Maandag 17 Junie 2013

Rasionalisme dan Empirisme


Rasionalisme dan Empirisme

·         Rasionalisme

Secara etimologis menurut Bagus (2002), rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalims, dan menurut Edwards (1967) kata ini berakar dari bahasa Latin ratio yang berarti “akal”, Lacey (2000) menambahkan bahwa berdasarkan akar katanya rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegang bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Kaum Rasionalisme mulai dengan sebuah pernyataan aksioma dasar yang dipakai membangun sistem pemikirannya diturunkan dari ide yang menurut anggapannya adalah jelas, tegas, dan pasti dalam pikiran manusia.[1]
Dalam pembahasan tentang suatu teori pengetahuan, maka Rasionalisme menempati sebuah tempat yang sangat penting. Paham ini dikaitkan dengan kaum rasionalis abad ke-17 dan ke-18, tokoh-tokohnya ialah Rene Descartes, Spinoza, leibzniz, dan Wolff, meskipun pada hakikatnya akar pemikiran mereka dapat ditemukan pada pemikiran para filsuf klasik misalnya Plato, Aristoteles, dan lainnya. Paham ini beranggapan, ada prinsip-prinsip dasar dunia tertentu, yang diakui benar oleh rasio manusi. Dari prinsip-prinsip ini diperoleh pengetahuan deduksi yang ketat tentang dunia.                                                                                                                         Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam budi manusia dan tidak dijabarkan dari pengalaman, bahkan pengalaman empiris bergantung pada prinsip-prinsip ini. Prinsip-prinsip tadi oleh Descartes kemudian dikenal dengan istilah substansi, yang tak lain adalah ide bawaan yang sudah ada dalam jiwa sebagai kebenaran yang tidak bisa diragukan lagi. Ada tiga ide bawaan yang diajarkan Descartes, yaitu:
  1. Pemikiran; saya memahami diri saya makhluk yang berpikir, maka harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.
  2. Tuhan merupakan wujud yang sama sekali sempurna; karena saya mempunyai ide “sempurna”, mesti ada sesuatu penyebab sempurna untuk ide itu, karena suatu akibat tidak bisa melebihi penyebabnya.
  3. Keluasaan; saya mengerti materi sebagai keluasaan atau ekstensi, sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh ahli-ahli ilmu ukur.
Sementara itu menurut logika Leibniz yang dimulai dari suatu prinsip rasional, yaitu dasar pikiran yang jika diterapkan dengan tepat akan cukup menentukan struktur realitas yang mendasar. Leibniz mengajarkan bahwa ilmu alam  adalah perwujudan dunia yang matematis. Dunia yang nyata ini hanya dapat dikenal melaui penerapan dasar-dasar pemikiran. Tanpa itu manusia tidak dapat melakukan penyelidikan ilmiah. Teori ini berkaitan dengan dasar pemikiran epistimologis Leibniz, yaitu kebenaran pasti/kebenaran logis dan kebenaran fakta/kebenaran pengalaman. Atas dasar inilah yang kemudian Leibniz membedakan dua jenis pengetahuan. Pertama; pengetahuan yang menaruh perhatian pada kebenaran abadi, yaitu kebenaran logis. Kedua;pengetahuan yang didasari oleh observasi atau pengamatan, hasilnya disebut dengan “kebenaran fakta”.
Paham Rasionalisme ini beranggapan bahwa sumber pengetahuan manusia adalah rasio. Jadi dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia harus dimulai dari rasio. Tanpa rasio maka mustahil manusia itu dapat memperolah ilmu pengetahuan.  Rasio itu adalah berpikir. Maka berpikir inilah yang kemudian membentuk pengetahuan. Dan manusia yang berpikirlah yang akan memperoleh pengetahuan. Semakin banyak manusia itu berpikir maka semakin banyak pula pengetahuan yang didapat. Berdasarkan pengetahuan lah manusia berbuat dan menentukan tindakannya.
Sehingga nantinya ada perbedaan prilaku, perbuatan, dan tindakan manusia sesuai dengan perbedaan pengetahuan yang didapat tadi. Namun demikian, rasio juga tidak bisa berdiri sendiri. Ia juga butuh dunia nyata. Sehingga proses pemerolehan pengetahuan ini ialah rasio yang bersentuhan dengan dunia nyata di dalam berbagai pengalaman empirisnya. Maka dengan demikian, seperti yang telah disinggung sebelumnya kualitas pengetahuan manusia ditentukan seberapa banyak rasionya bekerja. Semakin sering rasio bekerja dan bersentuhan dengan realitas sekitar maka semakin dekat pula manusia itu kepada kesempunaan.
Prof. Dr. Muhmidayeli, M.Ag menulis dalam bukunya Filsafat Pendidikan yaitu “Kualitas rasio manusia ini tergantung kepada penyediaan kondisi yang memungkinkan berkembangnya rasio kearah yang memedai untuk menelaah berbagai permasalahan kehidupan menuju penyempurnaan dan kemajuan” Dalam hal ini penulis memahami yang dimaksud penyedian kondisi diatas ialah menciptakan sebuah lingkungan positif yang memungkinkan manusia terangsang untuk berpikir dan menelaah berbagai masalah yang nantinya memungkinkan ia menuju penyempunaan dan kemajuan diri.
Karena pengembangan rasionalitas manusi sangat bergantung kepada pendyagunaan maksimal unsur ruhaniah individu yang sangat tergantung kepada proses psikologis yang lebih mendalam sebagai proses mental, maka untuk mengembangkan sumber daya manuia menurut aliran rasionalisme ialah dengan pendekatan mental disiplin, yaitu dengan melatih pola dan sistematika berpikir seseorang melalui tata logika yang tersistematisasi sedemikian rupa sehingga ia mampu menghubungkan berbagai data dan fakta yang ada dalam keseluruhan realitas melalui uji tata pikir logis-sistematis menuju pengambilan kesimpulan yang baik pula.
kesan dan gagasan. Kesan adalah persepsi yang masuk melalui akal budi, secara langsung, sifatnya kuat dan hidup. Sementara gagasan adalah persepsi yang berisi gambaran kabur tentang kesan-kesan. Gagasan bisa diartikan dengan cerminan dari kesan. Contohnya, jika saya melihat sebuah “rumah”, maka punya kesan tertentu tentang apa yang saya lihat (rumah), jika saya memikirkan sebuah rumah maka pada saat itu saya sedang memanggil suatu gagasan. Menurut Hume jika sesorang akan diberi gagasan tentang “apel” maka terlebih dahulu ia harus punya kesan tentang “apel” atau ia harus terlebih dahulu mengenal objek “apel”. Jadi menurut Hume jika seandainya manusia itu tidak memiliki alat untuk menemukan pengalaman itu buta dan tuli misalnya, maka manusia itu tidak akan dapat memperoleh kesan bahkan gagasan sekalipun. Dalam artian ia tidak bisa memperoleh ilmu pengetahuan.[2]
Pikiran manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui ide tersebut, namun manusia tidak menciptakannya, tetapi mempelajari lewat pengalaman. Ide tersebut kiranya sudah ada “ di sana” sebagai bagian dari kenyataan dasar dan pikiran manusia. Kaum rasionalis berdalil bahwa karena pikiran dapat memahami prinsip, maka prinsip itu harus ada, artinya prinsip harus benar dan nyata. Jika prinsip itu tidak ada, orang tidak mungkinkan dapat menggambarkannya. Prinsip dianggap sebagai sesuatu yang a priori, dan karenanya prinsip tidak dikembangkan dari pengalaman, bahkan sebaliknya pengalaman hanya dapat dimengerti bila ditinjau dari prinsip tersebut. Dalam perkembangannya Rasionalisme diusung oleh banyak tokoh, masing-masingnya dengan ajaran-ajaran yang khas, namun tetap dalam satu koridor yang sama.
Pada abad ke-17 terdapat beberapa tokoh kenamaan rasionalis seperti Plato sebagai pelopornya yang disebut juga sebagai „rasionalisme atau „platonisme , René Descartes (1590 – 1650) yang juga dinyatakan sebagai bapak filsafat modern. Semboyannya yang terkenal adalah “cotigo ergo sum” (saya bepikir, jadi saya ada). Tokoh-tokoh lainnya adalah J.J. Roseau (1712 – 1778) dan Basedow (1723 – 1790), Gottfried Wilhelm von Leibniz, Christian Wolff dan Baruch Spinoza. Perkembangan pengetahuan mulai pesat pada abad ke 18 nama-nama seperti Voltaire, Diderot dan DAlembert adalah para pengusungnya.

·         Empirisisme

Empirisme secara etimologis menurut Bagus (2002) berasal dari kata bahasa Inggris empiricism dan experience. Kata-kata ini berakar dari kata bahasa Yunani έμπειρία (empeiria) dan dari kata experietia yang berarti “berpengalaman dalam”,“berkenalan dengan”, “terampil untuk”. Sementara menurut Lacey (2000) berdasarkan akar katanya Empirisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkan kepada pengalaman yang menggunakan indera.[3]
Selanjutnya secara terminologis terdapat beberapa definisi mengenai empirisme, di antaranya: doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman, pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami, pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal.
Berdasarkan Honer and Hunt (2003) aliran ini adalah tidak mungkin untuk mencari pengetahuan mutlak dan mencakup semua segi, apalagi bila di dekat kita terdapat kekuatan yang dapat dikuasai untuk meningkatkan pengetahuan manusia, yang meskipun bersifat lebih lambat namun lebih dapat diandalkan.
Kaum empiris cukup puas dengan mengembangkan sebuah sistem pengetahuan yang mempunyai peluang besar untuk benar, meskipun kepastian mutlak tidak akan pernah dapat dijamin. Kaum empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh lewat pengalaman. Jika kita sedang berusaha untuk meyakinkan seorang empiris bahwa sesuatu itu ada, dia akan berkata “tunjukkan hal itu kepada saya”. Dalam persoalan mengenai fakta maka dia harus diyakinkan oleh pengalamannya sendiri. Tokoh yang dianggap sebagai benih dari empisisme adalah Aristoteles, seperti juga pada rasionalisme, maka pada empirisme pun terdapat banyak tokoh pendukungnya yang tidak kalah populernya. Tokoh-tokoh dimaksud di antarnya adalah David Hume, John Locke dan Bishop Berkley.

·         Persamaan dan perbedaan antara Rasionalisme dan Empirisme

Terdapat dua aspek umum dalam realisme yang digambarkan dengan melihat pada realisme mengenai dunia keseharian dari obyek makroskopik beserta sifat-sifatnya. Aspek pertama, yaitu terdapat sebuah klaim tentang dimensi eksistensi suatu obyek yang nyata (terlihat). Sementara itu, aspek yang kedua dari realisme tentang dunia keseharian dari obyek makroskopis beserta sifat-sifatnya memiliki dimensi kebebasan dalam hal kepercayaan yang dianut seseorang, bahasa yang digunakan, skema konseptual, dan sebagainya (realisme generik).
Sifat dan penjelasan-penjelasan yang masuk akal dari paham realisme merupakan issu-issu yang hangat diperdebatkan dalam metafisik kontemporer mengenai berbagai obyek dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Hume (1999) di dalam aliran empiris terdapat tiga prinsip pertautan ide. Pertama, prinsip kemiripan yaitu mencari kemiripan antara apa yang ada di benak kita dengan kenyataan di luar. Kedua, prinsip kedekatan, misalnya apabila kita memikirkan sebuah rumah, maka berdasarkan prinsip kedekatan kita juga berpikir tentang adanya jendeka, pintu, atap, perabot sesuai dengan gambaran rumah yang kita dapatkan lewat pengalaman inderwi sebelumnya. Ketiga, prinsip sebab- akibat yaitu jika kita memikirkan luka, kita pasti memikirkan rasa sakit akibatnya. Bagi Hume, ilmu pengetahuan tidak pernah mampu memberi pengetahuan yang niscaya tentang dunia ini.
Kebenaran yang bersifat a priori seperti ditemukan dalam matematika, logika dan geometri memang ada, namun menurut Hume, itu tidak menambah pengetahuan kita tentang dunia. Pengetahuan kita hanya bisa bertambah lewat pengamatan empiris atau secara a posteriori. Perbedaan antara rasionalisme dengan empiris secara umum adalah kalau pada aliran rasionalisme pengetahuan itu berupa a priori, bersumber dari penalaran dan pembuktian-pembuktian pada logika dan matematika melalui deduksi, sedangkan pada aliran empirisisme pengetahuan bersumber pada pengalaman , terutama pada pengetahuan dalam pembuktian-pembutiannya melalui eksperimentasi, observasi, dan induksi.
 Perbedaan antara Rasionalisme dan Empirisisme oleh Immanuel Kant diambil jalan tengahnya, yaitu Immanuel Kant mengajukan sintesis a priori. Menurutnya pengetahuan yang benar bersumber rasio dan empiris yang sekaligus bersifat a priori dan a posteriori. Sebagai gambaran, kita melihat suatu benda dikarenakan mata kita melihat ke arah benda tersebut (rasionalisme) dan benda tersebut memantulkan sinar ke mata kita (empirisme).
Menurut Edward (1967) secara terminologi rasionalisme dipandang sebagai aliran yang menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengalaman inderawi. Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dipakai untuk mempertegas pengetahuan yang diperoleh akal. Akal tidak memerlukan pengalaman. Akal dapat menurunkan kebenaran dari diri sendiri, yaitu atas dasar asas-asas petama yang pasti.[4]
Menurut Kattsoff (2004) rasionalisme tidak mengingkari nilai pengalaman, melainkan hanya dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Karenanya aliran ini yakin bahwa kebenaran dan kesehatan terletak pada ide, dan bukannya di dalam barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide yang sesuai dengan atau dengan yang menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal saja. Persamaan antara rasionalisme dan empirisme adalah rasio dan indra manusia sama-sama berperan dalam pembentukan pengetahuan.




[1] Bagus, L. (2002), Kamus Filsafat, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama
[2] Hume, D,(1999), an Enquiry Concerning Human Understanding, dalam Central Readings in the History of Modern Philosophy: Descartes to Kant,
[3] Bagus, L. (2002), Kamus Filsafat, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama
[4] Edwards, P., (1967), The Encyclopedia of Philosophy Volume 7, New York, The Macmillan Company & The Free Press, 1967.

3 opmerkings: