Maandag 17 Junie 2013

Socrates ( tokoh filsafat )

  • Socrates

Socrates diperkirakan lahir di Athena pada tahun 470 SM. dari ayah yang berprofesi sebagai seorang pemahat patung dari batu (stone mason) bernama Sophroniskos. Ibunya bernama Phainarete berprofesi sebagai seorang bidan, dari sinilah Socrates menamakan metodenya berfilsafat dengan metode kebidanan nantinya.Socrates beristri seorang perempuan bernama Xantippe dan dikaruniai tiga orang anak.
Secara historis, filsafat Socrates mengandung pertanyaan karena Socrates sediri tidak pernah diketahui menuliskan buah pikirannya.Apa yang dikenal sebagai pemikiran Socrates pada dasarnya adalah berasal dari catatan oleh plato Xenophone (430-357) SM, dan siswa-siswa lainnya. Yang paling terkenal diantaranya adalah penggambaran Socrates dalam dialog-dialog yang ditulis oleh Plato. Dalam karya-karyanya, Plato selalu menggunakan nama gurunya sebagai tokoh utama sehingga sangat sulit memisahkan gagasan Socrates yang sesungguhnya dengan gagasan Plato yang disampaikan melalui mulut Sorates. Nama Plato sendiri hanya muncul tiga kali dalam karya-karyanya sendiri yaitu dua kali dalam Apologi dan sekali dalam Phaedrus.[1]
Socrates dikenal sebagai seorang yang tidak tampan, berpakaian sederhana, tanpa alas kaki dan berkelilingi mendatangi masyarakatAthena berdiskusi soal filsafat.Dia melakukan ini pada awalnya didasari satu motif religius untuk membenarkan suara gaib yang didengar seorang kawannya dari Oracle Delphi yang mengatakan bahwa tidak ada orang yang lebih bijak dari Socrates.Merasa diri tidak bijak dia berkeliling membuktikan kekeliruan suara tersebut, dia datangi satu demi satu orang-orang yang dianggap bijak olehmasyarakat pada saat itu dan dia ajak diskusi tentang berbagai masalah kebijaksanaan.Metode berfilsafatnya inilah yang dia sebut sebagai metode kebidanan.
Dia memakai analogi seorang bidan yang membantu kelahiran seorang bayi dengan caranya berfilsafat yang membantu lahirnya pengetahuan melalui diskusi panjang dan mendalam.Dia selalu mengejar definisi absolut tentang satu masalah kepada orang-orang yang dianggapnya bijak tersebut meskipun kerap kali orang yang diberi pertanyaan gagal melahirkan definisi tersebut.Pada akhirnya Socrates membenarkan suara gaib tersebut berdasar satu pengertian bahwa dirinya adalah yang paling bijak karena dirinya tahu bahwa dia tidak bijaksana sedangkan mereka yang merasa bijak pada dasarnya adalah tidak bijak karena mereka tidak tahu kalau mereka tidak bijaksana.
Cara berfilsatnya inilah yang memunculkan rasa sakit hati terhadap Sokrates karena setelah penyelidikan itu maka akan tampak bahwa mereka yang dianggap bijak oleh masyarakat ternyata tidak mengetahui apa yang sesungguhnya mereka duga mereka ketahui. Rasa sakit hati inilah yang nantinya akan berujung pada kematian Sokrates melalui peradilan dengan tuduhan resmi merusak generasi muda, sebuah tuduhan yang sebenarnya dengan gampang dipatahkan melalui pembelaannya sebagaimana tertulis dalam Apologi karya Plato. Socrates pada akhirnya wafat pada usia tujuh puluh tahun dengan cara meminum racun sebagaimana keputusan yang diterimanya dari pengadilan dengan hasil voting 280 mendukung hukuman mati dan 220 menolaknya.
Socrates sebenarnya dapat lari dari penjara, sebagaimana ditulis dalam Krito, dengan bantuan para sahabatnya namun dia menolak atas dasar kepatuhannya pada satu "kontrak" yang telah dia jalani dengan hukum di kota Athena. Keberaniannya dalam menghadapi maut digambarkan dengan indah dalam Phaedo karya Plato.Kematian Socrates dalam ketidakadilan peradilan menjadi salah satu peristiwa peradilan paling bersejarah dalam masyarakat Barat di samping peradilan Yesus Kristus.
Ia membandingkan dirinya sesuai dengan pekerjaan orang tuanya itu, yaitu “memberi bentuk pada fikiran orang” serta mengusahakan “lahirnya gagasan-gagasan baru”.Hampir setiap pembicaraan biografis tentang Sokrates dimulai dengan melukiskannya sebagai orang yang jelek penampilannya.Rupa dan parasnya tidak selaras dengan ukuran orang-orang Yunani; berbibir tebal, berkepala botak, berhidung lebar dan sedikit gemuk.Ia seolah-olah hantu yang setiap hari berkeliaran di kota Athena, menelusuri jalan-jalan, pasar-pasar dan alun alun, dimana ia bisa menemui manusia dan diajak bercakap-cakap. Ketika ia ditanya tentang dirinya yang jarang ke luar kota, ia menjawab, “padang rumput dan pohon kayu tidak memberiku palajaran apapun, kecuali manusia”. Ia mengenal manusia dengan caranya yang terkenal yaitu bertanya-tanya tentang segala sesuatu sampai ke akar-akarnya. Sekedar menguji sejauh mana pengetahuan mereka yang diajak bertanya jawab itu.[2]
Pemuda-pemuda pada masa ini dipimpin oleh doktrin relativisme dari kaum “sofis”(perlu dibedakan dengan kaum Sufi yang ada dalam tradisi Tasawuf muslim). Sedangkan Sokrates adalah seorang penganut moral absolut dan meyakini bahwa menegakkan moral adalah tugas seorang filosof, berdasarkan idea-idea rasional dan keahlian dalam pengetahuan.
Hidup Sokrates dan para kaum sofis sulit dipisahkan.menurut Cicero ada persamaan pendapat antara keduanya. Sokrates memindahan filsafat dari langit ke bumi, artinya sasaran yang diselidiki bukan lagi jagat raya, melainkan manusia.Begitu pula kaum sofis.Itulah sebabnya (mungkin) Aristhopanes menyebutnya seorang sofis.Sekalipun demikian, ada perbedaan yang mendasar antara Sokrates dan kaum sofis.Sokrates adalah reaksi dan suatu kritik terhadap pemikiran kaum sofis itu sendiri.
Sofisme sebenarnya bakanlah suatu mazhab, melainkan suatu aliran, suatu gerakan dalam bidang intelektual.Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor pada masa itu.Dibawah pemerintahan Perikles (429 SM.)Athena berkembang dengan pesat, filsafat mengalami kemajuan.Pada waktu itulah para guru mulai berkeliling, juga di Athena.mereka mengajarkan matematika, astronomi dan bahasa. Dalam suasana yang demokratis bahasa adalah alat politik.
Sebutan “sofis” mengalami perkembangan tersendiri. Sebelum abad ke-5 istilah itu berarti: sarjana atau cendikiawan. Seperti Thales (625-545 SM.), Anaximandros (610-540), Phytagoras (580-500) dan lain-lain. Pada awal abad ke-4 sebutan tersebut diganti dengan “filosofos”, filsuf, dan sofis diartikan: guru yang berkeliling untuk mengajar dari kota ke kota. Pada akhirnya sebutan ini tidak harum lagi, karena seorang sofis adalah “orang yang menipu orang lain dengan memakai alasan-alasan yang tidak sah”, dan mereka pun meminta uang bagi ajaran mereka.
Sokrates sempat menyaksikan keruntuhan Athena oleh kekalahan orang-orang oligarki dan orang-orang demokratis.Kekuasaan demokratis hancur dan digantikan oleh kesombongan dan tirani.Tahun 403 SM. demokrasi untuk terakhir kali dicoba untuk dibangun. Tetapi itu bukanlah pemerintahan yang bijaksana, dibawah sposor merekalah pada tahun 399 SM. Sokrates dihukum mati dengan meminum racun atas tuduhan: merusak pemuda dan menolak Tuhan-tuhan Negara.[3]

Pandangan-pandangan Sokrates
1. Tentang kebenaran
Pada waktu itu guru-guru sofis mengajarkan bahwa “kebenaran yang sebenar-benarnya tidak ada”, maka “setiap pendapat bisa dibenarkan dengan retorika”.tergantung kepada manusia itu sendiri. Sedangkan menurut Sokrates ada kebenaran objektif yang tidak bergantung kepada saya atau kita, untuk membuktikannya Sokrates menggunakan metode-metode tertentu yang praktis dan dijalankan melalui percakapan.Menurut Xenophon, ia bertanya tentang salah-tidak salah, benar-tidak benar, adil-tidak adil, berani dan pengecut, dan lain-lain.Sokrates selalu menganggap jawaban pertama sebagai hipotesis dan menarik konsekwensi-konsekwensi yang disimpulkan dari jawaban selanjutnya.
 Jika ternyata hipotesis yang pertama tidak dapat dipertahankan, karena menghasilkan kosekwensi yang mustahil, maka hipotesis tersebut diganti dengan hipottesis yang lain. Seringkali perdebatan ini berakhir dengan kebingungan (aporia), tapi tak jarang ia menghasilkan defenisi yang berguna. Tujuan utamanya adalah untuk meruntuhkan kesombongan guru-guru sofis yang telah mendangkalkan pengetahuan dan melemahkan tanggungjawab.Lalu Socrates akan mengunci pembicaraan dengan kata-kata,”Demikianlah adanya, kita berdua sama-sama tidak tahu.
Metode yang digunakan oleh Sokrates biasa disebut dialektika, dari kata kerja Yunani dialegesthai, yang artinya bercakap-cakap atau berdialog. Sebutan yang lain adalah mientika atau seni kebidanan, karena dengan cara ini Sokrates bertingkah seperti seorang bidan yang menolong kelahiran bagi “pengertian yang sejati”.Didalam traaktatnya tentang metafisika, Aristoteles memberikan catatan mengenai metode Sokrates ini. Ada dua penemuan yang menyangkut Sokrates, keduanya berkenaan dengan dasar pengetahuan, yang pertama ia menemukan induksi, yang kedua ia menemukan defenisi.


2. Tentang rasa dan jiwa
Suatu ketika Sokrates ditanya orang,”apa yang selalu menyebabkannya bersemangat dan jarang sedih. Sokrates menjawab, “Karena saya tidak mencari hal-hal yang kalau hilang akan membuat saya sedih”. jadi menurut Sokrates jiwa manusia bukanlah nafasnya semata-mata, tapi jauh lebih dalam (yaitu perasaan), Karena jiwa adalah intisari manusia, sehingga manusia wajib mengutamakan kebahagiaan jiwanya (eudaimonia= memilih daimon atau jiwa yang baik).
Bila diperhatikan isi “Apologia (Pidato Pembelaan Sokrates yang Diabadikan Plato)”, Tampak jelas bahwa Sokrates sebenarnya tidak hanya mengandalkan pendapatnya pada akal (reason) tetapi juga pada kekuatan hati (lihat Fuad Hassan, 1973:52-53)
“Sekarang tuan-tuan ikutilah aku menguji ketidaktetapan orang ini; dan kau Miletus, jawablah.Apakah ada orang yang percaya hal-hal manusiawi tanpa percaya pada manusia?Adakah orang yang percaya pada kemahiran memacu kuda tanpa percaya adanya kuda?Atau permainan seruling tanpa adanya seruling?Tidak, sahabatku.Ku berikkan jawaban ini bagimu dan bagi sidang pengadilan ini.Dapatkah orang percaya pada lembaga-lembaga kerohanian dan kesucian tanpa percaya pada adanya roh-roh kudus?Tidak mungkin.Aku percaya pada hal-hal kerohanian, mutlak pula bagiku percaya adanya roh-roh atau dewa-dewa.Kalau roh-roh itu adalah putra Tuhan maka aku harus percaya pula adanya Tuhan”.[4]
3. Tentang Etika
Budi adalah tahu kata Sokrates, inilah intisari etikanya.Orang berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik, orang yang mengetahui hukum tentu mentaatinya.Oleh karena budi berdasarkan pengetahuan, maka budi dapat dipelajari.Dari ucapan tersebut terlihat bahwa ajaran etika Sokrates bersifat intelektual dan rasional.
Dari pandangan etik yang rasionil tersebut Sokrates sampai kepada sikap hidup yang penuh dengan rasa keagamaan.Menurut keyakinannya, menderita kezaliman itu lebih baik daripada berbuat zalim.Sikap itu diperlihatkannya dengan kata dan perbuatan.Dan dalam pembelaanya di muka Hakim Terlihat Sokrates orang yang percaya dengan adanya Tuhan. Menurut kata teman-temannya: Sokrates demikian adilnya sehingga ia tak pernah berlaku zalim. Ia begitu pandai menguasai dirinya sehingga ia tak pernah memuaskan hawa nafsu dengan merugikan kepentingan umum. Ia demikian cerdiknya sehingga tak pernah khilaf dalam menimbang baik dan buruk. Pada akhir hayatnya (setelah meminum racun) ia meninggalkan pesan yang penghabisan,”Crito aku berhutang seekor ayam kepada Aesculaap, jangan lupa mebayarnya kembali_.
“Inilah penghabisan hidup kawan kami, yang benar-benar dapat kusebut sorang yang paling bijaksana, paling adil dan terbaik diantara orang yang kukenal sampai sekarang”.Demikian lukisan Plato tentang guru dan kawannya pada hari akhir penghabisannya.
Ajaran filosofinya tak pernah dituliskannya, melainkan dilakukannya dengan perbuatan, dengan cara hidup. Socrates tidak pernah menuliskan filosofinya. Jika ditilik benar-benar, ia malah tidak mengajarkan filosofi, melainkan hidup berfilosofi. Bagi dia filosofi bukan isi, bukan hasil, bukan ajaran yang berdasarkan dogma, melainkan fungsi yang hidup.Filosofinya mencari kebenaran. Oleh karena ia mencari kebenaran, ia tidak mengajarkan. Ia bukan ahli pengetahuan, melainkan pemikir. kebenaran itu tetap dan harus dicari.[5]
Tujuan filosofi Socrates ialah mencari kebenaran yang berlaku untuk selama-lamanya. Di sini berlainan pendapatnya dengan guru-guru sofis, yang mengajarkan, bahwa semuanya relatif dan subyektif dan harus dihadapi dengan pendirian yang skeptis.Socrates berpendapat, bahwa dalam mencari kebenaran itu ia tidak memikir sendiri, melainkan setiap kali berdua dengan orang lain, dengan jalan tanya jawab. Orang yang kedua itu tidak dipandangnya sebagai lawannya, melainkan sebagai kawan yang diajak bersama-sama mencari kebenaran.Kebenaran harus lahir dari jiwa kawan bercakap itu sendiri.Ia tidak mengajarkan, melainkan menolong mengeluarkan apa yang tersimpan di dalam jiwa orang.
Sebab itu metodenya disebut maieutik. Socrates mencari kebenaran yang tetap dengan tanya-jawab sana dan sini, yang kemudian dibulatkan dengan pengertian, maka jalan yang ditempuhnya ialah metode induksi dan definisi. Kedua-duanya itu bersangkut-paut.Induksi yang menjadi metode Socrates ialah memperbandingkan secara kritis.Ia tidak berusaha mencapai dengan contoh dan persamaan, dan diuji pula dengan saksi dan lawan saksi.
Ironi sokrates adalah suatu teknik diskusi yang dilakukan oleh filsuf sokrates yaitu dengan cara berpura-pura bodoh. Dengan berpura-pura bodoh dan tidak tahu mengenai apa yang dibicarakan bicaranya sokrates bisa menghilangkan sifat waspda dari lawan bicara dan kemudian mengiringinya. Jika lawan bicara sudah digiring dia dengan mudah disudutkan dan dipaksa untuk mengakui bahwa pengetahuannya mengenai hal itu masih kurang.
Dengan berpura-pura tidak tahu lawan bicara menjadi kurang waspada dan lebih terbuka. Memang cara ini bisa dianggap licik. Namun demikian cara ini nampaknya sangat berhasil dalam dialog-dialog sokrates. Sokrates bertanya mengenai bidang-bidang yang katanya dikuasai lawan bicara. Tak lama kemudian sokrates bisa menyudutkan dan menunjukkan kontradiksi dipemikiran lawan.
Cara sokrates ini bisa dibilang kurang ajar tapi juga bisa dibilang rendah hati. Cara ini bisa digunakan untuk berdialog dengan orang yang amat sangat kolot. Dalam perdebatan bisa jadi orang semacam ini hanya akan mengarahkan diskusi pada debat kusir. Apalagi karena sebelumnya sudah berada pada mode defensif.[6]
Sebaliknya dengan teknik sokrates ini maka dia akan lebih terbuka. Ini karena anggapan bahwa lawan bicara merasa lebih tahu darinya. Dia bisa dengan mudah dan lebih tenang mengungkapkan pemikiran-pemikirannya. Ketika dilabrak secara langsung tembok pemikirannya itu begitu kuat tentu saja akan mempertahankan diri. Pemikiran semacam itu semakin sulit ditembus.
Walaupun cara ini kelihatannya licik, di sisi lain membuat seseorang tidak terlalu arogan dalam menjelaskan sesuatu. Orang yang mencoba menjelaskan kadang terlihat sok tahu dan arogan sehingga masukan dari orang semacam itu susah diterima. Apalagi sekaligus mengajar untuk berfikir tentang masalah-masalah yang rumit. Dan lagi sokrates lebih suka membimbing pemikiran dari pada mengajarkan sesuatu. Dia berusaha mengeluarkan pengetahuan yang benar dari lawan bicaranya. Teknik ini cocok sekali dengan sokrates yang prinsipnya adalah yang dia tahu bahwa dirinya tidak tahu. Sayangnya bisa jadi teknik ini membuat orang kesal.

Para filsuf yang dapat digolongkan dalam masa sokrates, mereka adalah :
1.      Protagoras (480-411 SM)
2.      Gorgias (480-380 SM)
3.      Plato (427-347 SM)
4.      Aristoteles (384-322 SM)
Para filsuf yang disebutkan diatas adalah mereka yang terkait mau pun dikaitkan dengan pemikiran sokrates. Protagoras dan gorgias adalah dua orang sofis yang dikenal dalam sejarah filsafat yunani kuno. Kaum sofis menjadi sasaran kritik oleh sokrates karena ajarannya yang tidak memberikan pengetahuan yang mendalam tentang kehidupan, melainkan hanya luarnya saja. Secara lebih spesifik, filsafat sokrates yang membuat perdebatan dengan pra-sokrates adalah penyelidikan filsafat tentang manusia. Dengan demikian, lepaslah penyelidikan arkhe yang muatannya berkisar tentang jagad raya.[7]




[1]Wahyu murtiningsih, para filsuf dari plato sampai ibnu bajjah. IRCiSoD. Jogjakarta , hal 45-46
[2]Imron. S.Ag. M.A, filsafat umum,noer fikri offset,Palembang, hal  61-62
[3]Atang abdul hakim.Filsafat umum dari metologi sampai teofilosofi. Hal 56-57
[4][4]Wahyu murtiningsih, para filsuf dari plato sampai ibnu bajjah. IRCiSoD. Jogjakarta , hal 46-47

[5][5]Wahyu murtiningsih, para filsuf dari plato sampai ibnu bajjah. IRCiSoD. Jogjakarta , hal 47-48

[6][6]Wahyu murtiningsih, para filsuf dari plato sampai ibnu bajjah. IRCiSoD. Jogjakarta , hal 48-49

[7][7]Imron. S.Ag. M.A, filsafat umum,noer fikri offset,Palembang, hal  62-63

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking