Metafisika
1. Pengertian
Metafisika
Metafisika (Bahasa Yunani: meta
(meta) = “setelah atau dibalik”, jusika
(phusika) = "hal-hal di alam". Metafisika merupakan cabang filsafat
yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia.
Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Dimana metafisika
mempersoalkan realitas dan dunia dengan segala struktur dan dimensinya. Apa
yang sungguh-sungguh ‘ada’ yang paling utama? Apakah itu ‘kehidupan’? apakah
itu ‘dunia fisik’?[1] Apakah
keseluruhan kenyataan itu tunggal atau majemuk? Apakah kenyataan itu satu ragam
ataukah bermacam ragam? Penggunaan istilah “metafisika” telah berkembang untuk
merujuk pada “hal-hal yang diluar dunia fisik”. Sebagai contoh, toko buku
metafisika, bukanlah menjual buku mengenai ontology, melainkan lebih kepada
buku-buku mengenai ilmu gaib, pengobatan alternatif dan hal-hal sejenisnya.[2]
Menurut
para pemikir metafisis seperti Plato dan Aristoteles memberikan asumsi dasar
bahwa dunia atau realitas adalah yang dapat dipahami (intelligible) yang mana
setiap aliran metafisika mengklaim bahwa akal budi memiliki kapasitas memadai
untuk memahami dunia. Seolah – olah akal budi memiliki kualitas “Ampuh” untuk
menyibak semua realitas mendasar dari segala yang ada.[3]
Sedangkan
menurut Hamlyn, metafisika adalah bagian kajian filsafat yang paling abstrak
dan dalam pandangan sementara orang merupakan bagian yang paling “tinggi”
karena berurusan dengan realitas yang paling utama, berurusan dengan “apa yang
sungguh-sungguh ada” yang membedakan sekaligus menentukan bahwa sesuatu itu
mungkin ataukah tidak.
Sekalipun
demikian, subjek yang pasti dari kajian metafisika secara terus menerus
dipertanyakan, demikian juga validitas klaim-klaimnya dan kegunaannya.[4]
Dengan
demikian, metafisika adalah bagian kajian filsafat tentang sifat dan fungsi
teori tentang realita.
2. Tafsiran
Metafisika
Manusia
memberikan pendapat mengenai tafsiran metafisika. Tafsiran yang pertama yang
dikemukakan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat hal-hal gaib
(supranatural) dan hal-hal tersebut bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa
dibandingkan dengan alam yang nyata. Pemikiran seperti ini disebut pemikiran supernaturalisme.
Dari sini lahir tafsiran-tafsiran cabang misalnya animisme.
Selain
faham diatas, ada juga paham yang disebut paham naturalisme. Paham ini sangat
bertentangan dengan paham supernaturalisme. Paham naturalisme menganggap bahwa
gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat gaib, melainkan
karena kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan
diketahui.[5]
Penganut
faham naturalisme percaya bahwa setiap gejala, gerak bisa dijelaskan menurut
hukum kausalitas (hukum sebab-akibat) atau hukum stimulus-respon. Contoh: bola
bilyard tidak akan bergerak kecuali karena ada bola yang menabraknya atau
disodok oleh tongkat bilyard.
B.
Metafisika dalam Ilmu Pengetahuan (ontology dan epistemology)
Menurut
bahasa, Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu On/Ontos = ada, dan Logos =
Ilmu. Jadi, Ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Sedangkan menurut Istilah,
Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, akan ultimate
reality baik yang berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstract.[6] Sedangkan menurut Jujun S.
Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu Dalam Persepektif mengatakan,
ontology membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu,
atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”.[7]
Epistemologi derivasinya
dari bahasa Yunani yang berarti teori ilmu pengetahuan. Epistemologi merupakan
gabungan dua kalimat episteme, pengetahuan; dan logos,
theory. Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat yang menengarai masalah-masalah
filosofikal yang mengitari teori ilmu pengetahuan[8].
Epistemologi bertalian
dengan definisi dan konsep-konsep ilmu, ragam ilmu yang bersifat nisbi dan
niscaya, dan relasi eksak antara ‘alim (subjek) danma’lum (objek).
Atau dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti
asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan
menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat.
Dengan pengertian ini
epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan
“kebenaran” macam apa yang dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak.
Bila Kumpulan pengetahuan yang benar/episteme/diklasifikasi, disusun sitematis
dengan metode yang benar dapat menjadi epistemologi. Aspek epistemologi adalah
kebenaran fakta / kenyataan dari sudut pandang mengapa dan bagaimana fakta itu
benar yang dapat diverifikasi atau dibuktikan kembali kebenarannya.
Metafisika
ternyata mendapat pertentangan dari beberapa ilmuan, antara
lain adalah yang menganut paham positivisme. Paham positivisme logis menyatakan bahwa metafisika tidak bermakna. Wittgenstein, 1921; Carnap, 1936/37; Ayer, 1946 dalam Ebook of General Philosopgy of Science menyatakan bahwa the statement of science is veryfiable and thus meaningful, those of metaphysic and all other kind of bad philosophy were not; they were just nonsense.[9]
lain adalah yang menganut paham positivisme. Paham positivisme logis menyatakan bahwa metafisika tidak bermakna. Wittgenstein, 1921; Carnap, 1936/37; Ayer, 1946 dalam Ebook of General Philosopgy of Science menyatakan bahwa the statement of science is veryfiable and thus meaningful, those of metaphysic and all other kind of bad philosophy were not; they were just nonsense.[9]
Berikut
adalah pendapat para ilmuwan tentang Metafisika. Alfred, J. Ayer
menyatakan bahwa sebagian besar perbincangan yang dilakukan oleh para filosof
sejak dahulu sesungguhnya tidak dapat dipertanggung jawabkan dan juga tidak ada
gunanya, problem yang diajukan dalam bidang metafisika adalah problem semu,
artinya permasalahan yang tidak memungkinkan untuk dijawab, berkaitan dengan
pendapat Ayer tersebut.
Dan
Katsoff menyatakan bahwa sepertinya Ayer berupaya untuk menunjukan bahwa
naturalism, materialism, dan lainnya merupakan pandangan yang sesat. Adapun
Penentang lain adalah Luwig Winttgenstien yang menyatakan bahwa metafisika
bersifat the mystically, hal-hal yang tak dapat diungkapkan ke dalam bahasa
yang bersifat logis.
Wittgenstien
menyatakan terdapat tiga persoalaan dalam metafisika, yaitu:
1).
Subjek bukan merupakan dunia atau bagian dari dunia, melainkan lebih dapat
dikatakan sebagai batas dari dunia.
2). Kematian,
kematian bukanlah sebuah peristiwa dalam kehidupan, manusia tidak hidup untuk
mengalami pengalaman kematian.
3). Tuhan,
Ia tidak menampakkan diri-Nya di dunia.
Dengan
demikian Wittgenstein menyimpulkan, bahwa sesuatu yang tidak dapat diungkapkan
secara logis sebaiknya didiamkan saja. Namun pada kenyataanya
banyak ilmuan besar, terutama Albert Einstein yang merasakan perlunya membuat
formula konsepsi metafisika sebagai konsekuensi dari penemuan ilmiahnya.
Manfaat
metafisika bagi pengembangan ilmu dikatakan oleh Thomas S. Kuhn yakni ketika
kumpulan kepercayaan belum lengkap faktanya, maka ia mesti dipasok dari luar,
antara lain adalah ilmu pengetahuan lain, peristiwa sejarah, pengalaman
personal, dan metafisika, misalnya adalah upaya-upaya untuk memecahkan masalah
yang tak dapat dipecahkan oleh paradigm keilmuan yang lama dan selama ini
dianggap mampu memecahkan masalah dan membutuhkan paradigm baru, pemecahan
masalah baru, hal ini hanya dapat dipenuhi dari hasil perenungan metafisik yang
dalam banyak hal memang bersifat spekulatif dan intuitif, hingga dengan
kedalaman kontemplasi serta imajinasi akan dapat membuka
kemungkinan-kemungkinan atau peluang-peluang konsepsi teoritis, asumsi,
postulat, tesis dan paradigm baru untuk memecahkan masalah yang ada.
Sumbangan metafisika terhadap ilmu
pengetahuan tidak dapat disangkal lagi adalah pada fundamental ontologisnya. Sumbangan
metafisika pada ilmu pengetahuan adalah persinggunggan antara metafisika dan
ontology dengan epistimologi.
Dalam
metafisika yang mempertanyakan apakah hakikat terdalam dari kenyataan yang
diantaranya dijawab bahwa hakikat terdalam dari kenyataan adalah materi, maka
munculah paham materialism, sedangkan dalam epistimologi yang dimulai dari
pertanyaan bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan? Descartes telah
menjelaskan bahwa kita memperoleh pengetahuan melalui akal dan dari pemikiran
tersebut maka munculah rasionalisme. Sedangkan John Locke telah menjawab
pertanyaan tersebut bahwa pengetahuan diperoleh dari pengalaman, maka ia telah melahirkan
aliran empirisme.[10] Sedangkan berbagai
perdebatan lainnya dalam metafisika mengenai realitas, ada tidak dan lainnya
sebagaimana telah dikemukan di dalam telah melahirkan berbagai pandangan
berbeda satu sama lain secara otomatis juga melahirkan berbagai aliran
pemahaman yang lazim dinyatakan sebagai aliran-aliran filsafat awal, ketika
pemahaman-pemahaman aliran-aliran filsafat tersebut dipertemukan dengan ranah
epistimologi atau dihadapkan pada fenomena dinamika perkembangan illmu
pengetahuan.
Metafisika
menuntut orisinalitas berpikir yang biasanya muncul melalui kontemplasi atau
intuisi berupa kilatan-kilatan mendadak akan sesuatu, hingga menjadikan para
metafisikus menyodorkan cara berpikir yang cenderung subjektif dan menciptakan
terminology filsafat yang khas. Situasi semacam ini dinyatakan oleh Van Peursen
sangat diperlukan untuk pengembangan ilmu dalam rangka menerapkan heuristika.
Berkaitan
dengan pembentukan minat intelektual, maka metafisika mengajarkan mengenai cara
berpikir yang serius dan mendalam tentang hakikat-hakikat segala sesuatu yang
bersifat enigmatik, hingga pada akhirnya melahirkan sikap ingin tahu yang
tinggi sebagaimana mestinya dimiliki oleh para intelektual. Metafisika
mengajarkan pada peminat filsafat untuk mencari prinsip pertama sebagai
kebenaran yang paling akhir.
C. Manfaat
Metafisika bagi Pengembangan Ilmu (aksiologi)
Aksiologi (teori tentang
nilai) sebagai filsafat yang membahas apa kegunaan ilmu pengetahuan bagi
manusia.[11]
Aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan?
Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi
metode ilmiah dengan norma-norma moral?
Dengan demikian
Aksiologi adalah nilai-nilai (value) sebagai tolok ukur kebenaran
(ilmiah), etik, dan moral sebagai dasar normative dalam penelitian dan
penggalian, serta penerapan ilmu.
Pembahasan
yang mendalam tentang keberadaan metafisika dalam ilmu pengetahuan memberikan
banyak wawasan bagaimana metafisika merupakan hal substantive dalam menelaah
lebih jauh konsep keilmuan dalam menunjang kejayaan manusia dalam berfikir dan
menganalisis. Sehingga manfaat yang mutlak terhadap pengembangan ilmu
dipaparkan Kuhn bahwa kontribusi metafisika terletak pada awal terbentuknya
paradigm ilmiah, ketika kumpulan kepercayaan belum lengkap pengumpulan
faktanya, maka ia harus dipasok dari luar, antara lain: metafisika, sains yang
lain, kejadian personal dan historis serta metafisika mengajarkan sikap
open-ended, sehingga hasil sebuah ilmu selalu terbuka untuk temuan dan
kreativitas baru.[12]
Selanjutnya
Kennick juga mengungkapkan bahwa metafisika mengajarkan cara berfikir yang serius,
terutama dalam menjawab problem yang bersifat enigmatif (teka-teki), sehingga
melahirkan sikap dan rasa ingin tahu yang mendalam. Perdebatan dalam
metafisika melahirkan berbagai aliran, mainstream seperti : Monisme, Dualisme,
Pluralisme, sehingga memicu proses ramifikasi, berupa lahirnya percabangan
ilmu.
Sementara
Van Peursen mengatakan bahwa metafisika menuntut orisinalitas berfikir, karena
setiap metafisikus menyodorkan cara berfikir yang cenderung subjektif dan
menciptakan terminology filsafat yang khas. Situasi semacam ini diperlukan
untuk pengembangan ilmu dalam rangka menerapkan heuristika.[13] Metafisika
mengajarkan pada peminat filsafat untuk mencari prinsip pertama (First
Principle) sebagai kebenaran yang paling akhir. Serta hal yang paling booming dalam
dunia filsafat adalah bagaimana Descartes mengungkapkan bahwa Kepastian ilmiah
dalam metode skepticnya hanya dapat diperoleh jika kita menggunakan metode
deduksi yang bertitik tolak dari premis yang paling kuat (Cogito ergo sum)
Skeptis-Metodis Rene Descartes.
Disamping
itu Bakker mengemukakan bahwasanya metafisika mengandung potensi untuk menjalin
komunikasi antara pengada yang satu dengan pengada yang lain. Aplikasi dalam
ilmu berupa komunikasi antar ilmuwan mutlak dibutuhkan, tidak hanya antar ilmuwan
sejenis, tetepi juga antar disiplin ilmu, sehingga memperkaya pemahaman atas
realitas keilmuwan.
KESIMPULAN
Konsep
keilmuan semestinya mengalami proses panjang dalam menemukan suatu esensi yang
bernilai untuk dikaji dan apa semestinya yang menjadi kajian penting dalam
suatu disiplin ilmu. Dalam hal ini memberikan kesimpulan bahwa:
Pertama Metafisika
merupakan cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek
(fisik) di dunia yang didasarkan pada faham Supranaturalisme, naturalisme,
dualistik serta paham-paham yang dilahirkannya.
Kedua,
Metafisika dalam Ilmu Pengetahuan mencari kebenaran yang paling akhir untuk
mendapatkan pengetahuan/fundamental ontologisnya dan Epistimoliginya sebagai
cara yang digunakan mendapatkan pengetahuannya.
Ketiga, Manfaat
Metafisika, aksiology, dalam Ilmu untuk menelaah lebih jauh konsep keilmuan
yang selalu terbuka untuk temuan dan kreativitas baru dalam menunjang kejayaan
manusia dalam berfikir dan menganalisis.
[1]
Hunnex, MD. Chronological and Thematic Charts
of Philosophies and Philosopher (Michigan: Academie Books, 1986) hlm.15.
[2]
Anton Baker, Ontologi, Metafisika Umum :
Filsafat Pengada dan Dasar-Dasar Kenyataan (Yogyakarta: Kanisius,
1992) hlm.25-26.
[7]
Jujun S. Suriasumantri, Tentang Hakikat, dalam
Ilmu dalam Persepektif dalam Amsal Bahtiar, Filsafat
IIlmu, Edisin Revisi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2011)
hlm.133.
[13] Ibid
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking