolusi.
Dari ranah makro (subjektif),
Gramsci mempersoalkan ide kolektif dan bukan struktur sosial. Di sini, Gramsci
memperlihatkan kecenderungannya kepada perspektif Hegelian ketimbang Marx
sendiri. Dalam hal ini, ia mengungkapkan kata kunci hegemoni, yaitu sebuah sistem pemerintahan suatu Negara yang
didasarkan pada pembentukan atau pembinaan konsensus melalui kepemimpinan
budaya. Praktik hegemoni dilakukan secara terus-menerus terhadap kekuatan
oposisi agar mau memilih sikap konformistik, sehingga menimbulkan disiplin diri
untuk menyesuaikan dengan normal-normal yang diputuskan oleh Negara dengan
keyakinan bahwa apa yang telah diputuskan Negara tersebut merupakan cara
terbaik untuk bertahan (survive) dan
meraih kesejahteraan. Dalam hal ini, Gramsci hendak memperlihatkan peran kaum
intelektual yang bekerja atas nama kapitalisme dengan menempuh kepemimpinan
budaya dengan persetujuan massa. Jika ingin revolusi berhasil kepemimpinan
budaya harus hadir. Sebab, menurutnya revolusi tidak cukup dilakukan dengan
cara menguasai ekonomi dan aparatur Negara tidak seperti pandangan Marx.
Pemikiran penting Gramsci adalah
tentang hegemoni. Konsep hegemoni dikembangkan Gramsci atas dasar
dekonstruksinya terhadap konsep-konsep Marxis ortodoks (konsep yang menerima
doktrin Marx sebagai kebenaran mutlak). Gramsci sebagaimana teoretikus
kontemporer, seperti Terry Eagleton, Fredrick Jameson, dan Mikhail Bakhtin menganggap
Marx tak lebih hanya sebagai sumber inspirasi untuk melakukan dekonstruksi.
Titik awal konsep Gramsci tentang
hegemoni adalah suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap
kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasif. Gramsci
menggunakan centaur mitologi Yunani
setengah binatang dan setengah manusia sebagai simbol dari “perspektif ganda”
suatu tindakan politik, yakni kekuatan dan konsensus, otoritas dan hegemoni,
serta kekerasan dan kesopanan. Dari sinilah Gramsci melihat bahwa hegemoni
bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan
persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni
adalah suatu organisasi konsensus. Dalam Prison Notebooks, Gramsci menggunakan kata direzione ( kepemimpinan atau
pengarahan) secara bergantian dengan egemonia
(hegemoni) dan berlawanan dengan dominazione
(dominasi).[3]
Konsep Gramsci tentang hegemoni
berkaitan erat dengan konsep Lenin. Menurut Lenin, hegemoni merupakan strategi
untuk revolusi suatu strategi yang harus dijalankan oleh kelas pekerja dan
anggota-anggotanya guna memperoleh dukungan dari mayoritas. Gramsci menambahkan
dimensi baru pada masalah ini dengan memperluas pengertiannya, sehingga
hegemoni juga mencakup peran kelas kapitalis beserta anggotanya, baik dalam
merebut kekuasaan Negara maupun mempertahankan kekuasaan yang sudah diperoleh.
Gramsci membedakan dominasi (kekerasan) dengan kepemimpinan moral dan
intelektual. Berbeda dengan Lenin yang melihat hegemoni dalam pengertian aliansi
antarkelas atau kelompok kelas, Gramsci menambahkan dimensi baru yang amat
penting dengan mengajukan konsep kerakyatan. Menurut Gramsci, suatu kelas tidak
dapat meraih kepemimpinan nasional dan menjadi hegemonik, jika kelas itu hanya
membatasi pada kepentingan mereka sendiri. Sebaliknya, mereka harus
memperhatikan tuntutan dan perjuangan rakyat yang tidak memiliki karakter kelas
yang bersifat murni. Jadi, hegemoni memilki dimensi nasional kerakyatan di
samping dimensi kelas. Hegemoni memerlukan penyatuan berbagai kekuatan sosial
yang berbeda ke dalam sebuah aliansi yang luas, yang mengungkapkan kehendak
kolektif semua rakyat, sehingga masing-masing kekuatan ini dapat mempertahankan
otonominya sendiri dan memberikan sumbangan dalam gerak menuju sosialisme.
Strategi semacam inilah yang disebut Gramsci sebagai peran posisi.
[1] Majid Fakhry, A History of Muslim Philosophy, Terj.
Mulyadi Kartenegar, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), hlm. 397
[2] Muhammad Saghir Hasan
Al-Ma’sumi, “Ibnu Bajjah”, dalam M.M.Syarif.hlm. 507. (Selanjutnya disebut
Muhammad Saghir, Ibnu Bajjah).
[3] Muhammad Saghir, Ibnu
Bajjah, op.cit., hlm. 511.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking