- Socrates
Socrates diperkirakan
lahir di Athena pada tahun 470 SM. dari ayah yang berprofesi sebagai seorang pemahat patung
dari batu (stone mason) bernama Sophroniskos. Ibunya bernama Phainarete
berprofesi sebagai seorang bidan, dari sinilah Socrates menamakan metodenya
berfilsafat dengan metode kebidanan nantinya.Socrates beristri seorang
perempuan bernama Xantippe dan dikaruniai tiga orang anak.
Secara historis,
filsafat Socrates mengandung pertanyaan karena Socrates sediri tidak pernah
diketahui menuliskan buah pikirannya.Apa yang dikenal sebagai pemikiran
Socrates pada dasarnya adalah berasal dari catatan oleh plato Xenophone (430-357) SM, dan siswa-siswa lainnya. Yang paling terkenal
diantaranya adalah penggambaran Socrates dalam dialog-dialog yang ditulis oleh
Plato. Dalam karya-karyanya, Plato selalu menggunakan nama gurunya sebagai
tokoh utama sehingga sangat sulit memisahkan gagasan Socrates yang sesungguhnya
dengan gagasan Plato yang disampaikan melalui mulut Sorates. Nama Plato sendiri
hanya muncul tiga kali dalam karya-karyanya sendiri yaitu dua kali dalam Apologi dan sekali dalam Phaedrus.[1]
Socrates dikenal
sebagai seorang yang tidak tampan, berpakaian sederhana, tanpa alas kaki dan
berkelilingi mendatangi masyarakatAthena berdiskusi soal filsafat.Dia melakukan ini pada awalnya didasari satu motif religius untuk membenarkan suara gaib yang didengar seorang kawannya
dari Oracle Delphi yang mengatakan bahwa tidak ada orang yang lebih bijak dari
Socrates.Merasa diri tidak bijak dia berkeliling membuktikan kekeliruan suara
tersebut, dia datangi satu demi satu orang-orang yang dianggap bijak olehmasyarakat pada saat itu dan dia ajak diskusi tentang berbagai masalah
kebijaksanaan.Metode berfilsafatnya inilah yang dia sebut sebagai metode
kebidanan.
Dia memakai
analogi seorang bidan yang membantu kelahiran seorang bayi dengan caranya
berfilsafat yang membantu lahirnya pengetahuan melalui diskusi panjang dan
mendalam.Dia selalu mengejar definisi absolut tentang satu masalah kepada
orang-orang yang dianggapnya bijak tersebut meskipun kerap kali orang yang
diberi pertanyaan gagal melahirkan definisi tersebut.Pada akhirnya Socrates
membenarkan suara gaib tersebut berdasar satu pengertian bahwa dirinya adalah
yang paling bijak karena dirinya tahu bahwa dia tidak bijaksana sedangkan
mereka yang merasa bijak pada dasarnya adalah tidak bijak karena mereka tidak
tahu kalau mereka tidak bijaksana.
Cara berfilsatnya
inilah yang memunculkan rasa sakit hati terhadap Sokrates karena setelah
penyelidikan itu maka akan tampak bahwa mereka yang dianggap bijak oleh
masyarakat ternyata tidak mengetahui apa yang sesungguhnya mereka duga mereka
ketahui. Rasa sakit hati inilah yang nantinya akan berujung pada kematian
Sokrates melalui peradilan dengan tuduhan resmi merusak generasi muda, sebuah tuduhan
yang sebenarnya dengan gampang dipatahkan melalui pembelaannya sebagaimana
tertulis dalam Apologi karya Plato. Socrates pada akhirnya wafat pada usia
tujuh puluh tahun dengan cara meminum racun sebagaimana keputusan yang diterimanya dari pengadilan
dengan hasil voting 280 mendukung hukuman mati dan 220 menolaknya.
Socrates sebenarnya dapat lari dari penjara, sebagaimana ditulis dalam Krito, dengan bantuan para
sahabatnya namun dia menolak atas dasar kepatuhannya pada satu
"kontrak" yang telah dia jalani dengan hukum di kota Athena.
Keberaniannya dalam menghadapi maut digambarkan dengan indah dalam Phaedo karya
Plato.Kematian Socrates dalam ketidakadilan peradilan menjadi salah satu
peristiwa peradilan paling bersejarah dalam masyarakat Barat di samping peradilan Yesus Kristus.
Ia membandingkan
dirinya sesuai dengan pekerjaan orang tuanya itu, yaitu “memberi bentuk pada
fikiran orang” serta mengusahakan “lahirnya gagasan-gagasan baru”.Hampir setiap
pembicaraan biografis tentang Sokrates dimulai dengan melukiskannya sebagai
orang yang jelek penampilannya.Rupa dan parasnya tidak selaras dengan ukuran
orang-orang Yunani; berbibir tebal, berkepala botak, berhidung lebar dan sedikit
gemuk.Ia seolah-olah hantu yang setiap hari berkeliaran di kota Athena,
menelusuri jalan-jalan, pasar-pasar dan alun alun, dimana ia bisa menemui
manusia dan diajak bercakap-cakap. Ketika ia ditanya tentang dirinya yang
jarang ke luar kota, ia menjawab, “padang rumput dan pohon kayu tidak memberiku
palajaran apapun, kecuali manusia”. Ia mengenal manusia dengan caranya yang
terkenal yaitu bertanya-tanya tentang segala sesuatu sampai ke akar-akarnya.
Sekedar menguji sejauh mana pengetahuan mereka yang diajak bertanya jawab itu.[2]
Pemuda-pemuda pada masa ini dipimpin
oleh doktrin relativisme dari kaum “sofis”(perlu dibedakan dengan kaum Sufi
yang ada dalam tradisi Tasawuf muslim). Sedangkan Sokrates adalah seorang
penganut moral absolut dan meyakini bahwa menegakkan moral adalah tugas seorang
filosof, berdasarkan idea-idea rasional dan keahlian dalam pengetahuan.
Hidup Sokrates dan
para kaum sofis sulit dipisahkan.menurut Cicero ada persamaan pendapat antara
keduanya. Sokrates memindahan filsafat dari langit ke bumi, artinya sasaran
yang diselidiki bukan lagi jagat raya, melainkan manusia.Begitu pula kaum
sofis.Itulah sebabnya (mungkin) Aristhopanes menyebutnya seorang
sofis.Sekalipun demikian, ada perbedaan yang mendasar antara Sokrates dan kaum
sofis.Sokrates adalah reaksi dan suatu kritik terhadap pemikiran kaum sofis itu
sendiri.
Sofisme sebenarnya
bakanlah suatu mazhab, melainkan suatu aliran, suatu gerakan dalam bidang
intelektual.Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor pada masa itu.Dibawah
pemerintahan Perikles (429 SM.)Athena berkembang dengan pesat, filsafat
mengalami kemajuan.Pada waktu itulah para guru mulai berkeliling, juga di
Athena.mereka mengajarkan matematika, astronomi dan bahasa. Dalam suasana yang
demokratis bahasa adalah alat politik.
Sebutan “sofis”
mengalami perkembangan tersendiri. Sebelum abad ke-5 istilah itu berarti:
sarjana atau cendikiawan. Seperti Thales (625-545 SM.), Anaximandros (610-540),
Phytagoras (580-500) dan lain-lain. Pada awal abad ke-4 sebutan tersebut
diganti dengan “filosofos”, filsuf, dan sofis diartikan: guru yang berkeliling
untuk mengajar dari kota ke kota. Pada akhirnya sebutan ini tidak harum lagi,
karena seorang sofis adalah “orang yang menipu orang lain dengan memakai
alasan-alasan yang tidak sah”, dan mereka pun meminta uang bagi ajaran mereka.
Sokrates sempat
menyaksikan keruntuhan Athena oleh kekalahan orang-orang oligarki dan
orang-orang demokratis.Kekuasaan demokratis hancur dan digantikan oleh
kesombongan dan tirani.Tahun 403 SM. demokrasi untuk terakhir kali dicoba untuk
dibangun. Tetapi itu bukanlah pemerintahan yang bijaksana, dibawah sposor
merekalah pada tahun 399 SM. Sokrates dihukum mati dengan meminum racun atas
tuduhan: merusak pemuda dan menolak Tuhan-tuhan Negara.[3]
Pandangan-pandangan Sokrates
1. Tentang kebenaran
Pada waktu itu
guru-guru sofis mengajarkan bahwa “kebenaran yang sebenar-benarnya tidak ada”,
maka “setiap pendapat bisa dibenarkan dengan retorika”.tergantung kepada
manusia itu sendiri. Sedangkan menurut Sokrates ada kebenaran objektif yang
tidak bergantung kepada saya atau kita, untuk membuktikannya Sokrates
menggunakan metode-metode tertentu yang praktis dan dijalankan melalui
percakapan.Menurut Xenophon, ia bertanya tentang salah-tidak salah, benar-tidak
benar, adil-tidak adil, berani dan pengecut, dan lain-lain.Sokrates selalu
menganggap jawaban pertama sebagai hipotesis dan menarik
konsekwensi-konsekwensi yang disimpulkan dari jawaban selanjutnya.
Jika ternyata hipotesis yang pertama tidak
dapat dipertahankan, karena menghasilkan kosekwensi yang mustahil, maka
hipotesis tersebut diganti dengan hipottesis yang lain. Seringkali perdebatan
ini berakhir dengan kebingungan (aporia), tapi tak jarang ia menghasilkan
defenisi yang berguna. Tujuan utamanya adalah untuk meruntuhkan kesombongan
guru-guru sofis yang telah mendangkalkan pengetahuan dan melemahkan
tanggungjawab.Lalu Socrates akan mengunci pembicaraan dengan
kata-kata,”Demikianlah adanya, kita berdua sama-sama tidak tahu.
Metode yang
digunakan oleh Sokrates biasa disebut dialektika, dari kata kerja Yunani
dialegesthai, yang artinya bercakap-cakap atau berdialog. Sebutan yang lain
adalah mientika atau seni kebidanan, karena dengan cara ini Sokrates bertingkah
seperti seorang bidan yang menolong kelahiran bagi “pengertian yang sejati”.Didalam
traaktatnya tentang metafisika, Aristoteles memberikan catatan mengenai metode
Sokrates ini. Ada dua penemuan yang menyangkut Sokrates, keduanya berkenaan
dengan dasar pengetahuan, yang pertama ia menemukan induksi, yang kedua ia
menemukan defenisi.
2. Tentang rasa dan jiwa
Suatu ketika
Sokrates ditanya orang,”apa yang selalu menyebabkannya bersemangat dan jarang
sedih. Sokrates menjawab, “Karena saya tidak mencari hal-hal yang kalau hilang
akan membuat saya sedih”. jadi menurut Sokrates jiwa manusia bukanlah nafasnya
semata-mata, tapi jauh lebih dalam (yaitu perasaan), Karena jiwa adalah
intisari manusia, sehingga manusia wajib mengutamakan kebahagiaan jiwanya
(eudaimonia= memilih daimon atau jiwa yang baik).
Bila diperhatikan
isi “Apologia (Pidato Pembelaan Sokrates yang Diabadikan Plato)”, Tampak jelas
bahwa Sokrates sebenarnya tidak hanya mengandalkan pendapatnya pada akal
(reason) tetapi juga pada kekuatan hati (lihat Fuad Hassan, 1973:52-53)
“Sekarang tuan-tuan
ikutilah aku menguji ketidaktetapan orang ini; dan kau Miletus, jawablah.Apakah
ada orang yang percaya hal-hal manusiawi tanpa percaya pada manusia?Adakah
orang yang percaya pada kemahiran memacu kuda tanpa percaya adanya kuda?Atau
permainan seruling tanpa adanya seruling?Tidak, sahabatku.Ku berikkan jawaban
ini bagimu dan bagi sidang pengadilan ini.Dapatkah orang percaya pada
lembaga-lembaga kerohanian dan kesucian tanpa percaya pada adanya roh-roh
kudus?Tidak mungkin.Aku percaya pada hal-hal kerohanian, mutlak pula bagiku
percaya adanya roh-roh atau dewa-dewa.Kalau roh-roh itu adalah putra Tuhan maka
aku harus percaya pula adanya Tuhan”.[4]
3. Tentang Etika
Budi adalah tahu
kata Sokrates, inilah intisari etikanya.Orang berpengetahuan dengan sendirinya
berbudi baik, orang yang mengetahui hukum tentu mentaatinya.Oleh karena budi
berdasarkan pengetahuan, maka budi dapat dipelajari.Dari ucapan tersebut
terlihat bahwa ajaran etika Sokrates bersifat intelektual dan rasional.
Dari pandangan etik
yang rasionil tersebut Sokrates sampai kepada sikap hidup yang penuh dengan
rasa keagamaan.Menurut keyakinannya, menderita kezaliman itu lebih baik
daripada berbuat zalim.Sikap itu diperlihatkannya dengan kata dan perbuatan.Dan
dalam pembelaanya di muka Hakim Terlihat Sokrates orang yang percaya dengan adanya
Tuhan. Menurut kata teman-temannya: Sokrates demikian adilnya sehingga ia tak
pernah berlaku zalim. Ia begitu pandai menguasai dirinya sehingga ia tak pernah
memuaskan hawa nafsu dengan merugikan kepentingan umum. Ia demikian cerdiknya
sehingga tak pernah khilaf dalam menimbang baik dan buruk. Pada akhir hayatnya
(setelah meminum racun) ia meninggalkan pesan yang penghabisan,”Crito aku
berhutang seekor ayam kepada Aesculaap, jangan lupa mebayarnya kembali_.
“Inilah penghabisan
hidup kawan kami, yang benar-benar dapat kusebut sorang yang paling bijaksana,
paling adil dan terbaik diantara orang yang kukenal sampai sekarang”.Demikian
lukisan Plato tentang guru dan kawannya pada hari akhir penghabisannya.
Ajaran
filosofinya tak pernah dituliskannya, melainkan dilakukannya dengan perbuatan,
dengan cara hidup. Socrates tidak pernah menuliskan filosofinya. Jika ditilik
benar-benar, ia malah tidak mengajarkan filosofi, melainkan hidup berfilosofi.
Bagi dia filosofi bukan isi, bukan hasil, bukan ajaran yang berdasarkan dogma,
melainkan fungsi yang hidup.Filosofinya mencari kebenaran. Oleh karena ia
mencari kebenaran, ia tidak mengajarkan. Ia bukan ahli pengetahuan, melainkan
pemikir. kebenaran itu tetap dan harus dicari.[5]
Tujuan
filosofi Socrates ialah mencari kebenaran yang berlaku untuk selama-lamanya. Di
sini berlainan pendapatnya dengan guru-guru sofis, yang mengajarkan, bahwa
semuanya relatif dan subyektif dan harus dihadapi dengan pendirian yang skeptis.Socrates
berpendapat, bahwa dalam mencari kebenaran itu ia tidak memikir sendiri,
melainkan setiap kali berdua dengan orang lain, dengan jalan tanya jawab. Orang
yang kedua itu tidak dipandangnya sebagai lawannya, melainkan sebagai kawan
yang diajak bersama-sama mencari kebenaran.Kebenaran harus lahir dari jiwa
kawan bercakap itu sendiri.Ia tidak mengajarkan, melainkan menolong
mengeluarkan apa yang tersimpan di dalam jiwa orang.
Sebab
itu metodenya disebut maieutik. Socrates mencari kebenaran yang
tetap dengan tanya-jawab sana dan sini, yang kemudian dibulatkan dengan
pengertian, maka jalan yang ditempuhnya ialah metode induksi dan definisi.
Kedua-duanya itu bersangkut-paut.Induksi yang menjadi metode Socrates ialah
memperbandingkan secara kritis.Ia tidak berusaha mencapai dengan contoh dan
persamaan, dan diuji pula dengan saksi dan lawan saksi.
Ironi
sokrates adalah suatu teknik diskusi yang dilakukan oleh filsuf sokrates yaitu
dengan cara berpura-pura bodoh. Dengan berpura-pura bodoh dan tidak tahu
mengenai apa yang dibicarakan bicaranya sokrates bisa menghilangkan sifat
waspda dari lawan bicara dan kemudian mengiringinya. Jika lawan bicara sudah
digiring dia dengan mudah disudutkan dan dipaksa untuk mengakui bahwa
pengetahuannya mengenai hal itu masih kurang.
Dengan
berpura-pura tidak tahu lawan bicara menjadi kurang waspada dan lebih terbuka.
Memang cara ini bisa dianggap licik. Namun demikian cara ini nampaknya sangat
berhasil dalam dialog-dialog sokrates. Sokrates bertanya mengenai bidang-bidang
yang katanya dikuasai lawan bicara. Tak lama kemudian sokrates bisa menyudutkan
dan menunjukkan kontradiksi dipemikiran lawan.
Cara
sokrates ini bisa dibilang kurang ajar tapi juga bisa dibilang rendah hati.
Cara ini bisa digunakan untuk berdialog dengan orang yang amat sangat kolot.
Dalam perdebatan bisa jadi orang semacam ini hanya akan mengarahkan diskusi
pada debat kusir. Apalagi karena sebelumnya sudah berada pada mode defensif.[6]
Sebaliknya
dengan teknik sokrates ini maka dia akan lebih terbuka. Ini karena anggapan
bahwa lawan bicara merasa lebih tahu darinya. Dia bisa dengan mudah dan lebih
tenang mengungkapkan pemikiran-pemikirannya. Ketika dilabrak secara langsung
tembok pemikirannya itu begitu kuat tentu saja akan mempertahankan diri.
Pemikiran semacam itu semakin sulit ditembus.
Walaupun
cara ini kelihatannya licik, di sisi lain membuat seseorang tidak terlalu
arogan dalam menjelaskan sesuatu. Orang yang mencoba menjelaskan kadang
terlihat sok tahu dan arogan sehingga masukan dari orang semacam itu susah
diterima. Apalagi sekaligus mengajar untuk berfikir tentang masalah-masalah
yang rumit. Dan lagi sokrates lebih suka membimbing pemikiran dari pada
mengajarkan sesuatu. Dia berusaha mengeluarkan pengetahuan yang benar dari
lawan bicaranya. Teknik ini cocok sekali dengan sokrates yang prinsipnya adalah
yang dia tahu bahwa dirinya tidak tahu. Sayangnya bisa jadi teknik ini membuat
orang kesal.
Para
filsuf yang dapat digolongkan dalam masa sokrates, mereka adalah :
1. Protagoras (480-411 SM)
2. Gorgias (480-380 SM)
3. Plato (427-347 SM)
4. Aristoteles (384-322 SM)
Para filsuf yang disebutkan diatas
adalah mereka yang terkait mau pun dikaitkan dengan pemikiran sokrates.
Protagoras dan gorgias adalah dua orang sofis yang dikenal dalam sejarah
filsafat yunani kuno. Kaum sofis menjadi sasaran kritik oleh sokrates karena
ajarannya yang tidak memberikan pengetahuan yang mendalam tentang kehidupan,
melainkan hanya luarnya saja. Secara lebih spesifik, filsafat sokrates yang
membuat perdebatan dengan pra-sokrates adalah penyelidikan filsafat tentang
manusia. Dengan demikian, lepaslah penyelidikan arkhe yang muatannya berkisar tentang jagad raya.[7]
[1]Wahyu murtiningsih, para filsuf dari
plato sampai ibnu bajjah. IRCiSoD. Jogjakarta , hal 45-46
[2]Imron. S.Ag. M.A, filsafat umum,noer fikri
offset,Palembang, hal 61-62
[3]Atang
abdul hakim.Filsafat umum dari metologi
sampai teofilosofi. Hal 56-57
[4][4]Wahyu murtiningsih, para filsuf dari
plato sampai ibnu bajjah. IRCiSoD. Jogjakarta , hal 46-47
[5][5]Wahyu murtiningsih, para filsuf dari
plato sampai ibnu bajjah. IRCiSoD. Jogjakarta , hal 47-48
[6][6]Wahyu murtiningsih, para filsuf dari
plato sampai ibnu bajjah. IRCiSoD. Jogjakarta , hal 48-49
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking